BERSERAGAM batik IPPNU, organisasi pelajar Nahdatul Ulama, empat pemuda itu hari-hari ini diadili di Kudus dengan dakwaan melanggar ketertiban beragama: menurunkan dari mimbar khatib yang sedang berkhotbah. Salat Jumat di Masjid Baitul Mukminin di Getaspejaten, Kudus. 19 November silam, tiba pada acaranya mendengarkan khotbah Lukman khatib kepala pada Kantor Urusan Agama Kacamatan Jati. Tiba-tiba, dua orang pemuda, Noor Rozikhun, 19, dan Asrofi, 20, bergegas menyibak barisan, menuju ke arah mimbar. "Mualaf ... mualaf ..., " terelaknya, sambil mematikan mikrofon. Mereka lalu meminta khatib yang tengah berkhotbah itu turun dari mimbar, bergabung dengan jemaah lain. Sesaat kemudian, muncullah Rohmat dan Imam Safii. Rohmat lalu bertindak sebagai muazin, sedangkan Imam Safii berganti menjadi khatib dan imam salat. Peristiwa itu membuat jemaah gusar. Tamin, pengurus masjid setempat, menyesali kelancangan para pemuda itu. Sedangkan Lukman, yang merasa dihinakan, memerah mukanya. "Bayangkan, saya disebut mualaf." Mualaf adalah sebutan bagi orang yang baru masuk Islam. Namun, perasaan itu ditekannya, dan ia tetap mengikuti acara salat Jumat sampai selesai. Lukman semakin tertekan ketika keempat orang itu, beserta 71 orang lainnya, mengajukan resolusi kepada kepala Kantor Departeman Agama Kudus agar Lukman dipecat atau dimutasikan. Alasannya, ia menjadi khatib liar. Malahan, resolusi itu ditembuskan kepada DPRD Kudus, kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Tengah, dan menteri agama. Namun, atasan Lukman memutuskan agar persoalan diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam musyawarah, mereka diminta mencabut resolusi, lalu minta maaf kepada pengurus masjid. Pengurus masjid pun minta maaf kepada Lukman. Lukman memang bukan khatib pilihan pemuda setempat. Menurut rencana, yang seharusnya berkhotbah adalah M. Saleh, yang ternyata berhalangan. Untuk menunjuk penggantinya, pengurus masjid dan pamong desa berembuk, kemudian memutuskan agar Lukman bertindak, sebagai khatib. Mereka menghubungi Lukman, dan memberi tahu putusan itu kepada kelompok pemuda, melalui Rohmat. Namun, Rohmat dan kawan-kawannya membantah bahwa pihaknya telah dihubungi. "Diberi tahu pun tidak, apalagi diajak rapat," kata mereka. Para pemuda heran ketika mengetahui bahwa perkara itu diajukan ke pengadilan. "Masalahnya 'kan sudah selesai?" seperti dipertanyakan Noor Rozikhun. Lain halnya bagi Lukman. Menurut dia, kesepakatan yang ada hanya dalam hal mencabut resolusi, dan sama sekali tidak menyangkut tuntutan hukum. Perkara jalan terus. "Tindakan para pemuda itu perbuatan nista," ujar Jaksa Kamaruddin, dalam dakwaannya. Sedangkan hakim ketua, Murdiatun, sempat pula menegur terdakwa, yang menjawab pertanyaan secara berbelit-belit. Soekarno, salah seorang saksi yang juga juru tulis Desa Getaspejaten, malah mengatakan bahwa para terdakwa sering membuat keributan di kampungnya. Baru sekali ini penggusuran khatib terjadi di masjid itu. Tapi, upaya penyelesaian melalui pengadilan tidak didukung semua orang. Noor Sandi, seorang pemuka dari Jepara, malah mengkhawatirkan ketenangan beragama dapat terganggu bila perkara itu diperpanjang. "Hanya soal etik saja," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini