SAMPAI kapan manusia terus berkumpul untuk mencoba menata laut?
Mungkin tak sampai tua. Tapi sejak sidang proseduril 1973 di New
York terbuktilah bahwa mengurus hak dan kewajiban bangsa-bangsa
di laut sangat tidak mudah. Memasuki sidang ke VI dari
Konperensi ukum Laut III di New York, Senin pekan lalu, para
negara peserta mungkin sudah mulai tak sabar. Dubes Srilangka
Hamilton Shirley Amerasinghe, yang memimpin Konperensi,
mencerminkan hal itu pada pembukaan sidang tersebut. Ia
melepaskan kekhawatirannya, bila sidang sekali ini juga gagal
membuat konvensi, maka bukan mustahil akan timbul anarki lautan,
dan manusia akan memasuki "masa yang paling buruk yang telah
dikenal sejak masa ketika bajak laut melakukan perompakan".
Itulah sebabnya, dubes yang selalu menyelipkan kembang di bagian
dada jasnya, menyerukan agar dikerahkan segala daya upaya untuk
mencapai terciptanya perjanjian mengenai segala aspek hukum laut
itu.
Sedangkan Sekjen PBB Kurt Waldheim menghubungkan berhasil
tidaknya konperensi ini dengan kredibilitas PBB - sementara
tuntutan akan sumber-sumber lautan katanya akan terus meningkat.
Memberi Harapan?
Sudah luas tersiar bahwa AS akan segera mengambil tindakan
unilateral untuk melindungi kepentingan perusahaan pertambangan
yang bergerak di samudera dalam, di luar batas yurisdiksi
nasional negara pantai (TEMPO, 21 Mei).
Tapi bagi negara berkembang seperti Indonesia, kegagalan
konperensi bukan masalah besar. Sebab mereka pun sudah lama
menjalankan konsepsi mereka sendiri di bidang laut ini.
Pelebaran laut teritorial menjadi 12 mil sudah lama mereka
praktekkan, dan kini tanpa melalui suatu perjanjian
multilateral, banyak negara lain sudah menganut lebar ang baru
ini. Konperensi Hukum Laut PBB I dan II, 1958 dan 1960 tak
berhasil merumuskan ketentuan tentang lebar kawasan laut yang
dapat diklaim negara pantai ini. Dari sini ketahuan bahwa proses
pembentukan kaidah hukum internasional tidak seluruhnya
tergantung pada kesepakatan tertulis anggota masyarakat
bangsa-bangsa.
Lalu apakah sidang ke VI dari Konperensi Hukum Laut PBB yang
dihadiri lebih 150 negara peserta ini masih bisa memberi
harapan? Mungkin ya. Sebab, berkat keuletan kerja Ketua
Amerasinghe, kini telah ada apa yang dinamakan Revisef Single
Negotiating Text (RSNT) yang memuat sekitar 500 pasal. Dan
tinggal beberapa puluh pasal dari RSNT tersebut yang masih dalam
pembicaraan lanjutan.
Ada beberapa isyu utama dalam sidang VI ini. Misalnya masalah
dasar laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional. Para
peserta umumnya sama sependapat bahwa kegagalan Komite I, yang
membahas masalah ini, akan menyebabkan gagalnya konperensi
secara keseluruhan.
Isyu lain yang menonjol adalah mengenai hak lintas bagi kapal
dan pesawat terbang, di dan di atas selat yang sudah lama
dipakai secara internasional. Ini timbul lantaran banyak negara
sudah menyetujui lebar laut 12 mil. Akibatnya 116 selat yang
tadinya berstatus laut lepas kini menjadi laut teritorial negara
pantai yang bersangkutan. Kapal-kapal yang melintasi selat ini,
ataupun pesawat terbang yang melintas di atasnya, tidak boleh
sembarangan bebas seperti sebelumnya. Mereka harus mengindahkan
peraturan-peraturan pelayaran yang dikeluarkan negara pantai,
seperti terkandung dalam prinsip hak lintas damai (innocent
passage). Nah negara-negara maritim besar semacam AS mengusulkan
supaya rezim lintas damai ini dilonggarkan sedikit, sehingga
navigasi mereka tidak terganggu.
Isyu zone ekonomi 200 mil mungkin tak begitu banyak memusingkan.
Di sini negara-negara yang bersangkutan dapat mengusahakan
secara ekonomis kekayaan laut. Yang paling jadi urusan adalah
bagaimana supaya pengusahaan itu tak mengganggu kelestarian
lingkungan, juga kepentingan-kepentingan lain, seperti navigasi
dan riset ilmiah.
Bagaikan Menyarnbut
Isyu perikanan akan menyangkut sekitar kebiasaan pengelolahan
yang diberikan kepada negara pantai, dan otoritas yang akan
diberikan kepada badan intenasional. Telah 56 negara yang
mengklaim kontrol terhadap perikanan sampai 200 mil dari pantai.
Sedanykan dalam rangka mencegah bahaya pencemaran lingkungan
laut, sidang akan berikhtiar mencari standar internasional. Di
bidang riset ilmiah sidang akan berhadapan dengan urusan untuk
menetapkan kebebasan maksimum riset ilmiah. Juga dipikirkan
bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement).
Semua masalah ini merupakan cerminan dari sikap hangsa-bangsa
modern dalam memperlakukan laut dan lingkungannya. Setelah
konperensi 1960 sikap bangsa-bangsa terhadap laut sudah banyak
berobah. Laut tidak hanya dipandang dari sudut kepentingan
pelayaran semata-mata, tapi lebih-lebih dari makna ekonomisnya.
Ini terwujud dalam tindakan sepihak untuk mengklaim lebih luas
lagi rongga laut.
Tapi yang paling menonjol adalah kemampuan manusia untuk
mengusahakan sumber-sumber alam yang terdapat di laut, dasar
laut dan tanah di bawahnya sampai kedalaman puluhan ribu meter.
Kemajuan teknologi ini bagaikan menyambut perkiraan ahli akan
makin menipisnya sumber-sumber di daratan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini