Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Artinya, pelaksanaan Pemilu 2024 tetap dilakukan secara terbuka alias coblos gambar calon legislatif (caleg). Namun ada satu hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Siapa dia dan apa alasannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PUU-XIX/2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Amar putusan, mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar saat membacakan amar putusan MK, Kamis, 15 Juni 2023.
Anwar melanjutkan, ada satu hakim yang memiliki dissenting opinion dalam putusan tersebut, yakni Hakim MK Arief Hidayat. "Pendapat berbeda, bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion)," ujar Anwar.
Alasan Hakim Arief
Dalam pandangannya, Arief menilai permohonan pemohon harus dikabulkan untuk sebagian. "Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," kata Arief.
Arief mengutip pernyataan Bung Karno yang mengatakan bahwa demokrasi permusyawaratan-perwakilan memiliki fungsi ganda, yang menjadi sarana mengadu ide, gagasan dan aspirasi golongan yang ada di masyarakat dalam suatu badan perwakilan.
"Dalam kerangka itu pula lah sistem pemilu harus diletakkan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi perwakilan rakyat, memilih para wakilnya melalui kendaraan partai politik," kata Arief.
Oleh karena itu, Arief mengusulkan agar pelaksanaan sistem Pemilu 2024 dilaksanakan secara proporsional terbuka terbatas. "Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas itulah yang saya usulkan," kata Arief, seperti dikutip Tempo, Kamis, 15 Juni 2023.
Kendati demikian, dalam dissenting opinion tersebut, Arief juga tidak setuju dengan Pemilu sistem proporsional tertutup, seperti yang dimintakan pemohon. Menurutnya, Pemilu sistem proporsional tertutup bukanlah solusi yang tepat.
Selanjutnya: Awal gugatan uji materi
Awal gugatan uji materi
Diketahui gugatan uji materi sistem Pemilu diajukan ke MK sejak November 2022. Penggugatnya adalah kader PDIP Demas Brian Wicaksono, kader Partai NasDem Yuwono Pintadi, kemudian Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Uji materi dilakukan terhadap Pasal 168 ayat 2 terkait sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang menampilkan nama dan nomor urut calon legislatif di kertas suara. Sementara sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan di mana para pemilih hanya mencoblos gambar partai.
Para pemohon menilai sistem proporsional terbuka membawa lebih banyak keburukan, sebab membuat caleg dari satu partai akan saling sikut untuk mendapatkan suara terbanyak. Para penggugat menilai sistem itu juga memunculkan politik uang karena caleg berebut mendapatkan nomor urut paling kecil. Hal itu membuat kader partai yang lebih berpengalaman kalah dengan mereka yang populer dan punya modal besar.
Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDIP.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | M ROSSENO AJI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.