Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akal-akalan Kalista

Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, memvonis PT Kalista Alam bersalah secara pidana dalam kasus pembakaran lahan gambut di kawasan Rawa Tripa. Vonis yang akan dipakai Kementerian Lingkungan menjerat perusahaan lain.

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpukan map biru menggunung di meja kerja Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Imam Hendargo Abu Sismoyo. Baru sebulan menjabat pelaksana tugas, dia langsung mendapat tugas berat: menyelesaikan kasus pembakaran hutan di Provinsi Riau yang terjadi pada Februari-Maret lalu.

Setidaknya 26 nama perusahaan plus nama-nama petinggi perusahaan yang dianggap bertanggung jawab sudah dikantongi Kementerian Lingkungan Hidup sebagai penyebab kebakaran itu. Nama-nama tersebut sudah disortir dari sekitar 50 nama perusahaan yang awalnya disinyalir terlibat. "Dalam waktu dekat harus sudah masuk tahap penyidikan. Tim penyidik sedang melakukan penelitian di lapangan bersama ahli," ujar Imam kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kendati sadar tugas berat sedang menghadangnya, pria yang merangkap jabatan sebagai Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup itu tetap menebar senyum lebar dan bersenda gurau. Bukan tanpa alasan jika Imam bersikap demikian. Penyebabnya: kabar baik yang diterimanya dari Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, pada 15 Juli lalu.

Kabar itu tak lain vonis pidana terhadap PT Kalista Alam dan dua petingginya dalam kasus kebakaran lahan gambut di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, pada 2012. Kalista dianggap sengaja melakukan pembukaan lahan (land clearing) tanpa izin dengan cara membakar.

Pengadilan Negeri Meulaboh menganggap Kalista melanggar Pasal 108 juncto Pasal 69 huruf a dan h Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan yang berkantor di Medan itu juga dijerat dengan Pasal 69 Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Pasal 26 Undang-Undang Perkebunan. Majelis hakim yang diketuai Arman Surya Putra pun menghukum Kalista denda Rp 3 miliar.

Dalam perkara yang sama, hakim menghukum Manajer Pengembangan PT Kalista Khamidin Yoesoef dan Direktur PT Kalista Subianto Rusyid masing-masing tiga tahun penjara plus denda Rp 3 miliar dan delapan bulan penjara. Khamidin dianggap bersalah karena melakukan pembakaran hutan. Sedangkan Subianto dianggap bersalah karena melakukan pembukaan lahan tanpa izin. "Putusan pidana ini yang pertama untuk korporasi sekaligus menguatkan putusan perdata yang sudah diputus sebelumnya," ucap Imam sumringah. November tahun lalu, Pengadilan Negeri Meulaboh juga menghukum Kalista membayar ganti rugi Rp 114 miliar plus biaya pemulihan lingkungan Rp 251 miliar.

Pengacara PT Kalista, Firman Azuar Lubis, menilai putusan Pengadilan Negeri Meulaboh janggal. Menurut dia, Pengadilan Negeri Meulaboh seharusnya tak bisa memidanakan PT Kalista dan dua petingginya. Alasannya, PT Kalista sudah diputus bersalah dalam perkara perdata. "Dalam sidang juga tidak ada saksi yang menyatakan diperintah para terdakwa untuk membakar lahan itu," ujarnya. Firman memastikan kliennya akan mengajukan permohonan banding atas putusan itu.

l l l

Gugatan atas PT Kalista bermula dari laporan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), awal 2012. Mereka melaporkan pembakaran ribuan hektare lahan gambut di Kawasan Ekosistem Leuser, Rawa Tripa.

Atas dasar laporan itu, UKP4 lantas menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepolisian Republik Indonesia pada 11 April 2012. Dua pekan kemudian, digelar rapat khusus yang dihadiri perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Kejaksaan Agung. Rapat merekomendasikan para pembakar diseret ke pengadilan, baik lewat jalur pidana maupun perdata.

Tim gabungan dibentuk dengan melibatkan penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan, penyidik Markas Besar Polri, dan Kejaksaan Agung. Untuk menguji laporan sekaligus mencari data awal, tim gabungan sampai tiga kali terbang ke Rawa Tripa, Mei dan Juni 2012. Bersama tim gabungan, Kementerian Lingkungan mengutus dua ahli kebakaran hutan dan kerusakan lahan dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis. Tim ini pun menemukan sejumlah "akal-akalan" Kalista untuk menutupi ulahnya merusak hutan.

Di lokasi kebakaran, tim menemukan indikasi kuat terjadinya pembakaran yang dilakukan secara sengaja. Misalnya penemuan adanya pola pengeringan lahan gambut secara bertingkat. Kalista dituding sengaja membuat saluran air tersier yang digunakan untuk mengalirkan air dari lapisan gambut atas serta membuat lapisan itu mengering dan mudah terbakar. Untuk menutupi jejak saluran ini, Kalista membangunnya di atas saluran sekunder yang digunakan buat mengontrol kadar air.

Tim juga memboyong surat perintah kerja yang ditandatangani Khamidin kepada pihak ketiga. Isinya: tugas untuk membersihkan lahan tersebut. Celaka bagi Kalista, dalam surat itu tertera kalimat: "Pihak kedua (kontraktor) harus mengikuti tata cara pembakaran dan/atau pengolahan lahan usaha perkebunan".

Dalam surat itu, tim juga menganggap nilai pekerjaan pembersihan lahan yang disubkontrakkan Kalista tak wajar. Kalista hanya membayar Rp 8,9 juta per hektare. Padahal, jika menggunakan teknik pembukaan lahan tanpa bakar, biaya normal yang harus dikeluarkan berkisar Rp 40 juta. "Surat ini yang menunjukkan bahwa Khamidin-lah yang bertanggung jawab terhadap pembakaran itu," ujar Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Himsar Sirait kepada Tempo.

Penelusuran tim juga menemukan bahwa Kalista tak memiliki personel dan peralatan penanggulangan kebakaran yang memadai. Perusahaan ini hanya mempekerjakan delapan tenaga pemadam kebakaran untuk mengawasi ribuan hektare lahan. Alat buat memadamkan pun sebatas ember.

Soal tak adanya personel khusus pemadam kebakaran dibenarkan oleh Asisten Kebun PT Kalista Suriadi. Di persidangan, dia mengatakan tim pemadam kebakaran PT Kalista diambil dari karyawan perkebunan serta bukan dikhususkan untuk memantau dan menanggulangi kebakaran. "Tim pemadam kebakaran bukan khusus, itu karyawan yang bekerja di Divisi VII sebanyak 20 orang," katanya.

Berdasarkan pengecekan titik koordinat di lapangan, tim juga menemukan sebenarnya lahan Kalista berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan ini masuk kawasan yang dilindungi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1998 dan diperkuat oleh Surat Keputusan Nomor 190/Kpts-II/2001 tentang Batas Kawasan Ekosistem Leuser.

Di persidangan, Khamidin membantah jika perusahaannya dianggap memang sengaja membuka lahan dengan cara membakar. Menurut dia, kata "pembakaran" dalam surat perintah kerja tersebut kesalahan ketik. Menurut dia, frasa "tata cara pembakaran" seharusnya tertulis "tata cara pembukaan".

Kalista juga membantah anggapan bahwa biaya pembukaan lahan yang mereka keluarkan tak wajar. Merujuk pada buku Satuan Biaya Pembangunan Perkebunan 2012 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembukaan lahan hanya Rp 3,5 juta per hektare. Mereka juga berdalih bahwa kebakaran yang terjadi di lahan gambut itu akibat loncatan api dari kebakaran lahan milik PT Surya Panen Subur II, yang bersebelahan dengan lahan mereka.

Soal perizinan, Kalista berdalih bahwa mereka sebelumnya sudah mendapatkan izin dari Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf. Izin baru itu diterbitkan atas lahan 1.605 hektare di Kawasan Ekosistem Leuser. Izin diteken Gubernur pada 25 Agustus 2011.

Soal izin ini, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh Muhammad Nur mengatakan sudah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Di tingkat kasasi, permohonan Kalista pun sudah ditolak melalui keputusan bernomor 455/K/TUN/2012.

Muhammad Nur menyambut baik putusan terhadap Kalista ini. Menurut dia, putusan itu bisa menjadi contoh untuk kasus serupa di wilayah lain. Namun dia kecewa karena hukuman terhadap petinggi Kalista terlalu rendah. "Kerusakan bagi masyarakat yang disebabkan oleh perbuatan mereka tidak setimpal," ujarnya.

Febriyan (Jakarta), Sahat Simatupang (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus