MASIH ingat Endang Wijaya? Anak pedagang beras dari Sungai
Rampah, Deli Serdang, yang waktu kecil bernama A Tjai, itu
pernah dipuji-puji karena berhasil menyulap rawa-rawa di Pantai
Jakarta menjadi kompleks perumahan mewah Pluit. Tapi, lima tahun
lalu namanya menjadi pembicaraan tak enak, karena ia dituduh
memanipulasikan kredit Bank Bumi Daya dan tidak melunasi pajak,
sehingga negara dirugikan Rp 14 milyar.
Persidangan perkaranya boleh jadi yang terpanjang dalam sejarah
peradilan: dalam tingkat pertama saja berjalan hampir dua tahun
dengan 131 kali sidang, berakhir dengan vonis 10 tahun penjara
karena E.W. dianggap terbukti menyuap pejabat. Di pengadilan
banding, E.W. tetap dihukum 10 tahun, tapi dinyatakan terbukti
pula melakukan kejahatan korupsi. Mahkamah Agung, bulan lalu,
kemudian menolak kasasinya. Satu-satunya tuduhan yang tidak
mempan terhadap pengusaha itu hanyalah subversi. Dengan alasan
berbeda, ketiga peradilan itu membebaskan E.W. dari tuduhan itu.
Perkara E.W., yang dibongkar Opstib, tidak hanya memperlihatkan
manipulasi kredit bank dan pajak, tapi juga borok
pejabat-pejabat yang memberikan banyak kemudahan kepada
pengusaha itu. Opstib, seperti terbukti di persidangan, berhasil
mengungkapkan pejabat-pejabat yang mendapat hadiah dari E.W. -
baik pejabat BBD, DKI, Pajak, maupun beberapa pejabat tinggi
lainnya.
E.W., menurut pemeriksaan, mengorbankan sejumlah besar hadiah
yang berupa rumah, mobil, perabot, dan uang kontan. Dua di
antara pejabat itu ialah direktur kredit BBD (waktu itu)
Natalegawa, dan wali kota Jakarta Utara, Dwinanto, yang kemudian
diadili karena menerima hadiah-hadiah itu.
Membagi-bagikan hadiah itulah "dosa" E.W. yang terbukti di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim, yang diketuai
Slamet Riyanto', dalam keputusan Juli 1981, membebaskan E.W.
dari tuduhan korupsi dan subversi. Menurut Majelis, E.W. tidak
melakukan kejahatan subversi, karena tidak terbukti ada latar
belakang politik dalam perkaranya. Tentang korupsi, Majelis
tidak melihat ada bukti bahwa negara telah dirugikan akibat
kredit macet dari PT Jawa Indah Building Co., perusahaan yang
dipimpin E.W. "Sebab, kesempatan BBD menarik kembali uangnya
tetap terbuka sampai sekarang," kata Majelis. Pada waktu Majelis
mengambil keputusan itu, Jawa Building yang sudah beroperasi
kembali memang telah berangsur-angsur menunaikan kewajibannya
terhadap bank dan pajak.
Tapi Mahkamah Agung, seperti halnya Pengadilan Tinggi Jakarta,
berpendapat bahwa perbuatan E.W. - antara lain memalsukan
akta-akta tanah dari Notaris Ridwan Susilo untuk mendapatkan
kredit dari BBD dianggap merugikan negara. E.W. terbukti
mengagunkan tanah negara untuk memperoleh kredit. Sebab itu,
majelis peradilan tertinggi itu menghukum E.W. karena terbukti
korupsi, selain menyuap pejabat-pejabat negara.
Atas putusan Majelis Hakim Agung, yang diketuai H. Adi Andojo
Soetjipto, itu E.W., yang kini ditahan di rumah tahanan militer
Nirbaya, meminta grasi Presiden. "Ketika kami beritahukan
keputusan itu, ia mengatakan akan mengajukan grasi," kata
pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Setiawan.
Selain terungkap berbagai fakta di persidangan, perjalanan
perkara E.W. pun tak kalah menarik. Ditahan Kopkamtib sejak 13
September 1977, kemudian diubah menjadi tahanan kejaksaan, 28
Juli 1978, E.W. mulai diadili September 1978. Semula,
persidangan berjalan mulus walau ada kejutan di sanasini.
Misalnya, pada persidangan kedua,
E.W. mencabut kuasanya dari salah seorang pengacaranya, Gani
Djemat, tanpa alasan yang jelas. Padahal, pada sidang pertama,
Gani dengan bersemangat mengajukan eksepsinya, mementahkan
tuduhan jaksa.
Awal 1980, E.W. mendapat status tahanan luar dari hakim, karena
sakit. Tapi, tiba-tiba, ia disabet Laksusda dari rumah
kontrakannya di Jalan Kusumaatmadja 79, Jakarta Pusat, (TEMPO, 3
Mei 1980). Setelah itu, ia kembali ditahan di RTM - sampai kini.
Musibah pun seperti tak habis-habisnya menimpa hakim dan jaksa
yang menangani perkara itu. Dua dari tiga anggota tim jaksa
sempat dirawat di rumah sakit ketika persidangan berlangsung.
Salah satu di antara mereka belakangan malah mundur dari dinas.
Tapi, "malapetaka" yang sebenarnya menimpa ketiga anggota
majelis hakim, H.M. Soemadijono, Hanky Izmu Azhar, dan J.Z.
Loudoe. Ketiga hakim senior itu diskors, 1981, dan kemudian
diberhentikan, setelah Opstib mengaduk-aduk pengadilan.
Perkara E.W. hampir terkatung-katung sampai dilanjutkan oleh
majelis hakim baru, yang diketuai Slamet Riyanto. Persidangan
yang panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini