PUKUL 22.00 lewat, Senin pekan lalu. Di bawah cuaca mendung, sebuah sedan Honda Accord terparkir di tepi jalan aspal, tak berapa jauh dari pintu gerbang kantor PT Dupa, pabrik farmasi, di Jakarta Selatan. Ini sebuah pemandangan biasa. Di tempat sepi ini, yang salah satu sisinya ditumbuhi pohon karet milik pabrik sepatu Bata, hampir setiap malam memang suka ada orang berpacaran. Tapi tidak. Mobil itu, yang bernomor polisi B 1911 ZW, mesin dan lampu sein kirinya terus dihidupkan. Seseorang yang kebetulan lewat memberanikan diri melongok ke dalam lewat kaca riben mobil, yang kesemuanya ditutup rapat. Astaga. Tampak sesosok wanita ayu tergolek di jok depan, kepala di tempat duduk kiri, tubuhnya di tempat duduk belakang pengemudi. Darah segar mengalir dari luka di lehernya. Muntako, koordinator Satpam PT Dupa segera dihubungi. Dia segera mengontak polisi. Sekitar pukul 22.50, polisi pun datang. Ketiga pintu mobil terkunci dari dalam, kecuali pintu di sisi pengemudi. Dan kemudian diketahuilah, siapa wanita ayu yang ternyata telah menjadi mayat itu. Dialah Dice Budimuljono, seorang bekas peragawati dan foto model -- antara lain untuk iklan Axi. Perempuan ayu serta luwes ini pemilik salon Puri Citra Ayu, salon yang terletak di kompleks perumahan Kali bata Indah, tak jauh dari PT Dupa. Dia juga guru senam disko, ibu dua anak remaja dan istri dari Budimuljono, 58, bekas TNI AD dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Lalu diketahui, ada lima luka tembak dijumpai, di bagian kanan tubuhnya. Masing-masing di bawah telinga, di leher, pada bahu, ketiak, dan punggung. Melihat posisi luka, korban agaknya ditembak dari belakang, dari arah agak ke kanan. Darah yang mengalir ke jok kiri depan boleh dibilang tak seberapa. Inilah yang menimbulkan dugaan, jangan-jangan korban ditembak di tempat lain dan baru kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Dugaan ini mengendur, setelah hasil bedah mayat diketahui. Kedua rongga dada korban ternyata digenangi darah. Jadi, rupanya, korban mengalami perdarahan ke dalam, karena lukanya sedemikian rupa. Sementara itu, tak ada perhiasan yang dikenakan hilang. Ini segera saja membuat polisi mengesampingkan soal perampokan. Mengapa Dice dibunuh, oleh siapa dan mengapa? Sampai Senin pekan ini pihak kepolisian belum menemukan jawaban. "Semua masih serba samar. Tapi pasti, si penembak jelas seorang pembunuh profesional," ujar seorang perwira tinggi di Polda Jakarta. Tampaknya begitu. Setidaknya, si penembak tahu betul bagaimana harus membidik, dan tubuh bagian mana yang patut dijadikan sasaran. Sumber TEMPO memperkirakan, pelaku menembak secara beruntun. Peluru pertama, begitu dia menduga, diarahkan ke bawah telinga kanan, langsung merusakkan otak kecil. Setelah itu, disusul tembakan lain yang menembus leher dan bahu. Setelah tembakan ketiga, ada kemungkinan secara refleks korban mengangkat tangan kanan dan tubuhnya miring ke kiri. Di saat itulah senjata kembali menyalak, tepat mengenai ketiak, dan anak pelurunya bersarang di dada kiri. Peluru yang kelima menghajar punggung dan tembus ke jantung. Ini bidikan yang sangat telak, yang membuat korban tewas di tempat. "Peluru pertama memang berbahaya. Tapi, karena yang terkena otak kecil dan anak pelurunya hancur di sana, korban tidak segera tewas," kata sumber itu. Ditambahkan bahwa korban tampaknya ditembak dari jarak dekat, 25 cm-30 cm. "Ditemukan jelaga di sekitar luka-luka." Ada ciri dari luka tembak, yang bisa dijadikan dasar menduga senjata yang digunakan. Kelima luka di tubuh Dice ternyata kecil. Tidak meruyak seperti kalau kena bedil atau pistol yang biasa digunakan oleh polisi atau anggota ABRI yang lain. Luka semacam itu, kata sumber di LKUI (Lembaga Kriminologi UI), mengingatkannya pada kasus penembakan yang dilakukan Haris Ali Murtopo beberapa tahun lampau. Ketika itu, korban juga mengalami luka tembak yang kecil saja. Sumber TEMPO ini menduga, senjata api yang digunakan menghablsi Dice, bisa Jadi sama Jenisnya, yaitu pistol kaliber 22. Pistol ini sangat kecil, dalam genggaman orang dewasa moncongnya hampir-hampir tak kelihatan. Suara letusannya juga tak meledak. Jadi, katanya, wajar bila orang yang berada di sekitar tempat kejadian tak ada yang mendengar suara tembakan. Apalagi, katanya, tembakan agaknya dilepaskan dalam mobil yang semua jendelanya karena ber-AC -- tertutup rapat. Teori tersebut dibenarkan oleh sumber TEMPO di Polsek Mampang, Jakarta Selatan. Tapi pihak Polda Jakarta, dan Polres Jakarta Selatan, menyebutkan senjata api maut itu dari jenis pistol kaliber 32. Kesimpulannya, belum jelas benar pistol jenis mana yang merenggut jiwa Dice. Kini pihak Laboratorium Kriminil (Labkrim) Mabes Polri tengah melakukan penelitian atas anak peluru yang ditemukan dalam mobil maupun di tubuh korban. Dan sebelum kepastian diperoleh, banyak petugas yakin, korban dihabisi dalam mobilnya, di tempat kejadian. Muntako, Satpam PT Dupa itu, menyatakan bahwa malam itu mobil Honda Accord dimaksud meluncur dari arah Jalan Kalibata Indah, artinya dari selatan ke utara. Lari mobil itu biasa-biasa saja. Di pertigaan ke arah Jalan MesJid, mobil itu membelok ke kanan, ke arah timur. Belum sampai ke pintu gerbang PT Dupa, tiba-tiba Honda putih itu membuat putaran "U", kembali ke arah semula. Mobil lantas menepi, parkir, di tepi jalan -- tak berapa jauh dari pintu gerbang PT Dupa. Saat Muntako datang, "Mesin mobil dan lampu sein kiri masih hidup," katanya. Dan entah ada hubungannya atau tidak, ketika khalayak mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, Zaenab, yang tinggal di pertigaan Jalan Dupa dan Jalan Mesjid, melihat ada mobil Kijang merah tua mondar-mandir. Setidaknya sampai tiga kali menurut yang diingat Zaenab. Pengemudinya seorang berkulit putih, agak gemuk, rambut pendek. Melihat kerumunan orang, pria tadi bertanya, apa yang terjadi. "Pembunuhan," jawab seseorang. Lantas pria itu bertanya, "Mati nggak" Ketika dijawab, "Lihat saja sendiri," pengemudi Kijang merah itu malah pergi. Alasannya, dia tak punya SIM. Takut kena tilang bila polisi datang. Tak lama, sekitar pukul 22.50, polisi memang datang, dan Kijang merah sudah lenyap. Melihat luka di tubuh korban, banyak petugas menduga, kemungkinan besar Dice ditembak dari belakang. Yaitu oleh orang yang duduk di jok belakang, di sisi kanan. Bisa jadi, dia bukan satu-satunya orang yang menumpang di mobil korban. Sebab, lazimnya, "Bila yang menumpang hanya seorang, dia tentu akan duduk di depan di sisi kiri," kata sumber TEMPO. Harap dicatat, ini baru sebuah teori. Yang jelas, malam itu Dice meninggalkan rumahnya di Jalan Guru Alit, Kelurahan Duren Tiga, Jakarta Selatan, sekitar pukul 19.00. Yaitu seusai makan malam, setelah menerima telepon dari seorang wanita. Begitu meletakkan gagang telepon, Dice bergegas pergi mengemudikan mobilnya. Ia hanya mengenakan gaun batik warna biru dengan dasar putih, bersandal hitam, dan memberikan kesan santai. Dengan busana seperti itu, diduga orang yang akan ditemuinya tampaknya sudah cukup dia kenal. Mungkinkah telepon itu sebuah pancingan? Kepada suaminya, Budimuljono, 58, yang sejak beberapa tahun lumpuh sebelah badannya karena darah tinggi, malam itu Dice mengatakan hendak ke salonnya, Puri Citra Ayu, di perumahan Kalibata Indah. Anehnya, kepada pembantunya, Dice mengatakan hendak pergi menagih utang. Dalam buku harian Dice, ada catatan berupa angka Rp 10 juta. Lantas di bawahnya ada penjumlahan-penjumlahan, hingga total Rp 20 juta. Tak begitu jelas apa maksudnya. Nyatanya, menurut pengecekan polisi, malam itu Dice tak pernah datang ke salonnya. Dan karena korban sempat bicara soal utang, polisi pun tak menutup kemungkinan bahwa itulah latar belakang terbunuhnya Dice. Sayang, belum diketahui, siapa kira-kira orang yang berutang itu. Menurut Budi yang mendapat pemberitahuan istrinya tewas ditembak Selasa dinihari -- istrinya memang pernah mengatakan ada teman dekatnya yang hendak meminjam uang Rp 10 juta. "Tapi, waktu itu saya bilang jangan utang, jangan piutang. Nanti malah ribut, bikin masalah," kata Budi yang Selasa pekan ini dimintai keterangan di Polsek Mampang. Entah, apakah Dice menuruti nasihat suaminya. Tapi, memang, dalam beberapa hari terakhir, korban sering ke luar rumah, pagi atau sore. Dan kepada pembantunya, dia selalu mengatakan akan menagih utang. "Uang itu dia pinjamkan bulan Agustus dan akan dikembalikan September ini," tutur Sri Rejeki, adik Dice yang bungsu, yang diserahi mengurus salon di Kalibata Indah. Menurut sumber kepolisian, di buku hariannya, korban juga menulis bahwa dirinya sedang gundah karena ia mencintai seorang pria yang usianya jauh lebih tua. Di bawahnya dia menulis, "I want to my way." Tak tercantum tanggal di buku itu. Beberapa waktu lampau, korban kabarnya sering diantar oleh seorang pria, bila pulang tengah malam, dengan Mercy Tiger warna putih -- sama dengan warna Mercy milik Budi. Si pria ini, kabarnya, tinggal di wilayah Jakarta Timur. Ada petunjuk menurut sumber kepolisian, pria ini duiunya preman dan kini membuka usaha bursa komoditi futre trading. Blackmail, pemerasan, adalah kemungkinan yang lain. Ini, kata seorang perwira polisi. Ini mungkin terjadi karena korban terpepet, butuh uang. Sementara teman kencan, yang mungkin saja seorang tokoh, yang di mata masyarakat namanya begitu bersih, tak ingin namanya tercemar. Maka sebelum pemerasan terjadi, ia mendahului membuat perhitungan. Ini baru sebuah dugaan yang lain, memang. Dugaan lain lagi, menurut polisi, bukan tak mungkin pelaku datang dari lingkungan keluarganya sendiri. Sejak 1980, yaitu setelah suaminya sakit-sakitan, Dice praktis menjadi penopang kehidupan keluarga. Sejak tahun itu, "Soal keuangan saya serahkan kepadanya. Sebab, saya pikir saya 'kan akan mati lebih dulu," kata Budi. Maka, adalah Dice yang mengurus penjualan rumah di Jalan Kediri, Jakarta, serta kebun, yang dulu dibeli Budi. Budi pun, suami itu, setuju saja sewaktu dua tahun lampau, hasil penjualan tanah itu digunakan untuk membuka salon di Kalibata Indah. Diduga, ada sementara famili pihak Budi yang merasa tak senang, mengapa Dice diberi kepercayaan begitu besar. Sementara, dia tahu di luar rumah Dice suka macam-macam. "Semua kemungkinan ini kami inventarisasikan. Hanya kemungkinan akibat soal narkotik, atau dihabisi orang iseng, sejauh ini agak dikesampingkan," kata sumber TEMPO. Tak bisa disangkal, kehidupan sebagai peragawati dan foto model memang mudah sekali dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat negatif. "Dunia seperti itu dekat dengan para pemegang modal, dan kekuasaan. Yah, kalangan bigb classlah," kata seorang perwira tinggi polisi. Namun, ia tak bisa memastikan apakah korban memang punya sisi kehidupan yang demikian, meski ada petunjuk ke arah itu. Budimuljono sendiri tak tahu pasti apakah istrinya suka main mata di luar rumah, atau malah punya pacar. "Ya, hanya Tuhan yang tahu. Tapi menurut perasaan saya, sih, tidak," katanya. Ada selentingan menyatakan bahwa sekitar dua tahun lampau, Dice dan suaminya hendak bercerai. Ketika itu, Budi konon berniat memulangkan Dice ke rumah orangtuanya. Kabarnya, Dice malah mendatangi familinya yang tinggal di Jawa Barat, dan sambil menangis menyatakan dla diancam akan dibunuh segala. Budi membantah. Ia mengaku tak pernah cekcok dengan istrinya. "Bagaimana bisa cekcok. Dice tahu keadaan saya begini. Kalau cekcok, saya akan tambah sakit," katanya. Perihal rumah yang dijadikan salon di Kalibata Indah, dikabrkan bahwa itu dibelikan oleh Suwoto Sukendar, bekas KSAU dan Ketua Kadin, yang kini menjabat Presdir PT Singgar Mulia dan PT Jasa Angkasa Semesta Suwoto, yang baru saja pulang naik haji, membantah. Ia memang mengenal suami Dice sejak lama, karena urusan bisnis. Budimuljono, waktu itu, membantu Dirjen Bina Marga, Letjen Hartawan (almarhum). Sedangkan Suwoto kenal dengan Dice baru sekitar empat tahun lampau, karena samasama menjadi anggota perkumpulan kebatinan Pangestu. Ketika itu, kata Suwoto, Dice seperti agak terguncang karena suaminya menderita kelumpuhan separuh badan. Ia sepertinya ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga rajin mengikuti pertemuan Pangestu yang diadakan tiga kali seminggu. Karena sering bertemu, dan Dice tahu bahwa Suwoto adalah orang bisnis, "Dia sesekali menelepon saya, untuk menanyakan seluk-beluk bisnis," tutur Suwoto. Juga, saat hendak membeli rumah di Kalibata Indah untuk dijadikan salon, Dice meminta saran dan pertimbangannya. "Saya bilang, kalau membuka salon itu sesuai dengan keahlianmu, mengapa tidak?" kata haji ini. Suwotolah kemudlan yang membantu pembelian salon tersebut. Sebab, kebetulan ia kenal dengan Roy, adik Paul Handoko pemilik pabrik Batik Keris, yang bekerja di PT Hatmohaji & Rekan, developer yang membangun Kalibata Indah. Hanya itulah bantuan yang dia berikan. "Dia membeli itu dengan uangnya sendiri. Bukan saya yang membelikannya. Berani sumpah," kata Suwoto sembari mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Tak begitu jelas, berapa hasil Dice dari salonnya itu. Menurut Sri Rejeki, setiap harinya ada saja tamu yang datang. Tapi, lepas dari laku atau tidak, belakangan ini Dice tampaknya sangat membutuhkan uang. Salon itu, menurut sebuah sumber, sudah dibicarakan untuk dikontrakkan kepada seorang temannya bernama Wati. Menurut kesan Suwoto, Dice seorang wanita yang gigih dan pekerja keras. Dia sering pergi ke luar kota, antara lain ke Yogyakarta, untuk membeli kain batik dan kemudian di jual di salonnya itu. "Pribadinya baik. 'Kan dia anggota Pangestu," kata Suwoto lagi. Pangestu adalah perkumpulan kebatinan terbesar dengan jumlah anggota 100 ribu lebih. Organisasi ini kini diketuai Soedjarwo, Menteri Kehutanan. Sementara itu, ada informasi lain, dari Polsek Mampang. Yakni, sejak setahun lalu Dice minta pihak Polsek agar rumahnya dijaga. Kata Dice, rumahnya sering disatroni pencuri. Sejak itu memang selalu ada seorang anggota Polsek Mampang yang berjaga-jaga di rumah Jalan Guru Alit itu. Untuk ini Dice memberikan imbalan Rp 90.000 per bulan. Selain anak peluru yang kini sedang diteliti Labkrim Mabes Polri, di dalam mobil B 1911 ZW, memang ditemukan benda lain yang mungkin berharga. Benda tersebut berupa tiga helai rambut hitam, pendek dan lurus, yang ditemukan di sandaran tempat duduk di kursi sebelah kiri depan -- dan itu bukan rambut Dice. Keterangan dari Ujang alias Bustami, bekas pengemudi Dice, tampaknya juga cukup berharga. Ujang, yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah majikannya, mengaku sering disuruh mengantar Dice ke Teluk Gong, Jakarta Utara. Di sana, biasanya ia disuruh menanti dekat tukang penjual Porkas. Dice sendiri lantas menghilang masuk ke sebuah gang sempit, entah ke tempat siapa. Dan di sana dia bisa sampai dua jam. Padahal, bila pergi ke tempat lain, tak pernah Dice selama itu. Ujang diberhentikan sekitar Lebaran lalu, karena sering datang terlambat. Pekan lalu, beberapa orang petugas memang tampak berada di Teluk Gong. Ketika gang yang biasa dimasuki Dice ditelusuri, di sana didapati ada toapekong. Belum bisa dipastikan apakah toapekong itu yang dikunjungi Dice. Saat dicek, para tamu yang datang ke sana, didaftar dalam bahasa Cina. Sementara, dari rumah-rumah di gang tersebut, belum diperoleh kejelasan, rumah siapa yang mungkin sering dikunjungi Dice. "Kami masih mengumpulkan informasi," kata seorang petugas. Tak mudah, memang, mengungkap kasus ini, yang tampaknya suatu kasus pembunuhan yang dilakukan dengan sangat terencana, oleh seorang yang tampaknya sangat profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini