Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Air Mata untuk Warna

Seorang anak perempuan korban pemerkosaan kakaknya divonis penjara dengan tuduhan melakukan aborsi. Putusan hakim dianggap menyimpang.

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang anak perempuan korban pemerkosaan kakaknya divonis penjara dengan tuduhan melakukan aborsi. Putusan hakim dianggap menyimpang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH panggung berukuran sekitar setengah lapangan tenis itu tampak terlihat lapuk dan dindingnya compang-camping di mana-mana. Berada di sebuah desa di Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, Jambi, rumah yang di sekitarnya terdapat pohon sawit dan pinang tersebut hanya memiliki satu tetangga. Di rumah inilah Warna (bukan nama sebenarnya), 15 tahun, menjadi korban pemerkosaan hingga hamil oleh kakak kandungnya, Andika (bukan nama sebenarnya), 17 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andika, siswa kelas II sekolah menengah atas, mengancam akan melukai apabila keinginannya tidak dipenuhi sang adik. Perbuatan Andika sebanyak delapan kali itu terjadi setelah ia menonton video syur untuk orang dewasa dan dilakukan ketika ibu mereka, Andira, 38 tahun, pergi menyadap karet. Adik mereka yang masih berusia 7 tahun ikut ke kebun bersama sang ibu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam bulan kemudian atau pada 22 Mei lalu, kandungan Warna digugurkan atas bantuan Andira dengan ramuan kunyit dan garam serta pijitan. Janin berusia enam bulan yang dibalut kain putih itu kemudian dibuang Andira di tumpukan pelepah sawit sekitar 50 meter di belakang kediaman mereka. Bau anyir yang menyengat menarik perhatian warga yang seliweran ke kebun sehingga melaporkannya ke polisi. "Ibunya sempat mendatangi saya, dua hari setelah kejadian pembuangan bayi," kata Kepala Desa Pulau, Daman Huri, Kamis pekan lalu.

Laporan warga itu berujung ke meja hijau dan menyeret ibu beserta dua anak tersebut menjadi pesakitan. Warna divonis pidana penjara enam bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian karena melakukan aborsi, pada pertengahan 19 Juli lalu atau empat hari menjelang perayaan Hari Anak Nasional. Hakim juga menambah hukuman tiga bulan pelatihan kerja terhadap Warna. Remaja yang masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama itu dianggap terbukti melanggar Pasal 77 huruf a ayat ke-1 juncto Pasal 45-a Undang-Undang Perlindungan Anak. Putusan ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni pidana penjara satu tahun.

Warna diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita Muara Bulian di Sungai Buluh, Jambi. Kamis pekan lalu, pengadilan memutuskan melepaskannya dari penjara. "Ini alasan kemanusiaan dan kesinambungan pendidikan yang bersangkutan," ujar Derman Nababan, Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian. Kendati Warna dilepas, putusan hakim tetap berlaku sampai pengadilan tinggi yang tengah memproses perkaranya memutuskan hal lain.

Adapun Andika diganjar hukuman dua tahun bui karena terbukti melakukan pemerkosaan terhadap Warna. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 81 ayat 1 dan 3 juncto Pasal 76 huruf d Undang-Undang Perlindungan Anak. Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yang meminta Andika dihukum enam tahun penjara. Sedangkan berkas perkara Andira baru dilimpahkan ke kejaksaan. Tuduhannya diduga membantu melakukan aborsi.

Putusan majelis terhadap Warna menuai kritik tajam sejumlah kalangan baik di dalam maupun di luar negeri. Aliansi Organisasi Peduli Perempuan dan Anak melaporkan majelis hakim perkara ini, yang dipimpin Rais Torodji, ke Komisi Yudisial. "Putusan hakim ini cacat hukum," ucap Alex Leonardo, anggota Aliansi, saat mendatangi Komisi Yudisial pada Senin pekan lalu.

Komisi Nasional Perempuan mengirimkan surat ke Pengadilan Muara Bulian pada 25 Juli lalu. Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus, menyatakan putusan hakim tidak mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum. "Sejauh ini kami belum mendapat balasan," ujar Magdalena.

Komisioner lainnya, Budi Wahyuni, mengatakan hakim tak mempertimbangkan kesehatan reproduksi dan hak korban. Hakim juga tak melihat latar belakang terjadinya aborsi tersebut, bahwa janin merupakan hasil hubungan sedarah. Ia juga menyayangkan ketentuan aborsi yang tercantum dalam undang-undang tak memperhatikan kesehatan reproduksi perempuan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014, misalnya, aborsi atas alasan pemerkosaan memang diperbolehkan, tapi ada batasannya, yakni janin maksimal berusia 40 hari. "Ini sangat lemah. Masyarakat kita yang awam kebanyakan tahu sedang hamil ketika telat menstruasi. Dan itu sudah lebih dari 40 hari," kata Budi.

Selain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61, aborsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketentuan ini menyatakan aborsi dilarang, tapi dapat dikecualikan berdasarkan kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.

Senada dengan Komnas Perempuan, lembaga Institute Criminal for Justice (ICJR) mengecam putusan ini. Direktur ICJR Anggara menyatakan penjatuhan pidana penjara terhadap Warna oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian tidak tepat. "Pengadilan seharusnya mempertimbangkan hak-hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban," ujar Anggara.

Menurut dia, pemidanaan terhadap korban pemerkosaan yang melakukan aborsi bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada 2016, kata dia, seorang pekerja rumah tangga berusia 16 tahun di Jakarta dituntut delapan setengah tahun penjara setelah membuang janin hasil pemerkosaan yang dilakukan seorang lelaki yang dikenal di Facebook. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara tersebut menolak tuntutan jaksa dan menjatuhkan sanksi pembinaan berupa bimbingan di panti sosial karena mempertimbangkan kondisi korban yang mendapat tekanan batin dan trauma pada saat melahirkan bayi yang tidak diduga sama sekali.

Penggalangan dukungan yang menentang pemidanaan korban pemerkosaan lewat petisi beredar di Internet. Dalam situs petisi.org, kampanye yang dibuat pada 24 Juli lalu itu sudah ditandatangani 10.607 orang. "Putusan hakim terhadap Warna menunjukkan bahwa hukum di negeri ini belum berpihak bagi korban perkosaan," tulis deskripsi petisi tersebut.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Batanghari, Ajun Inspektur Polisi Dua Mustafa Kemal, mengatakan proses penyidikan terhadap Warna merupakan upaya penegakan hukum lantaran korban terbukti melakukan tindak pidana aborsi. "Secara manusiawi, kami juga merasa kasihan dan prihatin terhadap korban, tapi kami harus menegakkan hukum," kata Mustafa.

Ketua Pengadilan Negeri Kelas II Muara Bulian, Derman P. Nababan, menolak berkomentar ihwal banyaknya pendapat kontra atas putusan majelis di lembaganya tersebut. "Hakim memang dilarang mengomentari putusan terhadap perkara yang dijalani," ujarnya. Derman mengatakan Warna melalui kuasa hukumnya telah mengajukan permohonan banding pada 31 Juli lalu. "Jadi saat ini terdakwa tidak lagi ditahan karena ditangguhkan setelah pengajuan banding," katanya.

Kuasa hukum Warna, Damai Idianto, mengatakan kliennya mengajukan permohonan banding dengan alasan hukum yang kuat, yakni adanya Pasal 75 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. "Bahwa bagi korban pemerkosaan dapat dilakukan aborsi," ujarnya.

Menurut Damai, kliennya kini dalam keadaan sehat fisik dan berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Muara Bulian untuk menjalani rehabilitasi. Warna juga mendapat pendampingan dari tim Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jambi dan Kabupaten Kerinci.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menawarkan perlindungan untuk Warna. Tim LPSK sudah bertemu dengan bocah itu untuk mengetahui kronologi kejadian hingga trauma yang dialami. "Data dan informasi yang tim dapatkan akan menjadi dasar untuk langkah LPSK dalam memberikan layanan kepada korban," kata Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

Linda Trianita, Syaipul Bakhori (Jambi)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus