TANGIS Lompo boru Pinem meledak begitu hakim ketua, M. Siahaan,
mengetukkan palu: bebas murni untuk suaminya, Dokter Sampe
Sembiring, 45. Tak segan-segan, Lompo lantas memeluk ketiga
hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa perkara
suaminya di Pancurbatu, Deli Serdang, 25 km dari Medan, akhir
bulan lalu.
Keputusan itu diambil berdasarkan hasil pemeriksaan ulang secara
patologi anatomi, setelah Majelis sependapat dengan pembela
bahwa visum et repertum yang menjadi barang bukti, sangat
meragukan. Hasil pemeriksaan ulang menunjukkan, terdakwa telah
melakukan profesinya dengan baik, tidak lalai.
Sampe Sembiring diperiksa sejak Juli lalu. Jaksa Mangatas
Siregar menuduhnya melakukan "penganiayaan terhadap pasien"
hingga mengakibatkan luka berat. Sebagai dokter, terdakwa
dinilai "bekerja lalai". Maka, Jaksa menuntut enam bulan
kurungan, dengan masa percobaan satu tahun.
Akhir tahun lalu Marsaulina boru Munthe, 32, mengalami abortus
septicus, keguguran kandungan disertai infeksi. Setelah beberapa
kali diobati, ternyata belum juga sembuh, uterus (peranakan)
Marsaulina dikuret Sampe Sembiring, pimpinan puskesmas di
Pancurbatu. Dua minggu kemudian perut pasien itu membengkak,
rata dengan dada.
Sang suami, Berlin Purba, jaksa di Pancurbatu, membawanya ke RS
Pirngadi, Medan. Di sana, peranakan ibu tiga anak itu diangkat
karena luka berlubang dan mengalami peradangan. Penyebab luka
itu, menurut tuduhan Jaksa, adalah kuretan yang dilakukan Sampe
Sembiring sebelumnya.
Sebagai bukti, Jaksa menyertakan visum yang dibuat Dokter John
Koman, yang menyatakan: peranakan berlubang dan ditemukan darah
lama di rongga perut, yang mungkin akibat robekan dinding rahim.
Membaca visum itu, Pengacara H. Abdul Muthalib Sembiring dan R.
Sianturi dari Departemen Kesehatan meragukannya.
Visum itu meragukan. Kok, di sana ada kata kemungkinan,"ujar
Abdul Muthalib seraya minta Majelis menolak tuduhan Jaksa.
Majelis menolak permintaan itu, tapi memutuskan memeriksa
kembali visum tersebut di atas.
Ketua majelis hakim pun lantas mengirim barang bukti lainnya,
berupa peranakan (yang sudah diawetkan delapan bulan), ke Bagian
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU di Medan, untuk
diperiksa ulang. Menurut Dokter Harry Panjaitan, yang memimpin
pemeriksaan, kuret yang dilakukan Sampe terhadap Marsaulina
berjalan baik.
Pemeriksaan ulang itu, ternyata, tidak menemukan lubang luka
atau robekan pada rahim. Yang ada ialah necrose (lekukan karena
peradangan), bukan karena kuret, tapi lantaran serangan kuman.
"Mungkin kuman GO, streptococcus, staphylococcus, atau kuman
lain, seperti salmonellas," ujar Harry.
Kesimpulan saksi ahli itu sangat meyakinkan Majelis:
pengangkatan peranakan Marsaulina tidak ada hubungannya dengan
kelalaian terdakwa.
"Lagi pula, pemerintah menyediakan alat kuret di semua
puskesmas. Itu berarti, dokter umum pun diizinkan menggunakan
alat kuret," kata Ketua. Andai kata dokter umum dilaran
meneunakan alat itu, barulah bisa disebut tindakan Sampe
Sembiring melawan hukum. Mendengar keputusan itu, jaksa tidak
puas dan akan melanjutkan perkara ke tingkat yang lebih tinggi.
Begitu pula Marsaulina, kecewa. Sebagai orang Batak? ia masih
menginginkan seorang anak lelaki sebagai penerus marga,
meskipun kini ia sudah beranak tiga, dua perempuan dan satu
lelaki.
Sebaliknya, Sampe Sembiring gembira. "Sejak diadukan akhir tahun
lalu, kepala saya nyut-nyut terus. Sekarang rasanya plong
sudah," katanya senang.
Namun Sembiring boleh berbangga. Ia mungkin dokter pertama yang
dibebaskan akibat tuduhan melakukan kesalahan dalam merawat
pasiennya. Sebelumnya dr. Setianingrum di daerah Pati, Jawa
Tengah, dijatuhi hukuman karena dianggap lalai menyebabkan
pasiennya meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini