Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Aliran Menggusur Rumah

Abdul Halim, 45, dan Saptowo tewas. Berlatar belakang aliran kebatinan (ajaran yang bisa mematikan & menghidupkan manusia). Dugaan lain, berkaitan dengan soal penggusuran rumah. enam tersangka ditangkap.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA sosok mayat ditemukan tergeletak, saat polisi mendatangi rumah Ranu. Sosok yang pertama, Saptowo, pemuda kelas dua SMA. Ia anak kandung tuan rumah. Tubuhnya sudah terbujur kaku di atas dipan, pertanda kematiannya sudah agak lama. Mayat kedua dijumpai tergeletak di lantai. Kepala dan tubuhnya berdarah akibat penganiayaan. Ia agaknya tewas lebih kemudian dibanding Saptowo, karena tubuhnya masih agak hangat. Dia adalah Abdul Halim, atau biasa dipanggil Alim, 45, tetangga Ranu, anggota hansip. Pekan lalu, enam tersangka memang tertangkap, tapi tidak berarti perkaranya sudah terungkap. Selain pihak Polres Jakarta Selatan, kabarnya, Laksusda Jaya juga ikut menangani perkara ini. Karena, "berkaitan dengan aliran kebatinan," tutur sumber TEMPO. Seorang suhu bernama Muhamad Ali dari Sukajadi, Bandung, kini ikut dicari untuk dimintai keterangan. Di Sukajadi memang ada yang bernama Muhamad Ali. Ia dikenal sebagai ustad. Ia cukup berada, intelek, dan tak sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa ia penggemar apalagi suhu -- ilmu kebatinan. Banyak memang orang yang datang kepadanya. Tapi, kepada TEMPO, ia menyangkal kenal Saptowo atau Ranu -- apalagi terlibat soal "menghidupmatikan" orang di Karet Kuningan. Ramai-ramai di rumah Ranu, sebuah rumah dalam gang sempit di bilangan Karet Kuningan, terjadi Minggu awal bulan ini. Alim dianiaya sampai tewas karena dituding sebagai penyebab kematian Saptowo. "Saptowo dihabisi dari jarak jauh oleh guru Alim yang ada di Karawang," kata Junaedi, salah seorang tersangka, kepada TEMPO. Ia, bersama Ranu dan empat tersangka lain, kini ditahan di Polsek Setiabudi. Oleh suhu dari Sukajadi, konon, sebelumnya Saptowo dijadikan kelinci percobaan. Lewat empasan angin dari tangan yang direntangkan, kata Junaedi, Saptowo dibuat tak berdaya, "tewas". Ia "dihidupkan" kembali, dengan cara mengisap jempol kakinya. Begitu sang guru pulang, Junaedi mencoba mempraktekkan kembali: sekali lagi Saptowo tergeletak tak berdaya. Tapi, kali ini, kepanikan terjadi: korban ternyata tak bisa disuruh bangun kembali. Lewat kontak batin, kata Junaedi lagi, diketahui bahwa Saptowo telah dikerjai oleh Alim. Maka dari itu, Alim buru-buru dijemput dari rumahnya. Ia dipaksa menghidupkan korban seperti sediakala. Konon, Alim mengaku bahwa memang dia yang menghabisi Saptowo. "Yang saya incar Ranu, tapi yang kena dia. Dan sebentar lagi kamu, Junaedi, juga bakal kena," begitu konon Alim berkata. Alim, ayah empat anak, itu menjadi sasaran kemarahan karena ia menolak mengobati korban dengan kata-kata. Belum jelas, apa memang dia tidak bisa -- karena memang tak punya ilmu apa-apa -- atau tidak mau betulan. Yang mengherankan, cerita seperti itu ternyata masih bisa terjadi di kota metropolitan Jakarta. Singkat cerita, karena dinilai tak mau bekerja sama, Alim dihantam dengan pipa besi, martil, dan batu bata. Sia-sia ia melakukan perlawanan. Entah aliran apa yang dianut keluarga Ranu dan Junaedi. Gurunya dari Bandung itu tampaknya mengajarkan semacam ilmu kebal. "Biar kalau ketembak 'nggak mati kalau memang 'belum umur'. Dan supaya bisa melihat Tuhan, nanti," begitu diutarakan Amin, kakak Junaedi, yang juga ditahan. Untuk mencapainya, si murid diwajibkan berpuasa. Selain puasa biasa, ada puasa tidak makan kacang-kacangan dan umbi-umbian serta berpantang makan daging, garam, dan gula. Melakukan gerakan sambil duduk: kedua telapak tangan diletakkan di wajah, lalu tiap ujung jari menutup telinga, mata, hidung, dan mulut. Setelah itu, sekujur tubuh -- mulai dari tengkuk sampai mata kaki diusap. Tak lupa membaca doa dalam bahasa Jawa yang, kata si suhu, dipetik dari ajaran Walisanga. Entahlah. Tapi Amah, istri kedua Alim, tak percaya suaminya punya ilmu sampai bisa menghabisi Saptowo segala. Para tetangga juga berpendapat begitu. "Pak Alim orangnya baik. 'Nggak pernah aneh-aneh," kata'tetangga. Maka, ada dugaan, terbunuhnya Alim ada hubungan dengan akan dibongkarnya daerah tempat mereka tinggal. Selama ini Ranu menempati rumah milik Alim. Alim sendiri bukan pemilik asli, karena ia menyewa kepada Rahmat. Rahmat itulah yang, kabarnya, sudah mendapat uang ganti rugi dari perusahaan yang menggusur tanahnya. Keluarga Ranu dan Junaedi, kemungkinan, mengira Alim ikut kecipratan, tapi tak mau berbagi rezeki. Padahal, kata Amah, dia pun kini bingung mau pindah ke mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus