BANYAKNYA korban pembunuhan misterius, di samping tahanan
politik, menjadi perhatian utama sekelompok ahli hukum dari
negara-negara ASEAN. Dimulai Rabu pekan lalu, pertemuan pertama
Dewan Regional Hak-hak Asasi Manusia di Asia, yang berlangsung
di Jakarta, berakhir 9 Desember, tepat sehari menjelang
peringatan hak-hak asasi manusia. Dalam pertemuan itu, paling
tidak wakil dari Indonesia, Filipina, dan Muangthai, melaporkan
adanya pembunuhan di luar hukum itu di negaranya.
Dari laporan-aporan itu, anggota dewan - antara lain Yap Thiam
Hien, Adnan Buyung Nasution (ketua), dan tokoh oposisi
Filipina, Jose W. Diokno - memperkirakan bahwa paling sedikit
3.000 orang - 2.000 di antaranya dari Indonesia - mati secara
"misterius". "Mungkin lebih, karena akhir-akhir ini banvak mavat
ditemukan lagi, yang belum masuk perhitungan, "ujar T. Mulya
Lubis, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang juga
anggota Dewan.
Dari Filipina, bekas hakim agung Jose B.L. Reyes, yang tak hadir
dalam pertemuan ini, melaporkan adanya "pembunuhan-pembunuhan
tak resmi (unofficial killing)" di negaranya. Salah satunya
terhadap pemimpin oposisi, Benigno S. Aquino, 21 Agustus lalu.
Di Muangthai, menurut Thongbai Thongpao, ketua LBH negeri itu,
pembunuhan bahkan juga dialami sejumlah wartawan.
Menyadari keadaan ini, dalam deklarasinya yang berjudul
"Kewajiban-kewajiban Dasar Rakyat dan pemerintah-pemerintah di
ASEAN," Dewan mencantumkan kewajiban pemerintah untuk tidak
melakukan, memerintahkan, atau membiarkan, eksekusi di luar
hukum.
Selain pembunuhan, yang juga menjadi pokok pembicaraan utama
mereka adalah penahanan, khususnya soal tahanan politik. Mulya
Lubis menyebutkan, selain beberapa ratus tahanan G30S/PKI, pada
akhir 1982 juga terdapat tahanan "ekstremis Islam" sekitar
400-500 orang. "Untuk seluruh ASEAN, paling sedikit 1.500
orang," ujar Jose W. Diokno, yang mewakili 14 temannya yang
hadir. Diokno, yang datang bersama anak dan lstrinya,
selanjutnya menerangkan bahwa sulit memperkirakan jumlahnya
secara pasti. "Sebab, banyak yang ditahan dengan tuduhan
kriminal, atau malah tak diakui bahwa ditahan." Di ncgaranya
sendiri, menurut laporan Reyes," penahanan sewenang-wenang
selama 18 bulan terakhir ini mencapai hampir 2.500 orang." Tak
disebutkan berapa yang berstatus tahanan politik.
Demi pembebasan tahanan-tahanan politik inilah Dewan memutuskan,
kampanye bersama tahun depan difokuskan pada masalah itu. Hal
ini mereka sebut dalam pernyataan yang, bersama deklarasi di
atas, dikirim ke sekretaris jenderal ASEAN, untuk dibagikan ke
seluruh negara anggotanya. "Sebab, hanya dengan pembebasan
tahanan politik rujuk nasional bisa terwujud di negaranegara
ASEAN," kata Diokno, sekretaris jenderal Dewan.
Pelanggaran hak asasi lain, selain dua hal itu, yang dibahas
Dewan umumnya adalah "pelanggaran-pelanggaran umum, seperti
eksploitasi terhadap wamta dan anak-anak pengingkaran hak buruh,
larangan berserikat, dan penindasan kepada kaum minoritas.
Deklarasinya sendiri penuh pasal-pasal untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan itu.
Misalnya, kewajiban pemerintah untuk menghargai partisipasi
masyarakat, menyelenggarakan keadilan sosial, dan menjamin hak
yang sama untuk masyarakat kultural .
Penyebab pelanggaran terhadap hak-hak asasi itu sendiri, berbeda
untuk tiap-tiap negara. Di Muangthai, menurut laporan Thongbai
Thongpao, seringnya kudeta menyebabkan dibuat banyak peraturan
yang akhirnya membatasi kebebasan sipil, yang konon dijamin
konstitusi. Misalnya, hak-hak politik dibatasi oleh
undang-undang hukum militer dan antikomunis, serta hak untuk
bicara dibatasi oleh ketentuan publikasi.
Untuk Filipina, Reyes menyebutkan bahwa penyebabnya adalah
bermacam-macam dekrit presiden pengganti undang-undang darurat
militer yang dicabut tahun 1981. Marcos, dengan dekrit-dekritnya
itu, katanya, "mempunyai kontrol penuh terhadap kebebasan setiap
manusia di Filipina - tak ada pengadilan atau penuntut yang bisa
menghalangi."
Di Malaysia, konon, tak banyak peraturan yang mengurangi hak
warganya. Paling-paling, undang-undang mengenai pencetakan
surat kabar, yang memberi kebebasan penuh kepada menteri untuk
memberi izin, memperbarui, atau mencabut izin terbit. Dari
Singapura tak ada laporan karena satu-satunya anggota dari sana,
Jayeratnam, tidak datang.
Walau banyak pelangaran terjadi, Dewan mengakui bahwa,
dibanding masa-masa sebelmnya, beberapa kemajuan tercapai.
Mereka menyebut contoh, pers yang makin bebas di Muangthai
Malaysia, dan Filipina. Juga, kebebasan berkumpul dan melakukan
protes secara damai di Filipina.
Bagi Indonesia, Dewan yang lahir 18 Februari tahun lalu ini
mungkin memang berguna. Paling tidak, menurut si pencetus ide
pendirian dewan ini, Yap Thiam Hien, "Kami 'kan tidak bisa
melakukan aksi di sini. Ya cari teman".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini