Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengkritik sistem penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang mereka nilai belum banyak berpihak terhadap hak korban.
Aliansi Mahasiswa UGM yang beranggotakan puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas menggelar konsolidasi di kantin Fakultas Filsafat UGM untuk membahas berbagai persoalan kampus, satu di antaranya kekerasan seksual pada Jumat, 11 April 2025.
Sejumlah mahasiswa yang bertemu di antaranya berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Filsafat, Kedokteran, Farmasi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Teknologi Pertanian.
Salah satu anggota Aliansi Mahasiswa UGM, Halimah mengatakan konsolidasi itu muncul dari keresahan mahasiswa terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang belum berpihak terhadap korban. Halimah bukan nama sebenarnya mahasiswa tersebut. Perempuan tersebut meminta namanya tidak ditulis dengan alasan khawatir terhadap tekanan pejabat kampus atas kritik yang mereka lontarkan.
Aliansi memberikan catatan tentang penanganan kekerasan seksual yang belum berpihak terhadap hak korban di antaranya penanganan yang tidak transparan terhadap korban. Selain itu, UGM, kata Halimah juga tidak memberikan keleluasaan atau alternatif korban untuk mencari pendampingan dari luar UGM. Mereka juga mengkritik pendampingan dan pemulihan trauma korban yang belum maksimal.
Dia mencontohkan pada kasus kekerasan seksual yang melibatkan Guru Besar Fakultas Farmasi, Edy Meiyanto, Fakultas Farmasi menutupi kasus tersebut dan menekan korban agar tak bicara demi nama baik kampus. “Kami ingin ada perbaikan sistem penanganan yang berpihak terhadap korban,” kata Halimah dihubungi Tempo melalui sambungan telepon.
Sejumlah korban kekerasan seksual Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan belum menggunakan pendampingan psikologis untuk pemulihan trauma.
Dalam siaran pers yang diunggah pada 6 April 2025, UGM menyatakan berpegang teguh pada prinsip pengarusutamaan dan keadilan gender. UGM melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan para korban sesuai kebutuhan korban.
Tapi, sejumlah korban menyatakan pendampingan psikologis hanya diberikan saat proses pemeriksaan korban, pelaku, dan saksi sebelum pemecatan pelaku. Tempo menghubungi dua korban untuk mengkonfirmasi layanan pendampingan psikologis tersebut. “Kami belum ditawari setelah rektorat mengumumkan pemecatan pelaku,” kata dua korban itu pada Kamis, 10 April 2025.
Sebagian korban menurut dia kini menunggu kepastian sanksi pencabutan status ASN terhadap Edy Meiyanto. Mereka mendengar pelaku sedang mengurus pendaftaran untuk mengajar di kampus lain. Lewat pencopotan status PNS itu, korban berharap menimbulkan efek jera pelaku dan membatasi peluangnya menyasar korban lainnya.
Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius menjelaskan tentang pembentukan tim pemeriksa disiplin kepegawaian yang berhubungan dengan status kepegawaian Edy sebagai ASN. Tim yang dibentuk melalui surat keputusan rektor beranggotakan atasan Edy yakni dekan atau ketua departemen, direktorat sumber daya manusia, dan satuan pengawas internal.
Hasil pemeriksaan tim tersebut, kata Sandi akan rektor sampaikan ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Ihwal independensi tim Sandi hanya menyebutkan UGM secepatnya memeriksa pelaku sesuai prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tapi, dia tak menjawab pertanyaan tentang mahasiswa yang belum memanfaatkan pendampingan psikologis setelah UGM memberikan sanksi terhadap Edy Meiyanto. “Cukup ya,” kata Andi Sandi dihubungi melalui pesan Whatsapp, Kamis, 10 April 2025.
Majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang menjelaskan kasus kekerasan oleh Edy Meiyanto. Edy dituduh melecehkan mahasiswa S-1, S-2, S-3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi.
Peristiwa itu berlangsung di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian. Temuan Majalah Tempo menunjukkan ada upaya Fakultas Farmasi menutupi dan melarang korban mencari bantuan pendampingan dari luar kampus.
Jumlah korban yang melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ada 15 mahasiswa. Menurut korban, ada laporan korban berupa kekerasan verbal yang tidak dimasukkan oleh Satgas PPKS.
Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Sejumlah korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Kampus kini tak perlu menutupi lagi. Semua orang juga sudah tahu,” kata seorang korban.
Pelaku yang juga penceramah masjid itu memijat tangan, memegang rambut mahasiswa dari balik jilbab, memegang pipi dan wajah, dan mencium pipi mahasiswa di rumahnya. Semua korban mengenakan jilbab.
Di kampus, modusnya adalah menyuruh mahasiswa memeriksa tensi darah supaya dia bisa memegang tangan korban. Pelaku juga meminta korban mengirimkan foto dan memaksa mahasiswa menghubungi di luar jam mengajar, bahkan saat malam.
Pemecatan sebagai dosen UGM itu, kata korban melegakan karena mereka tidak ingin korban semakin bertambah di Fakultas Farmasi. Para alumni Fakultas Farmasi yang menjadi korban menyambut baik pemecatan itu. Sebagian, kata dia mengekspresikannya dengan mengunggah pemberitaan media massa di akun media sosial mereka. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” katanya.
Tempo dua kali mendatangi rumah Edy Meiyanto di kawasan Minomartani, Sleman untuk meminta konfirmasi mengenai tuduhan para korban. Namun, tak ada satu pun penghuni rumah muncul membukakan pintu. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumahnya. Edy juga tak membalas pesan permintaan wawancara yang dikirim ke nomor teleponnya.
Pilihan Editor: Korban Kekerasan Seksual Guru Besar UGM Desak Status PNS Edy Meiyanto Dicabut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini