Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Perburuan Mr. X

Lewat proses yang berliku, buron kasus korupsi dana BLBI, Adrian Kiki Ariawan, dipulangkan dari Australia. Serah-terima di buritan pesawat dengan sejumlah syarat.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk diapit dua pria berbadan tegap, lelaki itu terlihat seperti tak berbeda dengan penumpang pesawat lainnya. Dia bersandar dengan santai di kursi. Sesekali ia mengobrol dengan orang di sebelah kiri-kanannya. Padahal, di manifes penumpang, nama lelaki itu dicatat dengan cara tak lazim: Mr. X. Hanya itu.

Mr. X memang bukan penumpang biasa. Dalam penerbangan selama enam jam, Rabu dua pekan lalu, dari Perth, Australia, ke Jakarta itu, tak kurang dari sembilan pasang mata terus memelototi gerak-gerik lelaki tersebut. Saat hendak ke toilet pun Mr. X tak pernah dibiarkan sendiri. Selalu ada yang bertugas menguntitnya.

Mr. X itu tak lain Adrian Kiki Ariawan, Presiden Direktur Bank Surya, yang buron sejak 2002. Selama ini aparat selalu gagal menjebloskan dia ke penjara. Tapi, malam itu, Adrian hanya bisa pasrah menuju peristirahatan seumur hidupnya, penjara di Indonesia. "Ini berkat komitmen dan kerja sama semua pihak," kata Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto, Ketua Tim Terpadu Pencari Tersangka/Terpidana dan Aset Tindak Pidana, Rabu pekan lalu. Mendarat di Indonesia, Rabu malam dua pekan lalu, pria 69 tahun itu langsung dijebloskan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur.

n n n

Kejaksaan Agung mengincar Adrian sejak 2001. Bank Surya yang dia pimpin termasuk salah satu bank pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang totalnya sekitar Rp 147 triliun. Modusnya: Adrian menyalurkan kredit kepada 166 perusahaan yang ia bentuk dan kendalikan. Sebagian besar perusahaan tersebut tak melakukan kegiatan usaha alias paper company.

Karena pengucuran kredit yang menyalahi prosedur, likuiditas Bank Surya pun terkuras. Sejak 10 Oktober 1997, rekening Bank Surya di Bank Indonesia bersaldo negatif. Untuk menyelamatkan bank itu, pada Oktober dan November 1997, Bank Indonesia memberikan fasilitas diskonto: masing-masing Rp 330,54 miliar dan Rp 384,34 miliar.

Adrian malah memakai fasilitas diskonto itu untuk bertransaksi di pasar antarbank. Dia pun kembali menyalurkan kredit kepada 103 perusahaan fiktif. Akibatnya, saat jatuh tempo, fasilitas diskonto tak bisa dikembalikan Bank Surya. Ketika dinyatakan sebagai bank beku operasi pada April 1998, saldo Bank Surya minus hampir Rp 1,96 triliun.

Kasus Bank Surya pun masuk ke pengadilan. Berkali-kali dipanggil sidang, Adrian tak pernah datang. Dia hanya diwakili­ pengacara. Walhasil, peradilan pun dilakukan secara in absentia alias tanpa kehadiran terdakwa.

Pada 13 November 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Adrian bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pengadilan menghukum dia penjara seumur hidup serta memintanya membayar denda Rp 30 juta dan uang pengganti Rp 1, 5 triliun. Pengadilan lantas memerintahkan agar Adrian dijebloskan ke rumah tahanan negara.

Putusan pengadilan itu tak bisa segera dieksekusi. Soalnya, Adrian telanjur menghilang entah ke mana. Dari tempat persembunyian, melalui pengacaranya, ia terus melawan. Adrian mengajukan permohonan banding, tapi ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 23 Juli 2003.

Lima bulan kemudian, Adrian dilarang bepergian ke luar negeri. Tapi larangan itu sia-sia. Dia meninggalkan Indonesia bahkan sebelum hakim pertama kali mengetukkan palu. Pada 20 Desember 2004, jaksa pun meminta bantuan National Central Bureau Interpol Indonesia untuk memburu Adrian.

Pernah dicurigai kabur ke Singapura, Adrian ternyata kabur ke Australia. Di Negeri Kanguru, ia menyamarkan diri dengan nama berbeda-beda, antara lain Adrian Adamas, Adrian Adamus, dan Adrian Adams.

Pada 28 September 2005, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia meminta bantuan pemerintah Australia untuk memulangkan Adrian ke Tanah Air. Kebetulan kedua negara sudah meneken perjanjian ekstradisi pada 22 April 1992.

Berbekal red notice yang diterbitkan Interpol, pada 28 November 2008, kepolisian Perth menangkap Adrian. Ternyata dia telah mengantongi paspor Australia dengan nama Adrian Adamas. Ketika hendak dipulangkan ke Indonesia, ia melawan.

Memanfaatkan status warga negara Australia, Adrian mengajukan keberatan ke Magistrate of the State of Western Australia. Pada 16 Oktober 2009, pengadilan tingkat pertama itu memutuskan Adrian bisa diekstradisi. Menteri Kehakiman Australia pada Desember 2010 juga menetapkan Adrian bisa dipulangkan ke Indonesia.

Adrian tak menyerah. Dia mengajukan permohonan banding ke Full Federal Court di Negara Bagian Western Australia. Anehnya, pengadilan tingkat banding malah mengabulkan keberatan Adrian.

Ketika proses hukum di Australia menunjukkan gelagat kurang menguntungkan, pemerintah Indonesia berupaya meyakinkan pemerintah Australia. Dalam berbagai kunjungan kenegaraan, pejabat Indonesia menyampaikan pesan khusus kepada pejabat Australia. Intinya, pemulangan Adrian penting untuk pemberantasan korupsi dan perbaikan hubungan kedua negara.

Pemerintah Australia rupanya tak mau menerabas hukum untuk memaksa pulang Adrian. Mereka pun meminta penetapan High Court of Australia—semacam Mahkamah Agung di Indonesia. Hasilnya, pada 18 Desember 2013, pengadilan tertinggi di Australia itu menguatkan penetapan Menteri Kehakiman mereka untuk menyerahkan Adrian ke Indonesia. Lewat nota diplomatiknya, Australia berjanji menyerahkan Adrian paling lambat 16 Februari 2014.

Untuk memperlancar pemulangan Adrian, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto membentuk Tim Terpadu. Tim ini mewakili Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; NCB/Interpol Indonesia; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; serta Kementerian Luar Negeri. Tim dipimpin Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto.

Tak menunggu tenggat, pada 20 Januari lalu, sembilan anggota Tim Terpadu berangkat menuju Perth. Bertolak dari Jakarta pukul 10.15, Tim tiba di Perth pukul 17.00. Di sana mereka disambut tim Konsulat Jenderal Indonesia dan kepolisian Australia. Malam itu juga Tim Terpadu menggelar rapat koordinasi. Di samping wakil pemerintah, rapat itu dihadiri manajemen Garuda Indonesia perwakilan Perth.

Rapat membahas sejumlah poin penting berkaitan dengan teknis penyerahan dan pemulangan Adrian. Misalnya tim meminta manajemen Garuda menyembunyikan identitas Adrian dengan nama samaran Mr. X dalam manifes perjalanan. Di pesawat, Adrian pun tak boleh diberi alat makan dari logam, tapi harus dari plastik. Toilet khusus untuk Adrian juga harus bebas benda tajam yang bisa melukai.

Agar Adrian tak berulah, di antara Tim Terpadu ada orang yang ditugasi khusus "membujuk" dia. Petugas ini diminta meyakinkan Adrian bahwa pulang ke kampung halaman lebih baik ketimbang jadi buron di negeri orang. Adrian pun diyakinkan masih punya kesempatan mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Rapat sempat buntu sewaktu membahas dokumen yang akan dipakai Adrian untuk melintasi di pos imigrasi Australia. Soalnya, ia telah menjadi warga Australia sejak 2002. Kebuntuan baru terpecahkan keesokan harinya, ketika Tim Terpadu menggelar rapat dengan kejaksaan dan kepolisian Australia.

Otoritas Australia tak mempersoalkan dokumen apa pun yang dipilih pihak Indonesia. Mereka hanya meminta Adrian diserahkan secara resmi di pintu pesawat sebelum penumpang lain naik. Permintaan lain: semua proses penyerahan tak boleh difoto atau direkam kamera video.

Pada hari penyerahan, Rabu, 22 Januari lalu, Tim Terpadu memboyong Adrian dengan pesawat Garuda GA-725. Di dalam pesawat, borgol plastik di tangan Adrian memang dilepas. Tapi dia selalu diawasi petugas.

Berangkat dari Bandar Udara Internasional Perth pukul 17.40, pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pukul 20.40. Di Soekarno-Hatta, pesawat tak berhenti di tempat biasa. Pesawat parkir di ujung terminal kedatangan internasional. Penumpang diturunkan lewat tangga, tak melalui pintu garbarata.

Sebelum turun dari pesawat, Adrian kembali diborgol. Lewat pintu belakang pesawat, Tim Terpadu menggiring dia ke kendaraan khusus milik Angkasa Pura. Adrian diboyong dulu ke sebuah rumah di lingkungan bandara. Setelah perjalanan diyakini aman, tim mengangkut Adrian dengan kendaraan tahanan menuju Kejaksaan Agung. "Kami tak mau kecolongan. Dia buron besar yang punya banyak uang," kata seorang jaksa yang turut menjemput Adrian.

Dari bandara, Adrian dibawa singgah ke kantor Kejaksaan Agung. Di sana Adrian meneken semua dokumen resmi berkaitan dengan eksekusi hukuman dia. Menjelang tengah malam, ia pun dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan ekstradisi Adrian harus menempuh jalan panjang karena sistem hukum kedua negara yang berbeda. Untungnya, kendala itu bisa diatasi­ berkat komitmen pemerintah Australia membantu pemulangan Adrian. "Itu yang harus kita apresiasi," ujar Amir.

Toh, pemulangan Adrian baru sukses awal. Dalam kasus korupsi BLBI saja masih banyak "Adrian" lain yang harus dipulangkan. Bila buron kasus pidana lain masuk hitungan, pekerjaan Tim Terpadu jelas masih jauh dari tuntas. "Kami akan terus memburu mereka. Kami sudah punya skala prioritas," kata Andhi Nirwanto.

Jajang Jamaludin, Febriyan


Masih Berkeliaran

Sejumlah pengusaha penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia melarikan diri ke luar negeri. Ada yang tertangkap dan dipulangkan ke Indonesia, ada juga yang meninggal "di rantau" lalu penanganan kasusnya dihentikan Kejaksaan Agung.

Nama: Sjamsul Nursalim
Kasus: BDNI
Kerugian: Rp 28,4 triliun
Tempat pelarian: Singapura
Catatan: Penanganan kasusnya dihentikan Kejaksaan Agung pada Juli 2004

Nama: Hendra Rahardja
Kasus: Bank BHS
Kerugian: Rp 2,659 triliunTempat pelarian: Australia
Catatan: Meninggal di Australia

Nama: Samadikun Hartono
Kasus: Bank Modern
Kerugian: Rp 169 miliar
Tempat pelarian: Tak terlacak (diduga Singapura dan Hong Kong)

Nama: Bambang Sutrisno
Kasus: Bank Surya
Kerugian: Rp 1,5 triliun
Tempat pelarian: Singapura

Nama: Eko Adi Putranto
Kasus: Bank BHS
Kerugian: Rp 2,659 triliun
Tempat pelarian: Australia

Nama: Agus Anwar
Kasus: Bank Pelita
Kerugian: Rp 1,9 triliun
Tempat pelarian: Singapura

Polah Tingkah Adrian

Akhir 2001
Adrian Kiki melarikan diri ke Australia.

13 November 2002
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Adrian. Dia juga diminta mengganti kerugian negara sebesar Rp 1,5 triliun.

28 September 2005Pemerintah Indonesia mengajukan permohonan ekstradisi terhadap Adrian Kiki kepada Australia.

Mei 2008
Kejaksaan meminta kepolisian Australia mengawasi gerak-gerik Adrian.

28 November 2008
Adrian ditangkap kepolisian Australia di Perth, Australia Barat.

16 Oktober 2009
Pengadilan Australia (Magistrate of the State of Western Australia) memutuskan Adrian Kiki bisa diekstradisi ke Indonesia. Adrian mengajukan permohonan banding.

Desember 2010
Indonesia mengajukan permohonan permintaan ekstradisi Adrian kepada pemerintah Australia melalui jalur diplomatik.

2012
Menjadi warga negara Australia dengan nama Adrian Adamas.

September 2012
Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerima perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kehakiman, dan Pertahanan Australia. Kedua pihak membahas soal penegakan hukum, termasuk ekstradisi Adrian Kiki dan Sayed Abbas.

15 Februari 2013
Pengadilan menerima keberatan Adrian Kiki dengan membatalkan putusan ekstradisi Adrian. Pemerintah Australia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

18 Desember 2013
Mahkamah Agung Australia menguatkan penetapan Menteri Kehakiman Australia untuk mengekstradisi Adrian paling lambat 16 Februari 2014.

Tertangkap

Nama: David Nusa Wijaya
Kasus: Bank Umum Servitia
Kerugian: Rp 1,29 triliun
Tempat pelarian: Singapura dan Amerika Serikat
Catatan: Diekstradisi dari Amerika pada 2006

Nama: Atang Latief
Kasus: Bank Indonesia Raya
Kerugian: Rp 325 miliar
Tempat pelarian: Singapura
Catatan: Kembali ke Indonesia dan menyerahkan diri pada 2006

Nama: Sherny Konjongiang
Kasus: Bank BHS
Kerugian: Rp 2,659 triliun
Tempat pelarian: Amerika Serikat
Catatan: Dideportasi dari Amerika pada 2012

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus