Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir kisah panjang pluit

Mahkamah agung menolak kasasi endang wijaya, tertuduh utama kasus pluit. tertuduh tetap dihukum 10 tahun penjara. persidangan perkara ini terpanjang dalam sejarah peradilan.(hk)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ingat Endang Wijaya? Anak pedagang beras dari Sungai Rampah, Deli Serdang, yang waktu kecil bernama A Tjai, itu pernah dipuji-puji karena berhasil menyulap rawa-rawa di Pantai Jakarta menjadi kompleks perumahan mewah Pluit. Tapi, lima tahun lalu namanya menjadi pembicaraan tak enak, karena ia dituduh memanipulasikan kredit Bank Bumi Daya dan tidak melunasi pajak, sehingga negara dirugikan Rp 14 milyar. Persidangan perkaranya boleh jadi yang terpanjang dalam sejarah peradilan: dalam tingkat pertama saja berjalan hampir dua tahun dengan 131 kali sidang, berakhir dengan vonis 10 tahun penjara karena E.W. dianggap terbukti menyuap pejabat. Di pengadilan banding, E.W. tetap dihukum 10 tahun, tapi dinyatakan terbukti pula melakukan kejahatan korupsi. Mahkamah Agung, bulan lalu, kemudian menolak kasasinya. Satu-satunya tuduhan yang tidak mempan terhadap pengusaha itu hanyalah subversi. Dengan alasan berbeda, ketiga peradilan itu membebaskan E.W. dari tuduhan itu. Perkara E.W., yang dibongkar Opstib, tidak hanya memperlihatkan manipulasi kredit bank dan pajak, tapi juga borok pejabat-pejabat yang memberikan banyak kemudahan kepada pengusaha itu. Opstib, seperti terbukti di persidangan, berhasil mengungkapkan pejabat-pejabat yang mendapat hadiah dari E.W. - baik pejabat BBD, DKI, Pajak, maupun beberapa pejabat tinggi lainnya. E.W., menurut pemeriksaan, mengorbankan sejumlah besar hadiah yang berupa rumah, mobil, perabot, dan uang kontan. Dua di antara pejabat itu ialah direktur kredit BBD (waktu itu) Natalegawa, dan wali kota Jakarta Utara, Dwinanto, yang kemudian diadili karena menerima hadiah-hadiah itu. Membagi-bagikan hadiah itulah "dosa" E.W. yang terbukti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim, yang diketuai Slamet Riyanto', dalam keputusan Juli 1981, membebaskan E.W. dari tuduhan korupsi dan subversi. Menurut Majelis, E.W. tidak melakukan kejahatan subversi, karena tidak terbukti ada latar belakang politik dalam perkaranya. Tentang korupsi, Majelis tidak melihat ada bukti bahwa negara telah dirugikan akibat kredit macet dari PT Jawa Indah Building Co., perusahaan yang dipimpin E.W. "Sebab, kesempatan BBD menarik kembali uangnya tetap terbuka sampai sekarang," kata Majelis. Pada waktu Majelis mengambil keputusan itu, Jawa Building yang sudah beroperasi kembali memang telah berangsur-angsur menunaikan kewajibannya terhadap bank dan pajak. Tapi Mahkamah Agung, seperti halnya Pengadilan Tinggi Jakarta, berpendapat bahwa perbuatan E.W. - antara lain memalsukan akta-akta tanah dari Notaris Ridwan Susilo untuk mendapatkan kredit dari BBD dianggap merugikan negara. E.W. terbukti mengagunkan tanah negara untuk memperoleh kredit. Sebab itu, majelis peradilan tertinggi itu menghukum E.W. karena terbukti korupsi, selain menyuap pejabat-pejabat negara. Atas putusan Majelis Hakim Agung, yang diketuai H. Adi Andojo Soetjipto, itu E.W., yang kini ditahan di rumah tahanan militer Nirbaya, meminta grasi Presiden. "Ketika kami beritahukan keputusan itu, ia mengatakan akan mengajukan grasi," kata pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Setiawan. Selain terungkap berbagai fakta di persidangan, perjalanan perkara E.W. pun tak kalah menarik. Ditahan Kopkamtib sejak 13 September 1977, kemudian diubah menjadi tahanan kejaksaan, 28 Juli 1978, E.W. mulai diadili September 1978. Semula, persidangan berjalan mulus walau ada kejutan di sanasini. Misalnya, pada persidangan kedua, E.W. mencabut kuasanya dari salah seorang pengacaranya, Gani Djemat, tanpa alasan yang jelas. Padahal, pada sidang pertama, Gani dengan bersemangat mengajukan eksepsinya, mementahkan tuduhan jaksa. Awal 1980, E.W. mendapat status tahanan luar dari hakim, karena sakit. Tapi, tiba-tiba, ia disabet Laksusda dari rumah kontrakannya di Jalan Kusumaatmadja 79, Jakarta Pusat, (TEMPO, 3 Mei 1980). Setelah itu, ia kembali ditahan di RTM - sampai kini. Musibah pun seperti tak habis-habisnya menimpa hakim dan jaksa yang menangani perkara itu. Dua dari tiga anggota tim jaksa sempat dirawat di rumah sakit ketika persidangan berlangsung. Salah satu di antara mereka belakangan malah mundur dari dinas. Tapi, "malapetaka" yang sebenarnya menimpa ketiga anggota majelis hakim, H.M. Soemadijono, Hanky Izmu Azhar, dan J.Z. Loudoe. Ketiga hakim senior itu diskors, 1981, dan kemudian diberhentikan, setelah Opstib mengaduk-aduk pengadilan. Perkara E.W. hampir terkatung-katung sampai dilanjutkan oleh majelis hakim baru, yang diketuai Slamet Riyanto. Persidangan yang panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus