Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Laporan teman-teman

Pertemuan dewan hak-hak asasi manusia di jakarta. membahas masalah pembunuhan dan penahanan, khususnya tahanan politik. wakil dari asean melaporkan pelanggaran terhadap pembunuhan di luar hukum. (hk)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAKNYA korban pembunuhan misterius, di samping tahanan politik, menjadi perhatian utama sekelompok ahli hukum dari negara-negara ASEAN. Dimulai Rabu pekan lalu, pertemuan pertama Dewan Regional Hak-hak Asasi Manusia di Asia, yang berlangsung di Jakarta, berakhir 9 Desember, tepat sehari menjelang peringatan hak-hak asasi manusia. Dalam pertemuan itu, paling tidak wakil dari Indonesia, Filipina, dan Muangthai, melaporkan adanya pembunuhan di luar hukum itu di negaranya. Dari laporan-aporan itu, anggota dewan - antara lain Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution (ketua), dan tokoh oposisi Filipina, Jose W. Diokno - memperkirakan bahwa paling sedikit 3.000 orang - 2.000 di antaranya dari Indonesia - mati secara "misterius". "Mungkin lebih, karena akhir-akhir ini banvak mavat ditemukan lagi, yang belum masuk perhitungan, "ujar T. Mulya Lubis, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang juga anggota Dewan. Dari Filipina, bekas hakim agung Jose B.L. Reyes, yang tak hadir dalam pertemuan ini, melaporkan adanya "pembunuhan-pembunuhan tak resmi (unofficial killing)" di negaranya. Salah satunya terhadap pemimpin oposisi, Benigno S. Aquino, 21 Agustus lalu. Di Muangthai, menurut Thongbai Thongpao, ketua LBH negeri itu, pembunuhan bahkan juga dialami sejumlah wartawan. Menyadari keadaan ini, dalam deklarasinya yang berjudul "Kewajiban-kewajiban Dasar Rakyat dan pemerintah-pemerintah di ASEAN," Dewan mencantumkan kewajiban pemerintah untuk tidak melakukan, memerintahkan, atau membiarkan, eksekusi di luar hukum. Selain pembunuhan, yang juga menjadi pokok pembicaraan utama mereka adalah penahanan, khususnya soal tahanan politik. Mulya Lubis menyebutkan, selain beberapa ratus tahanan G30S/PKI, pada akhir 1982 juga terdapat tahanan "ekstremis Islam" sekitar 400-500 orang. "Untuk seluruh ASEAN, paling sedikit 1.500 orang," ujar Jose W. Diokno, yang mewakili 14 temannya yang hadir. Diokno, yang datang bersama anak dan lstrinya, selanjutnya menerangkan bahwa sulit memperkirakan jumlahnya secara pasti. "Sebab, banyak yang ditahan dengan tuduhan kriminal, atau malah tak diakui bahwa ditahan." Di ncgaranya sendiri, menurut laporan Reyes," penahanan sewenang-wenang selama 18 bulan terakhir ini mencapai hampir 2.500 orang." Tak disebutkan berapa yang berstatus tahanan politik. Demi pembebasan tahanan-tahanan politik inilah Dewan memutuskan, kampanye bersama tahun depan difokuskan pada masalah itu. Hal ini mereka sebut dalam pernyataan yang, bersama deklarasi di atas, dikirim ke sekretaris jenderal ASEAN, untuk dibagikan ke seluruh negara anggotanya. "Sebab, hanya dengan pembebasan tahanan politik rujuk nasional bisa terwujud di negaranegara ASEAN," kata Diokno, sekretaris jenderal Dewan. Pelanggaran hak asasi lain, selain dua hal itu, yang dibahas Dewan umumnya adalah "pelanggaran-pelanggaran umum, seperti eksploitasi terhadap wamta dan anak-anak pengingkaran hak buruh, larangan berserikat, dan penindasan kepada kaum minoritas. Deklarasinya sendiri penuh pasal-pasal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Misalnya, kewajiban pemerintah untuk menghargai partisipasi masyarakat, menyelenggarakan keadilan sosial, dan menjamin hak yang sama untuk masyarakat kultural . Penyebab pelanggaran terhadap hak-hak asasi itu sendiri, berbeda untuk tiap-tiap negara. Di Muangthai, menurut laporan Thongbai Thongpao, seringnya kudeta menyebabkan dibuat banyak peraturan yang akhirnya membatasi kebebasan sipil, yang konon dijamin konstitusi. Misalnya, hak-hak politik dibatasi oleh undang-undang hukum militer dan antikomunis, serta hak untuk bicara dibatasi oleh ketentuan publikasi. Untuk Filipina, Reyes menyebutkan bahwa penyebabnya adalah bermacam-macam dekrit presiden pengganti undang-undang darurat militer yang dicabut tahun 1981. Marcos, dengan dekrit-dekritnya itu, katanya, "mempunyai kontrol penuh terhadap kebebasan setiap manusia di Filipina - tak ada pengadilan atau penuntut yang bisa menghalangi." Di Malaysia, konon, tak banyak peraturan yang mengurangi hak warganya. Paling-paling, undang-undang mengenai pencetakan surat kabar, yang memberi kebebasan penuh kepada menteri untuk memberi izin, memperbarui, atau mencabut izin terbit. Dari Singapura tak ada laporan karena satu-satunya anggota dari sana, Jayeratnam, tidak datang. Walau banyak pelangaran terjadi, Dewan mengakui bahwa, dibanding masa-masa sebelmnya, beberapa kemajuan tercapai. Mereka menyebut contoh, pers yang makin bebas di Muangthai Malaysia, dan Filipina. Juga, kebebasan berkumpul dan melakukan protes secara damai di Filipina. Bagi Indonesia, Dewan yang lahir 18 Februari tahun lalu ini mungkin memang berguna. Paling tidak, menurut si pencetus ide pendirian dewan ini, Yap Thiam Hien, "Kami 'kan tidak bisa melakukan aksi di sini. Ya cari teman".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus