Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Waktu bercinta selalu pendek

Retno maruti berhasil mementaskan langendriyan roro mendut dengar dasar bedoyo serimpi. penari-penari asal ui, lpkj, pkjt dan nritya sundara. pertunjukan dinilai bersih dan tekun.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPAKAH sebenarnya Retno Maruti? Orang ini hebat. Garis dan komposisi yang ia ciptakan meruang dan memberi kesan dalam. Lihatlah pertunjukannya di TIM - Langendriyan Roro Mendut - 18 s/d 20 Mei yang lalu, yang banyak mengundang penonton. Di sana ia telah merangkai gending, tembang dan tari secara sopan, tegas dan komunikatif. Tontonan dimulai dengan suasana kejawen lewat bau menyan dalam pedupan. Tembang meruap dari balik tembok Arena. Kemudian penata pentas Danarto seperti menyuguhkan sebuah kanvas yang kaya ruang bagi para penari. Retno Maruti pun muncul di malam pertama (malam selanjutnya diganti Indah Harie Yuliati) sebagai Roro Mendut. Sementara Sentot S. muncul sebagai Wiroguno (malam selanjutnya diganti Trisapto). Minta Kredit Roro Mendut adalah kisah cinta masyarakat Jawa Tengah. la sudah menjadi cerita ketoprak dan sendratari yang begitu banyak dimainkan. Tentang seorang Wiroguno yang berhasil meluaskan kerajaan Mataram ke daerah Pati. Untuk ini Wiroguno berhak menerima hadiah. Tapi dia memilih seorang wanita biasa bernama Roro Mendut yang justru menampiknya. Wanita ini kemudian minta diberi kredit untuk mendirikan warung. Dikabulkan. Lalu tersohorlah kecantikan Mendut sebagai tukang warung yang menjual rokok. Harga rokok yang sempat ditarihlya (entah cap apa waktu itu) lebih mahal. Tokoh Pranacitra sebenarnya adalah anak pemilik kapal di Pekalongan. Ia mengembara mencari pengalaman. Satu ketika ia mengadu jago dengan Wiroguno - dan menang. Atas kemenangan ini, ia diangkat sebagai tukang kuda. Dari sinilah kemudian ia berdempet dengan Roro Mendut. Pada suatu kesempatan, mereka lari. Naik rakit. Tapi tukang rakit begitu terpesona oleh kecantikan Mendut, sehingga rakitnya lambat sekali. Tentara pun datang mengepung. Pranacitra terbunuh di rakit. Sementara Mendut kemudian memilih bunuh diri. Maruti menggarap pergelarannya dengan dasar Bedovo Serimpi - yang induk tarinya adalah tari keraton. Juga kostumnya digarap dalam dodot besar yang mengenal semacam penataan yang hanya akrab dengan kalangan keraton. Tapi ini tidak lepas dari sisipan-sisipan yang nakal - terutama dalam banyolan dan adegan perkelahian - sehingga pertunjukan tidak saja kelihatan aristokratik spektakuler, tetapi juga dinamis dan akrab. Ini kekuatan Maruti yang tentu saja telah bekerja sama dengan suaminya, Sentot, terutama dalam adegan-adegan perang. Adegan pertarungan pasukan berkuda untuk melanjutkan duet Wiroguno kontra Adipati Pragola, mengangkat imajinasi ke alam wayang kulit. Rangkaian adegan ini mengingatkan penonton bahwa Maruti adalah puteri seorang dalang. Ia memiliki kemahiran bercerita. Ia memperhatikan tempo, variasi adegan, sehingga pertunjukannya mengalir memikat tanpa urung menunjukkan kemampuan penataan tari serta penyusunan tembang. Meski adegan kuda-kuda sebenarnya akan bisa lebih sugestif kalau rombongan kuda mengalir ke satu arah - sehingga barisan kuda yang belakang dapat menelan yang terdahulu-seperti dalam adegan wayang kulit. Bersih Dan Tekun Dalam adegan pertempuran tombak, bermacam gaya muncul. Gelut gaya tari klasik, wayang orang, gaya ketoprak dan kemudian silat. Ini lebih berbau pemborosan. Apalagi kadangkala muncul kecenderungan untuk menyuguhkan hal-hal akrobatik yang sebenarnya sudah tidak terlalu menarik -- mengingat hal-hal tersebut dengan mudah dan unggul telah dilakukan dalam film Mandarin. Ini berbeda dengan akrobat dalam gending yang juga dilakukan. Misalnya gending biakalang untuk tari Prabangsa dalam Gambuh (Bali), ditabuh dengan gamelan Jawa disahut dengan Balabak (Jawa), lalu tembag gandrung. Semuanya sangat sugestif untuk melukiskan pikiran kacau Wiroguno. Waluya Santosa Prabawa, yang diboyong dari Jawa Tengah untuk memainkan Pranacitra, memang unggul dalam tembang dan kehalusan gerak tari. Sementara Sentot dan Wiwoho yang menjadi panakawan, telah menciptakan suasana lucu dan kerakyatan. Namun kita tetap teringat penari Listiyo yang tentunya, bila sempat menjadi Pranacitra, akan memunculkan dimensi yang lain lagi. Adu pandang antara Pranacitra dan Roro Mendut - sementara orang sibuk adu jago, kurang dapat tekanan. Tapi, sebaliknya ada kesempatan buat kedua sejoli itu saling mengelus lewat tembang bersahut-sahutan. Hanya waktu bercinta rupanya selalu terasa sangat pendek. Adegan pembunuhan Pranacitra - yang dibantu oleh Danarto dengan lampu diungkapkan dengan baik. Kedua sejoli itu disergap dalam rakit dan kemudian dihabisi dalam tempo yang singkat. Di sini tempo permainan tidak diulur-ulur. Klimaks cepat berlalu sebelum meninggalkan ketegangan dan kecengengan. Hanya saja adegan terakhir, di mana roh kedua sejoli bersama-sama bangkit dan kemudian undur ke belakang, sudah terlalu klise. Pertunjukan itu mestinya putus tatkala Mendut terkapar di samping mayat pacarnya. Pementasan yang memakai penari-penari asal UI, LPKJ, Nritya Sundara dan PKJT ini, dapat dianggap tontonan yang berhasil. Terutama niat Maruti untuk membina tari Jawa sembari mendekati sumbernya dengan lengkap, pantas dipuji. Niat itu telah dijelmakan dalam pertunjukan yang bersih dan tekun. Wayan Diya & Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus