Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Apa Betul Pemerintah Marah ?

Undang-undang pemberantasan penyelundupan dibahas dalam panel diskusi yang diadakan Persahi Jaya. Indonesia belum memiliki UU Penyelundupan. Dasar penuntutan masih berdasar peraturan masa sebelum perang.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG ini pemerintah sedang marah kepada penyelundup, maka mereka dihukum berat", begitu kata panelis Adnan Buyung Nasution dalam suatu diskusi yang membahas segi-segi hukum penyelundupan. "Kalau nanti pemerintah tak marah lagi, bisa saja para penyelundup tak kena hukuman yang lebih berat lagi", lanjutnya yang diikuti dengan cermat oleh para pengunjung yang memenuhi gedung Panti Trisula menjelang penghujung bulan lalu. Kemarahan itu di mata Buyung antara lain terlihat dengan dipakainya Undang-Undang Subversi, yang ancaman hukumannya bukan main beratnya. "Yang saya tahu paling rendah 12 tahun", kata Buyung. Padahal apa yang dinamakan penyelundupan ini bukan hanya terjadi sekarang. Mungkin dulu pemerintah belum sadar bahaya memasukkan barang tanpa bayar bea ini. Tapi menurutnya pula bagaimana kalau pemerintah kelak tak marah lagi? "Bagaimana dengan mereka yang sudah sempat dapat hukuman berat?" tanya direktur LBH itu Iagi. Ibnu Sutowo Buyung menuduh pemerintah menonjolkan persoalan penyelundupan ini. "Ditangkap, dibawa ke Nusakambangan, dimuat berita dan gambarnya sekaligus di koran-koran", sebutnya. Hal itu lebih jauh dinilainya bukan hanya telah melanggar prinsip pra anggapan tak bersalah (presumption of innocence), tapi juga mencurigakan. "Apa latar belakang tindakan pemerintah?' tanyanya, dan "apa hal ini dibuat-buat?" Buyung khawatir kalau sikap marah yang menjadi landasan penghukuman ini akan menjadi bumerang. "Tujuan penghukuman akan hilang orang akan jadi sinis dan wibawa penegak hukum akan menjadi merosot", dibilangnya lagi. Dia kerap dengar informasi adanya pemilik barang selundupan yang tidak dituntut bahkan mereka disuruh lari. Yang kena, akhirnya, mereka yang kecil-kecil saja katanya. Dari itu ia mengusulkan 3 syarat bila pemberantasan penyelundupan hendak berhasil. Pertama. negara harus betul-betul menindak penyelundupan. "Jangan sekedar ribut-ribut kemudian dikasih bon-bon terus diam", komentarnya. Kedua, ketegasan, kejujuran serta konsistensi tanpa pandang bulu dan pilih kasih dalam bertindak. "Jangan terjadi kalau rakyat kecil terus dituntut, sedangkan kalau Ibnu Sutowo, tunggu dulu", ujarnya. Ketiga, perlu undang-undang baru, yang lebih baik. Hal Ihwal "Tak ada jalan lain, harus dibuat dulu undang-undangnya", sambut Yap Thiam Hien sebagai salah seorang hadirin pada diskusi itu, "kalau kita ingin memberantas suatu kejahatan yang merugikan". Soalnya hina sekarang belum ada UU Penyelundupan. Dan dalam peraturan-peraturan yang ada katanya tak terdapat istilah "penyelundupan", kecuali dalam Kepres (Keputusan Presiden) No. 73 tahun 1967 yang memberi wewenang pengkordinasian urusan penyelundupan kepada Jaksa Agung. Mengutip ketentuan dalam KUHP. Yap mengatakan tak seorang pun bisa dibawa ke pengadilan tanpa dasar undang-undang. "Apalagi hanya dengan sebuah Kepres", ujarnya. Yap juga mempermasalahkan barang-barang sitaan karena penyelundupan. Ia mengkritik penyerahan barang-barang itu kepada satu instansi dan kemudian dilelang untuk negara. "Apa dasar hukum tindakan ini?" kata pembicara. Ia mengusulkan agar unsur-unsur masyarakat diberi hak memeriksa hal ihwal yang menyangkut urusan kejahatan ini. Lain dari itu ia melihat dimonopolinya urusan penyelundupan oleh kejaksaan. "Bagaimana wewenang kepolisian yang menurut undang-undang punya wewenang menangani kejahatan?" tanyanya. Atau Apa A. Karim Nasution, staf ahli Kejaksaan Agung, segera bangkit dari bangku panelnya. Ia menunjuk pada Operasi 902, yang juga diikuti aktif oleh polisi. Kalau ada tersangka yang lari ke luar negeri, yang menghubungi juga polisi. "Bagaimana disebutkan polisi tak turut serta?" jawabnya dengan bertanya. Soal tak adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang pemberantasan penyelundupan menurut panelis tak soal benar. Dasar penuntutan penyelundupan adalah peraturan yang berasal dari masa sebelum perang, yakni KO pasal 26, yang dikaitkan pula dengan undang-undang tindak pidana ekonomi. "Jadi kita memang tak menuntut berdasarkan Kepres", sambungnya. Dari itu ia tak merasa perlu diadakannya sebuah undang-undang baru. "Undang-undang baru malah bisa menimbulkan keragu-raguan", ucapnya lagi. Yang penting kata Karim adalah orang yang diserahi tugas melaksanakan, "the man behind the gun", sebutnya. Dan tentang dikenakannya ancaman UU Subversi menurut Karim masih diperlukan, dalam keadaan seperti sekarang. Tak jelas apakah maksudnya keadaan sekarang itu dalam masa peralihan, atau apa. Diskusi, yang diselenggarakan oleh Persahi Jaya ini semestinya dilakukan beberapa bulan yang lalu. Tapi tertunda karena pemilu. Ketua organisasi tersebut, Albert Hasibuan, yang juga menduduki kursi moderator menjelaskan bahwa pertemuan ini khusus untuk mempersoalkan masalah hukum sekitar penyelundupan, yang mungkin dapat bermanfaat bagi peningkatan pemberantasannya. Sebagaimana biasa, tiada keputusan yang diambil. Dari hadirin tampak selain anggota-anggota Persahi, juga bekas Menlu Sunaryo, Ketua Umum Persahi Pusat Kanter, orang-orang Kejaksaan dan para pengabdi hukum lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus