SIAPAKAH yang begitu tega menumpahkan lima peluru ke tubuh Nyonya Dice Budimuljono, seorang ibu muda yang dua tahun lalu masih aktif sebagai peragawati ? Sementara polisi masih bekerja keras untuk membuka tabir pembunuhan ini, ada sisi lain yang terbuka yang mengesankan kehidupan yang lain, di sekitar kehidupan Almarhumah sehari-hari. Adalah Soewardjo, dari Purwokerto, Jawa Tengah, seorang pegawai kepala keuangan kota praja, Jakarta. Soewardjo kawin dengan janda satu anak, Nyonya Rukmih, wanita asli Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari pasangan Soewardjo-Rukmih inilah Dice lahir sebagai anak kedua, atau anak ketiga dari rahim Nyonya Rukmih, 2 Desember 1950, di Jakarta. Sebenarnya, semula ia hanya diberi nama Budiasih. Karena nama itu kedengarannya terlalu Jawa, ibunya memberi nama tambahan: Dice. "Dia anak saya yang paling baik. Dia pendiam sejak kecil. Kalau marah, tak pernah kelihatan marah. Tetapi jika ketawa, biasa saja seperti anak-anak yang lain," kata Ny. Rukmih, kini 66, yang menjanda sejak ayah Dice meninggal, 1975. Kalau diurut-urut dari garis keturunan ibunya, Dice Budiasih adalah buyut seorang tokoh pemuka Pasundan, yang di zaman Belanda pernah menjabat Bupati Tasikmalaya. Masa kecil Dice adalah Jakarta. Sekolah dasar di Jakarta, SMP pun di ibu kota negara. "Sejak kecil, anak itu suka menari," Nyonya Rukmih mengenang. Keluarga ini pindah ke Bandung, begitu Soewardjo memasuki masa pensiun. Dan Dice pun melanjutkan SMEA di kota dingin itu. Keluarga ini tampaknya sudah berketetapan hati tinggal di Bandung. Maka, satu-satunya rumahnya di Jakarta dijualnya. Pembelinya? Inilah rupanya pintu jodoh bagi Dice. Peminat rumah itu tak lain adalah Letkol Budimuljono (yang waktu itu sudah mengundurkan diri dari ABRI) suaminya kemudian. "Sejak itu Mas Budi sering datang ke rumah di Bandung." tutur Sri Rejeki adik Dice. Tentu saja, mula-mula Budimuljono datang untuk mengurus surat-surat rumah. Lama-lama, tampaknya -- dan ternyata memang benar -- ia tertarik kepada Dice, yang kala itu masih di kelas dua SMEA. Budimuljono memperkenalkan diri sebagai duda satu anak yang cerai hidup -- tak dikabarkan di mana bekas istrinya itu kini. Dengan simpatiknya, Budi membawa serta anaknya, yang sebaya Dice. Nien, panggilan anak Budi itu. Tutur kata Budi begitu halus, menurut Sri. Sampai-sampai Dice larut pada kesedihan duda ini. "Padahal, Dice waktu itu punya pacar, seorang calon dokter," kata Sri pula. Bekas pacar Dice itu pun kini telah beristri dan tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur. Sebuah sumber mengatakan, keluarga Dice sebenarnya tak bisa menerima seorang duda yang sudah berumur yang naksir Dice yang masih remaja. Tetapi, "Budimuljono itu pintar merayu keluarga Dice," kata sumber itu. Yang jelas, mengutip Sri lagi, Dice itu bersimpati kepada Budi karena lelaki ini terus-menerus mengungkapkan kepedihan hatinya ditinggal seorang istri. "Akhirnya Mas Budi menikah dengan Dice, pada saat Dice berumur 20 tahun," kata Sri. Ketika menikah itu (1970), Dice baru beberapa bulan berhenti sekolah, setelah naik ke kelas III SMEA. Dice pun resmilah menjadi Nyonya Budimuljono, dan diboyong ke kota metropolitan. Sadar bahwa pendidikannya tidak beres Dice yang sudah jadi ibu seorang anak tiri ini aktif menimba pengetahuan keterampilan. Dia memilih kursus kecantikan, merias pengantin, kemudian Peragawatian. Tak begitu jelas seberapa jauh hal ini didorong suaminya, karena kebetulan saat itu Budimuljono juga dekat dengan kehidupan para artis -- selain koordinator beberapa kegiatan yang melibatkan artis, bekas anggota ABRI ini bekerja di Perfini, perusahaan film yang dipimpin Djamaludin Malik waktu itu. Budimuljono menjabat Kepala Bagian Produksi. Keluarga ini rukun saja, dan tampaknya karier suami istri ini saling menunjang. Setelah melahirkan dua anak, perempuan dan lelaki (Mira Madyamirana, kini 15, dan Dino Bambang Subekti, 13) Dice melesat dalam dunianya sendiri. Ia sukses sebagai foto model. Ia laku sebaga model iklan, ia sering nampang sebagai peragawati. Di bidang terakhir ini, ia bahkan diakui sebagai spesialisas pembawa busana nasional dan daerah. Bukan cuma itu. Ia aktif berlaga di berbagai kontes. Pada 1974, setahun setelah melahirkan Dino, dengan tubuh yang lebih langsing, ia menang sebagai peragawati terbaik. Tahun 1977 ia dinobatkan sebagai Ratu Kaca Mata. Kemudian berturut-turut, 1978 dan 1979, Dice menyandang gelar Ratu Kebaya. Pada 1979 itu pula ia menjuarai festival busana nasional tingkat DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, selain gelar yang sama, ia juga meraih gelar juara umum festival busana nasional tingkat nasional. Singkat kata, nama Dice Budimuljono, dalam dunia keperagawatian, tak bisa dianggap remeh lagi. Anehnya, Dice tak memasang tarif tinggi. "Ia hanya meminta uang pengganti transpor sekitar Rp 50.000 untuk sekali tampil," kata Nyonya Nuk Hedianto, teman seprofesi Dice, yang juga punya "rumah busana" khusus pakaian nasional. Seperti ada kesepakatan antara Dice dan suaminya -- yang kala itu bergerak di bisnis interior bangunan bahwa karier Dice tak boleh surut oleh masalah keluarga, misalnya kehamilan. Dengan alasan itu agaknya, pada 1979 Budimuljono memutuskan untuk vasektomi. Lalu, pasangan yang rukun ini terus bergiat dalam usaha bisnis masing-masing, dan karier Dice semakin melesat. Setahun setelah menjalani vasektomi itu Budimuljono menderita tekanan darah tinggi dan stroke, lumpuh separuh badannya. Dice, otomatis, kemudian, harus membagi waktunya untuk mengambil peran sebagai kepala rumah tangga. Kepada majalah Eksekutif terbitan September 1982, Dice berterus terang, "Sebagai peragawati profesional, tuntutannya sangat berat. Di samping keterampilan diperlukan juga banyak waktu, siang maupun malam. Bagi saya sangat berat, sebab sering meninggalkan rumah, sedangkan yang paling utama saya dambakan adalah kebahagiaan rumah tangga." Dunia keperagawatian memang tak ditinggalkannya begitu saja, tetapi ia mulai mengurangi kegiatan berlenggang-lenggok di cat walk. Dice tampaknya memang merasa bahwa dia harus membagi duka derita suaminya. Ia, misalnya, bersama Nien dan kedua anak kandungnya, bergiliran merawat Budimuljono. "Saya pernah melihat sendiri bagaimana Dice dibantu putranya memapah Budi," cerita Nuk Hediyanto. Perhatian Dice kepada Budi, suaminya, tak bisa dibilang sambil lalu. "Setiap ke dokter, Dice sendiri yang mengantar suaminya," kata Jefferson Dau, seorang pengacara yang akrab dengan keluarga itu sejak 1975. Budi sendiri mengakui semua itu. "Sejak 1980 soal keuangan seluruhnya saya serahkan kepada Dice. Hasil menjual rumah, menjual kebun, semuanya pada dia," kata lelaki lumpuh ini dalam kalimat yang tak jelas -- ya, akibat sakitnya itu. Lalu ke mana uang diputar Dice? Rupanya, wanita yang mencintai keindahan ini (ia suka mengumpulkan patung dan ukiran hiasan dinding) sudah berancang-ancang akan membuka usaha sendiri dan meninggalkan dunia peragawati, yang diakuinya -- antara lain kepada sahabat dekatnya Ny. Heru -- penuh gosip. Sasaran bisnis Dice, tak jauh dari dunia yang sudah dijamahnya, salon kecantikan. Sebelum melangkah ia banyak berkonsultasi kepada Suwoto Sukendar, bekas KSAU, seperti telah disebutkan. Seperti telah juga diceritakan, Dice, sejak lumpuhnya Budi, barangkali untuk mendapatkan pegangan baru, aktif di Pangestu. Ini membawa suasana baru di rumah. "Mama memang pendiam, seperti suka menyepi, begitu," tutur Mira, panggilan Mira Madyamirana, pelajar SMA VII Jakarta. "Mama juga rajin sembahyang. Dan sering menasihati saya, agar rajin sembahyang, dan bisa membimbing Dino, adik saya." Namun, Pangestu pulalah yang menyebabkan Dice lebih sering keluar rumah sendiri, hanya ditemani seorang supir. Dan kemudian, kesibukan keluar rumah itu berlanjut setelah salon di Kalibata Indah terwujud. "Tepatnya, Mama buka salon 1 Maret tahun lalu, pengunjungnya teman-teman Mama, khusus cewek," kata Mira lagi. Bisnis salon, sukses tidaknya banyak ditopang pergaulan. Maka, Dice yang sudah tak aktif sebagai peragawati itu masih sempat menonton berbagai peragaan busana, pergi ke disko, pergi ke toko-toko kaset kadangkala memang ditemani anak gadisnya, Mira. Adakah, misalnya, Dice, penggemar Band Baratha itu, lalu terlibat dalam cinta gelap, hingga ada yang mencemburuinya? Adalah Budimuljono yang menjawab, "Menurut perasaan saya, tidak. Tapi, ya, hanya Tuhan yang tahu." Ya, sampai Selasa pekan ini, ketika Budimuljono dimintai keterangan oleh Polsek Mampang, hanya Tuhanlah yang tahu. Ditambah, tentu, pembunuhnya itu sendiri plus komplotannya -- kalau memang yang terlibat lebih dari seorang. Dan tentu saja Dice, yang tak lagi bisa diwawancarai. Putu Setia, Bahan: Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini