Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Alasan Hakim MK Arief Hidayat Usul Pemilu Sistem Proporsional Terbuka Terbatas

Hanya satu hakim MK yang berbeda pendapat alias dissenting opinion, yakni Arief Hidayat. Apa alasannya?

15 Juni 2023 | 16.34 WIB

Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat memberikan pertanyaan pada saksi fakta yang dihadirkan oleh pihak pemohon pada sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi terkait Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) 2019 di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 19 Juni 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat memberikan pertanyaan pada saksi fakta yang dihadirkan oleh pihak pemohon pada sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi terkait Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) 2019 di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 19 Juni 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Artinya, pelaksanaan Pemilu 2024 tetap dilakukan secara terbuka alias coblos gambar calon legislatif (caleg). Namun ada satu hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Siapa dia dan apa alasannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PUU-XIX/2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Amar putusan, mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar saat membacakan amar putusan MK, Kamis, 15 Juni 2023.

Anwar melanjutkan, ada satu hakim yang memiliki dissenting opinion dalam putusan tersebut, yakni Hakim MK Arief Hidayat. "Pendapat berbeda, bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion)," ujar Anwar.

Alasan Hakim Arief

Dalam pandangannya, Arief menilai permohonan pemohon harus dikabulkan untuk sebagian. "Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," kata Arief.

Arief mengutip pernyataan Bung Karno yang mengatakan bahwa demokrasi permusyawaratan-perwakilan memiliki fungsi ganda, yang menjadi sarana mengadu ide, gagasan dan aspirasi golongan yang ada di masyarakat dalam suatu badan perwakilan.

"Dalam kerangka itu pula lah sistem pemilu harus diletakkan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi perwakilan rakyat, memilih para wakilnya melalui kendaraan partai politik," kata Arief.

Oleh karena itu, Arief mengusulkan agar pelaksanaan sistem Pemilu 2024 dilaksanakan secara proporsional terbuka terbatas. "Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas itulah yang saya usulkan," kata Arief, seperti dikutip Tempo, Kamis, 15 Juni 2023.

Kendati demikian, dalam dissenting opinion tersebut, Arief juga tidak setuju dengan Pemilu sistem proporsional tertutup, seperti yang dimintakan pemohon. Menurutnya, Pemilu sistem proporsional tertutup bukanlah solusi yang tepat.

Selanjutnya: Awal gugatan uji materi

Awal gugatan uji materi

Diketahui gugatan uji materi sistem Pemilu diajukan ke MK sejak November 2022. Penggugatnya adalah kader PDIP Demas Brian Wicaksono, kader Partai NasDem Yuwono Pintadi, kemudian Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI). 

Uji materi dilakukan terhadap Pasal 168 ayat 2 terkait sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang menampilkan nama dan nomor urut calon legislatif di kertas suara. Sementara sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan di mana para pemilih hanya mencoblos gambar partai.

Para pemohon menilai sistem proporsional terbuka membawa lebih banyak keburukan, sebab membuat caleg dari satu partai akan saling sikut untuk mendapatkan suara terbanyak. Para penggugat menilai sistem itu juga memunculkan politik uang karena caleg berebut mendapatkan nomor urut paling kecil. Hal itu membuat kader partai yang lebih berpengalaman kalah dengan mereka yang populer dan punya modal besar. 

Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDIP.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | M ROSSENO AJI

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus