SIAPAKAH sebenarnya Retno Maruti? Orang ini hebat. Garis dan
komposisi yang ia ciptakan meruang dan memberi kesan dalam.
Lihatlah pertunjukannya di TIM - Langendriyan Roro Mendut - 18
s/d 20 Mei yang lalu, yang banyak mengundang penonton. Di sana
ia telah merangkai gending, tembang dan tari secara sopan, tegas
dan komunikatif.
Tontonan dimulai dengan suasana kejawen lewat bau menyan dalam
pedupan. Tembang meruap dari balik tembok Arena. Kemudian penata
pentas Danarto seperti menyuguhkan sebuah kanvas yang kaya ruang
bagi para penari. Retno Maruti pun muncul di malam pertama
(malam selanjutnya diganti Indah Harie Yuliati) sebagai Roro
Mendut. Sementara Sentot S. muncul sebagai Wiroguno (malam
selanjutnya diganti Trisapto).
Minta Kredit
Roro Mendut adalah kisah cinta masyarakat Jawa Tengah. la sudah
menjadi cerita ketoprak dan sendratari yang begitu banyak
dimainkan. Tentang seorang Wiroguno yang berhasil meluaskan
kerajaan Mataram ke daerah Pati. Untuk ini Wiroguno berhak
menerima hadiah. Tapi dia memilih seorang wanita biasa bernama
Roro Mendut yang justru menampiknya. Wanita ini kemudian minta
diberi kredit untuk mendirikan warung. Dikabulkan. Lalu
tersohorlah kecantikan Mendut sebagai tukang warung yang menjual
rokok. Harga rokok yang sempat ditarihlya (entah cap apa waktu
itu) lebih mahal.
Tokoh Pranacitra sebenarnya adalah anak pemilik kapal di
Pekalongan. Ia mengembara mencari pengalaman. Satu ketika ia
mengadu jago dengan Wiroguno - dan menang. Atas kemenangan ini,
ia diangkat sebagai tukang kuda. Dari sinilah kemudian ia
berdempet dengan Roro Mendut. Pada suatu kesempatan, mereka
lari. Naik rakit. Tapi tukang rakit begitu terpesona oleh
kecantikan Mendut, sehingga rakitnya lambat sekali. Tentara pun
datang mengepung. Pranacitra terbunuh di rakit. Sementara Mendut
kemudian memilih bunuh diri.
Maruti menggarap pergelarannya dengan dasar Bedovo Serimpi -
yang induk tarinya adalah tari keraton. Juga kostumnya digarap
dalam dodot besar yang mengenal semacam penataan yang hanya
akrab dengan kalangan keraton. Tapi ini tidak lepas dari
sisipan-sisipan yang nakal - terutama dalam banyolan dan adegan
perkelahian - sehingga pertunjukan tidak saja kelihatan
aristokratik spektakuler, tetapi juga dinamis dan akrab. Ini
kekuatan Maruti yang tentu saja telah bekerja sama dengan
suaminya, Sentot, terutama dalam adegan-adegan perang.
Adegan pertarungan pasukan berkuda untuk melanjutkan duet
Wiroguno kontra Adipati Pragola, mengangkat imajinasi ke alam
wayang kulit. Rangkaian adegan ini mengingatkan penonton bahwa
Maruti adalah puteri seorang dalang. Ia memiliki kemahiran
bercerita. Ia memperhatikan tempo, variasi adegan, sehingga
pertunjukannya mengalir memikat tanpa urung menunjukkan
kemampuan penataan tari serta penyusunan tembang. Meski adegan
kuda-kuda sebenarnya akan bisa lebih sugestif kalau rombongan
kuda mengalir ke satu arah - sehingga barisan kuda yang belakang
dapat menelan yang terdahulu-seperti dalam adegan wayang kulit.
Bersih Dan Tekun
Dalam adegan pertempuran tombak, bermacam gaya muncul. Gelut
gaya tari klasik, wayang orang, gaya ketoprak dan kemudian
silat. Ini lebih berbau pemborosan. Apalagi kadangkala muncul
kecenderungan untuk menyuguhkan hal-hal akrobatik yang
sebenarnya sudah tidak terlalu menarik -- mengingat hal-hal
tersebut dengan mudah dan unggul telah dilakukan dalam film
Mandarin. Ini berbeda dengan akrobat dalam gending yang juga
dilakukan. Misalnya gending biakalang untuk tari Prabangsa dalam
Gambuh (Bali), ditabuh dengan gamelan Jawa disahut dengan
Balabak (Jawa), lalu tembag gandrung. Semuanya sangat sugestif
untuk melukiskan pikiran kacau Wiroguno.
Waluya Santosa Prabawa, yang diboyong dari Jawa Tengah untuk
memainkan Pranacitra, memang unggul dalam tembang dan kehalusan
gerak tari. Sementara Sentot dan Wiwoho yang menjadi panakawan,
telah menciptakan suasana lucu dan kerakyatan. Namun kita tetap
teringat penari Listiyo yang tentunya, bila sempat menjadi
Pranacitra, akan memunculkan dimensi yang lain lagi.
Adu pandang antara Pranacitra dan Roro Mendut - sementara orang
sibuk adu jago, kurang dapat tekanan. Tapi, sebaliknya ada
kesempatan buat kedua sejoli itu saling mengelus lewat tembang
bersahut-sahutan. Hanya waktu bercinta rupanya selalu terasa
sangat pendek. Adegan pembunuhan Pranacitra - yang dibantu oleh
Danarto dengan lampu diungkapkan dengan baik. Kedua sejoli itu
disergap dalam rakit dan kemudian dihabisi dalam tempo yang
singkat. Di sini tempo permainan tidak diulur-ulur. Klimaks
cepat berlalu sebelum meninggalkan ketegangan dan kecengengan.
Hanya saja adegan terakhir, di mana roh kedua sejoli
bersama-sama bangkit dan kemudian undur ke belakang, sudah
terlalu klise. Pertunjukan itu mestinya putus tatkala Mendut
terkapar di samping mayat pacarnya.
Pementasan yang memakai penari-penari asal UI, LPKJ, Nritya
Sundara dan PKJT ini, dapat dianggap tontonan yang berhasil.
Terutama niat Maruti untuk membina tari Jawa sembari mendekati
sumbernya dengan lengkap, pantas dipuji. Niat itu telah
dijelmakan dalam pertunjukan yang bersih dan tekun.
Wayan Diya & Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini