Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia Universitas Padjajaran, Yoni Faudah, meminta masyarakat dapat membedakan risiko tindakan kedokteran dan malpraktik. Hal ini ia sampaikan menanggapi dengan kasus meninggalnya anak di Bekasi setelah sempat didiagnosis mati batang otak usai operasi amandel.
“Masyarakat harus memahami bahwa risiko tindakan kedokteran dan tindakan malpraktik itu berbeda,” kata dia dihubungi di Jakarta, Kamis, 5 Oktober 2023.
Ia menyebut risiko tindakan kedokteran termasuk tindakan operasi dan tindakan malpraktik dua hal yang berbeda.
Tindakan malpraktik karena kelalaian dan kurang hati-hati saat melakukan tindakan medik yang secara langsung menyebabkan kerugian berupa penyakit atau kematian.
Risiko tindakan kedokteran, menurut dia, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Selain itu selalu mengandung risiko berupa semakin berat penyakit, timbul komplikasi, penyakit baru, hingga kematian, meskipun penyakit yang diderita tidak terlalu berat, seperti pembesaran amandel.
“Risiko tindakan kedokteran itu juga sudah diketahui oleh pasien, keluarga pasien, atau pihak terkait, meski belum tentu terjadi,” kata Yoni.
Beberapa hal penting yang harus dilakukan setiap rumah sakit saat melakukan tindakan medis, agar tidak diklasifikasikan sebagai malpraktik, yaitu pemeriksaan harus maksimal sebelum diputuskan operasi meski penyakit ringan. Ini untuk menepis kemungkinan faktor risiko yang berasal dari pasien.
Selain itu, pemberian informasi sebelum persetujuan operasi harus dilakukan secara paripurna. Salah satu informasi yang sering terlewati untuk diberikan, yakni keharusan memberi informasi tentang risiko operasi, termasuk risiko pembiusan.
Selain itu, memfungsikan Komite Medik yang wajib ada di setiap rumah sakit agar dapat secara rutin melakukan audit medik internal, terutama mengaudit kasus-kasus yang berakhir dengan kematian, masa rawat yang lama, atau pasien yang tidak sembuh sempurna.
“Audit ini sudah merupakan standar universal untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor-faktor yang tidak sempurna dalam pelayanan, misalnya alat rusak, prosedur tidak tepat, atau tenaga medis yang kurang kompeten,” kata dia.
Terkait dengan penerapan sanksi bagi tenaga medis yang terbukti bersalah karena kelalaian atau malapraktik, kata dia, akan ditentukan oleh jenis kesalahan, derajat kesalahan, dan dampak yang ditimbulkan.
Penanganan kasus tersebut dapat diproses melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MDKI) atau melalui Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian.
“Tetapi pembuktian pidananya sulit jika tidak dilakukan analisis mendalam, termasuk autopsi,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan Editor: Masih Berkabung, Keluarga Bocah Bekasi Mati Batang Otak Belum Putuskan Kelanjutan Perkara di Polda Metro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini