Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGENDA sidang kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa siang pekan lalu, sebenarnya membahas upaya peningkatan ekspor. Sebanyak 17 petinggi negara diundang. Presiden Joko Widodo intensif memimpin rapat mengenai hal ini beberapa pekan terakhir. Penyebabnya: defisit neraca perdagangan Indonesia cenderung melebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Juni lalu, Badan Pusat Statistik merilis neraca perdagangan pada Mei 2018 minus US$ 1,52 miliar. Jika diakumulasi sejak Januari hingga Mei, defisit mencapai US$ 2.834,3 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia surplus US$ 5.996,2 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi yang lebih banyak ditunggu pengusaha batu bara dan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) adalah keputusan presiden mengenai kebijakan pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) batu bara. Regulasi ini mewajibkan produsen komoditas tersebut menyerahkan 25 persen produksinya ke pasar dalam negeri. Penggunanya: pembangkit yang menghasilkan listrik untuk kepentingan publik, yakni milik PT PLN dan independent power producer (IPP), serta pembangkit yang memenuhi kebutuhan industri. Khusus untuk pembangkit milik PLN dan IPP, berlaku harga acuan US$ 70 per metrik ton sebagai batas atas.
Sekitar dua jam kemudian, rapat berakhir. "Sesuai dengan arahan Bapak Presiden, DMO batu bara diputuskan sama seperti sekarang. Mekanisme harga sama," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan seusai pertemuan.
Penjelasan agak berbeda diberikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Menurut dia, belum ada kepastian tentang rencana pencabutan harga acuan DMO. Pemerintah masih mengevaluasi karena ada hal-hal yang perlu dipelajari. "Saya lebih baik bilang sedang dievaluasi," ujarnya.
Darmin menuturkan, pemerintah sedang memikirkan kemungkinan implikasi yang terjadi andai kebijakan harga acuan batu bara untuk PLN dicabut. Termasuk dampaknya terhadap keuangan perusahaan milik negara di sektor kelistrikan ini. "Bagaimana hasil evaluasinya, Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman) yang menyiapkan."
Sedangkan Jonan berargumen kebijakan DMO adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Karena itu, pemerintah tidak bisa membatalkan begitu saja tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun besaran harga acuan ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
SALAH memilih tempat duduk, bos Grup Harum Energy, Kiki Barki, malah mujur. Ditemani Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi "Boy" Thohir, pemilik perusahaan batu bara besar di Tanah Air itu bisa berbincang lebih dekat dengan Presiden Joko Widodo.
Pada Kamis sore dua pekan lalu itu, Jokowi memanggil sekitar 45 eksportir dari berbagai sektor usaha ke Istana Bogor. Undangan lisan disampaikan via telepon pada Rabu malam, sementara versi cetak dikirimkan esoknya. Selain pengusaha batu bara, ada bos perusahaan kelapa sawit, eksportir mebel kayu, hingga pebisnis jamu.
"Dari KPC, Ari Hoedaja. Ada Fuganto (Fuganto Widjaja, cucu taipan pemilik Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja) dan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Roeslani," ucap Boy Thohir, Kamis pekan lalu. Budi Hartono (bos Grup Djarum), Anthony Salim (bos Indofood), Chairul Tanjung (pemilik Trans Corp), Franky Widjaja (Sinar Mas), dan Mooryati Soedibyo (Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk) juga hadir di sana.
Adapun Presiden didampingi, antara lain, Menteri Koordinator Keuangan Darmin Nasution, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Hadir pula Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan serta Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Panitia mengatur meja makan khusus rombongan Presiden di bagian tengah-depan. Adapun meja untuk para pengusaha berada di sisi pinggir dan belakang. Pada pukul 18.15 rapat disetop. Acara dilanjutkan dengan makan malam pada pukul 18.30. "Pak Kiki Barki tiba-tiba duduk di meja Presiden. Saya temani," Boy menuturkan. "Alhamdulillah, tidak hanya lebih cair, tapi juga lebih detail berbincang dengan Presiden."
Dalam kesempatan itu, Jokowi menggali kehendak pengusaha mengenai apa yang bisa pemerintah lakukan untuk meningkatkan ekspor. Pemerintah menginginkan ekspor naik untuk mendongkrak cadangan devisa yang terus menyusut. Bank Indonesia mencatat cadangan devisa per akhir Juni lalu sebesar US$ 119,8 miliar, turun dibanding posisi pada akhir Mei yang mencapai US$ 122,9 miliar.
Menteri Luhut menjelaskan, pemerintah juga meminta para eksportir membawa pulang dana hasil ekspor dan menukarkannya dengan rupiah. Meski hanya berupa imbauan, ia optimistis hal itu akan terealisasi. "Saya kira banyak juga yang punya nasionalisme." Ihwal permintaan tersebut, Boy Thohir mengatakan dana hasil ekspor Adaro telah dialihkan dari bank pemberi pinjaman di Singapura ke kantor cabangnya Indonesia.
Jokowi juga bertanya tentang kesiapan menggenjot ekspor. Boy bercerita, Kiki Barki menyanggupi karena telah berpengalaman selama 24 tahun lebih. Apalagi harga batu bara di pasar dunia yang tembus US$ 100 per metrik ton diyakini bisa membuat devisa cepat terhimpun. Dia mengusulkan pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk mengerek ekspor. "Siapa yang bisa ekspor lebih diberi kemudahan. Presiden menyambut baik," ujarnya.
Hasil obrolan itu ditindaklanjuti sore hari berikutnya di Istana Merdeka, Jakarta. Forum dipersempit. Jokowi menunjuk beberapa pengusaha saja, termasuk Kiki dan Boy, untuk terlibat pembahasan lebih dalam. Menteri Jonan tak hadir karena sedang berada di London. Pada hari kedua rapat, Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar serta Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono hadir.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, dalam pertemuan itu Presiden bertanya tentang kendala peningkatan ekspor batu bara. Pengusaha pun mengungkapkan masalah harga acuan khusus batu bara domestik bagi PLN dan IPP.
Hendra menjelaskan, selama ini pemerintah menetapkan nama-nama perusahaan yang harus menyetor sebagian batu bara produksinya kepada PLN. Kebijakan itu dituangkan dalam bentuk keputusan menteri. Tapi, mulai Januari 2018, Menteri Energi mewajibkan semua produsen batu bara menyisihkan 25 persen produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Masalahnya, tak semua produksi batu bara sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN.
Maret lalu, terbit aturan mengenai harga acuan batu bara bagi pembangkit milik PLN dan IPP sebesar US$ 70 per metrik ton. Aturan ini keluar karena perusahaan listrik milik negara "berteriak" ketika harga batu bara dunia telah menembus US$ 100 per metrik ton.
Tapi, sesungguhnya, Hendra menambahkan, harga yang dibayar PLN bukan US$ 70 per metrik ton. Harga itu berlaku untuk batu bara berkualitas tinggi, yakni yang memiliki 6.322 kilokalori. Saat ini, kebanyakan pembangkit PLN memiliki spesifikasi kalori 4.000-5.000 kkal. Bila dikonversi ke harga acuan batu bara, harga riil yang dibayar PLN sekitar US$ 44 per metrik ton.
Pemerintah memutuskan, dari 25 persen jatah untuk pasar domestik, sebanyak 80 persen harus diberikan kepada pembangkit PLN dan IPP. Sisanya bisa disalurkan ke pasar domestik lain, dengan harga pasar. Perusahaan diminta rutin mengirim batu bara tiap bulan untuk menjamin kepastian pasokan PLN. Kementerian akan mengevaluasi pelaksanaan regulasi ini. Sanksi pemangkasan produksi pada tahun berikutnya bakal dijatuhkan kepada perusahaan yang belum merealisasinya. "Ini yang membuat pengusaha kelimpungan," ucap Hendra. Diskusi di Istana berkembang hingga akhirnya muncul wacana menghapus kebijakan harga acuan.
Rapat dilanjutkan di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, Senin pekan lalu. Pembahasan makin detail ke soal hitung-hitungan. Misalnya dana yang harus disiapkan PLN jika mesti membeli batu bara dengan harga pasar. Adapun Kementerian Keuangan diminta membuat simulasi penerimaan negara dengan adanya peningkatan ekspor, juga royalti.
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menyebutkan, jika pemerintah mencabut kebijakan harga acuan batu bara DMO, perusahaan setrum negara ini bisa merugi hingga Rp 30 triliun.
Masalahnya, Boy Thohir mengatakan, kebijakan dua harga itu mendistorsi pasar. Ia khawatir pembeli di luar negeri akan meminta potongan harga atas penjualan barang yang lebih murah di dalam negeri. "Saya fair saja. Kalau dikatakan kami keberatan, ya, jelas. Tapi kami menerima karena ini keputusan pemerintah," ujarnya. Adapun Kiki Barki tak bersedia menceritakan perbincangannya dengan Presiden Jokowi. "Sebagai pengusaha, saya ngikut saja."
Selasa siang pekan lalu, setelah Jonan mengungkapkan keputusan Presiden bahwa kebijakan harga acuan batu bara DMO tetap berjalan seperti sekarang, saham perusahaan tambang batu bara berguguran di lantai Bursa Efek Indonesia. Sehari sebelumnya, harga saham emiten batu bara melonjak hingga 10-15 persen setelah Menteri Luhut menyatakan pemerintah berencana mencabut kebijakan harga acuan batu bara DMO.
Kondisi sebaliknya menimpa PT Bukit Asam Tbk. Harga saham perusahaan tambang batu bara milik negara ini justru terkerek pada Selasa pekan lalu, setelah sempat drop pada penutupan perdagangan pekan sebelumnya.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan perusahaan pelat merah ini sejak awal berkomitmen memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit PLN. Saat ini, sekitar 60 persen produksi perusahaan, yang ditargetkan sebesar 25,5 juta ton pada tahun ini, dikirim ke PLN. "Itulah mengapa kami membangun pembangkit, salah satunya PLTU Suralaya, yang terintegrasi dengan tambang batu bara," tuturnya.
Retno Sulistyowati, Khairul Anam, Ahmad Faiz
Potong Kompas demi PLN
KEBIJAKAN Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menyelamatkan PLN dengan membatasi harga batu bara demi kepentingan pembangkit listrik berbuah simalakama. Penerimaan devisa, penerimaan negara bukan pajak, royalti, hingga penghasilan negara dari pajak tergerus akibat pembatasan tersebut. Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman, sedang menyiapkan opsi mencari solusi yang adil.
Neraca Batu Bara (juta ton)
- bikin diagram batang empat tiga warna (produksi, domestik, dan ekspor) serta satu warna tambahan untuk DMO
2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 (estimasi) | Produksi | 458 | 461 | 456 | 461 | 485 | Penjualan domestik | 76 | 86 | 127 | 152 | 114 | Ekspor | 382 | 366 | 330 | 298 | 371 |
Peruntukan Batu Bara Dalam Negeri (juta ton)
- pakai diagram lingkaran lengkapi dengan icon industri seperti PLU, Metalurgi, dll
Tahun | 2016 | 2017 | 2018 (Estimasi) | PLTU | 75,4 | 83 | 89,7 | Semen, tekstil, pupuk, dan pulp | 0,39 | 13,7 | 22,8 | Metalurgi | 14,73 | 0,3 | 1,7 | Briket | 0,03 | 0,03 | 0,01 | Total | 90,55 | 97,03 | 114,21 |
Pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) 2018 (hingga 22 Mei 2018, juta ton)
- buat diagram batang dengan DMO, kontrak dan realisasi dalam satu kelompok diagram tapi beda warna
Kewajiban DMO | Volume kontrak dengan PLN | Realisasi hingga 22 Mei 2018 | Perusahaan berstatus perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara | 75,5 | 54,63 | 16,9 | IUP BUMN (Bukit Asam) | 6,13 | 17,69 | 4,24 | IUP lain | 34,12 | 20,9 | 11,41 | IUP asing | 6,08 | 0,06 | 0, 12 |
Setiap tahun, kebutuhan PLN terhadap batu bara meningkat. Enam puluh persen lebih pembangkit listrik sekarang berjenis PLTU, yang membutuhkan asupan batu bara….
Tren Kebutuhan Batu Bara PLN (juta ton)
2013: 53,6
2014: 62,1
2015: 70,8
2016: 74,1
2017: 82,2
2018: 92
2019: 96
2020: 106
Pemasok Besar Batu Bara PLN (2018, 92 juta ton)
1. Bukit Asam: 28%
2. Kaltim Prima Coal: 18%
3. Adaro Energy: 17%
4. Arutmin Indonesia: 14%
5. Kideco: 11%
6. Berau Coal Energy 5%
7. Titan: 5%
8. Indo Tambangraya Megah: 2%
Penghematan PLN dengan Batas Atas DMO
1. Harga batu bara internasional saat ini (6.322 kcal/kg GAR) = US$ 105 per ton
2. Harga internasional batu bara kebutuhan PLN (4.700 kcal/kg GAR) = US$ 63 per ton
3. Harga batu bara DMO (6.322 kcal/kg GAR) = maksimal US$ 70 per ton
4. Harga batu bara DMO kebutuhan PLN (4.700 kcal/kg GAR) = US$ 44 per ton
5. Selisih harga batu bara PLN versi DMO dan Internasional (US$ 63-44) = US$ 19 per ton
6. Penghematan PLN dengan kebutuhan 92 juta ton = US$ 1,748 miliar atau sekitar Rp 25,346 triliun (kurs Rp 14.500)
Sumber: APBI | ESDM | Kemaritiman | Diolah, Naskah: Khairul Anam
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo