Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Alasan Alexander Marwata mengajukan uji materiil pasal larangan pimpinan KPK bertemu dengan pihak beperkara dianggap janggal.
Para ahli hukum menyatakan konstruksi pasal tersebut sudah jelas sehingga tidak multitafsir.
Alex juga dianggap aneh karena merasa ada diskriminasi terhadap KPK dengan adanya pasal tersebut.
WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata mengajukan uji materiil Pasal 36 huruf (a) dan Pasal 37 Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi soal larangan pimpinan dan pegawai lembaga KPK bertemu dengan pihak beperkara. Alex coba terlepas dari perkara etik pertemuannya dengan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, yang tengah ditelusuri Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Eko kini berstatus terpidana kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan itu dilayangkan Alex pada 4 November 2024, empat hari setelah Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Ade Safri Simanjuntak menyatakan akan melakukan gelar perkara untuk menentukan kasus pelanggaran etik Alex Marwata layak naik ke tahap penyidikan. Alex menyatakan menggugat kedua pasal itu karena perbedaan tafsir antara aparat hukum dan pembuat undang-undang terhadap kedua pasal tersebut.
Perbedaan tafsir itu, menurut dia, membuat pasal tersebut rentan digunakan untuk mengkriminalkan pimpinan maupun pegawai KPK. “Rumusan pasal itu tidak jelas, sekalipun dalam penjelasan Undang-Undang KPK dinyatakan cukup jelas. Di mana ketidakjelasannya atau setidaknya menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan perumus undang-undang,” kata Alex, Kamis, 7 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alex menilai ada ketidakjelasan soal siapa yang dimaksudkan dalam frasa “pihak lain” dalam Pasal 36. Menurut dia, frasa itu seharusnya bermakna pihak yang ada hubungannya dengan tersangka, seperti rekan kerja atau keluarga orang yang tengah beperkara. Sementara selama ini, menurut dia, frasa pihak lain itu dimaknai secara luas sehingga tak jelas batasannya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, saat ditemui di Gedung Promoter Polda Metro Jaya, Jakarta, 30 Oktober 2024. TEMPO/Dani Aswara
Dia juga menilai tak ada batasan kata “perkara” dalam pasal tersebut. “Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara? Jangankan menyebutkan tersangkanya, peristiwa pidana korupsinya pun belum jelas,” ucap Alex.
Menurut Alex ada ketidakjelasan soal frasa “dengan alasan apa pun” dalam pasal tersebut. Menurut dia, frasa itu tak mengecualikan pertemuan dalam rangka melaksanakan tugas dan dalam kondisi tidak mengetahui status orang yang ditemui. “Kalau tanpa pengecualian, berarti bertemu di kondangan pun bermasalah. Sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas,” tuturnya.
Dalam gugatannya, Alex menyatakan pertemuannya dengan Eko Darmanto sebagai bagian dari tugas Wakil Ketua KPK. Dia mengklaim menerima kedatangan Eko yang ingin menyampaikan laporan dugaan korupsi sesuai dengan prosedur. Eko pun diterima secara resmi di kantor dengan staf Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat. "Pada saat itu, Eko Darmanto belum berstatus tersangka," kata Alexander.
Mantan hakim itu juga menilai aturan tersebut membuat pimpinan dan insan KPK didiskriminasi. Alasannya, larangan bertemu dengan pihak yang beperkara tak berlaku bagi aparat penegak hukum lain.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman menilai tak ada yang salah dengan konstruksi pasal tersebut. Menurut dia, tiga hal yang dipermasalahkan Alex sudah cukup jelas sehingga tak perlu lagi ditafsirkan oleh hakim konstitusi.
Benny menyatakan sebenarnya masih ada celah pimpinan KPK bertemu dengan pihak beperkara. Syaratnya, menurut dia, pertemuan itu harus dihadiri lebih dari satu orang yang memang mendapatkan tugas untuk mendampingi. Selain itu, pertemuan tersebut harus dengan sepengetahuan pemimpin-pemimpin lain karena sifat kolektif kolegial yang dimiliki lembaga tersebut. Aturan itu, menurut dia, pun memiliki tujuan yang jelas. "Tujuannya, ya, untuk mencegah manipulasi, transaksi, deal-deal dalam pertemuan semacam itu," katanya.
Politikus PKS Muhammad Nasir Djamil mengatakan larangan bertemu dengan pihak beperkara saat ini memang hanya berlaku bagi KPK. Namun, menurut dia, hal itu tak lepas dari sejarah berdirinya lembaga tersebut. Menurut Nasir, salah satu alasan pembentukan KPK pada 2002 adalah lembaga penegak hukum lain saat itu tercemar praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk mencegah KPK ikut tercemar, menurut dia, pemerintah dan DPR membuat larangan itu. Apalagi KPK juga bisa melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegakan hukum yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Nasir menyebutkan kewenangan tersebut tidak dimiliki lembaga penegak hukum lain. "KPK sangat eksklusif. Jadi, itu sebabnya dia beda dengan kejaksaan dan kepolisian," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut saat dihubungi secara terpisah.
Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar setuju dengan pendapat Benny dan Nasir. Menanggapi alasan Alexander Marwata mengajukan uji materiil itu janggal, dia menilai konstruksi Pasal 36 huruf (a) dan Pasal 37 UU KPK itu cukup jelas. "Ini alasan yang penuh kepentingan," ujarnya.
Fickar menilai aneh jika Alex merasa ada diskriminasi terhadap KPK dengan keberadaan pasal tersebut. Alasannya, menurut dia, KPK merupakan lembaga yang memang diharapkan menjadi contoh bagi aparat penegak hukum lain. Karena itu, KPK harus memiliki standar yang lebih tinggi agar tidak terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti yang sering ditemukan di kepolisian dan kejaksaan. "Pikiran Alex ini aneh. Seharusnya berpikir bagaimana menjadi contoh instansi lain, tapi malah justru mundur ingin mengikuti kelakuan oknum lembaga lain," tuturnya.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson juga menilai uji materiil ini, jika dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, tak akan berpengaruh terhadap penyelidikan maupun penyidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya. Hal itu karena penyelidikan kasus tersebut dilakukan sebelum MK membuat putusan.
"Ini sebagaimana dilandaskan prinsip non-retroaktif, yaitu hukum tidak berlaku surut atau tidak berlaku mundur," ucap Febby. Prinsip ini juga berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam rapat pleno terbuka untuk umum.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani sepakat dengan Feby. Julius pun mendorong Polda Metro Jaya segera menjelaskan apakah ada tindak pidana atau tidak dalam pertemuan antara Alexander Marwata dan Eko Darmanto tersebut. Jika memang ada tindak pidana, menurut dia, polisi harus segera menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan dan segera menyelesaikan berkasnya agar bisa disidangkan dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Agar tidak ada dalih mengatasnamakan proses di MK untuk menunda proses di Polda," ucapnya.
Sementara itu, dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, memiliki pendapat sedikit berbeda. Ia menuturkan, dalam hukum pidana dikenal asas lex favor reo. Artinya, apabila terjadi perubahan undang-undang, aturan yang berlaku adalah yang paling menguntungkan bagi terdakwa. "Itu makanya kalau sedang ada kasus hukum, orang biasanya mencari celah dengan gugat ke MK. Sebenarnya itu upaya untuk menghentikan kasus," ujarnya.
Apalagi kasus Alexander Marwata di Polda Metro Jaya masih dalam tahap penyelidikan. Sehingga masih ada rentang waktu dan harus melewati beberapa babak untuk sampai ke pengadilan. "Kalau sudah di pengadilan juga berlaku asas itu. Namun, karena hakim independen, bisa saja hakim tidak mengikuti putusan MK dengan dasar argumentasi keadilan," tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini