SEKARANG ini pemerintah sedang marah kepada penyelundup, maka
mereka dihukum berat", begitu kata panelis Adnan Buyung Nasution
dalam suatu diskusi yang membahas segi-segi hukum penyelundupan.
"Kalau nanti pemerintah tak marah lagi, bisa saja para
penyelundup tak kena hukuman yang lebih berat lagi", lanjutnya
yang diikuti dengan cermat oleh para pengunjung yang memenuhi
gedung Panti Trisula menjelang penghujung bulan lalu.
Kemarahan itu di mata Buyung antara lain terlihat dengan
dipakainya Undang-Undang Subversi, yang ancaman hukumannya bukan
main beratnya. "Yang saya tahu paling rendah 12 tahun", kata
Buyung. Padahal apa yang dinamakan penyelundupan ini bukan hanya
terjadi sekarang. Mungkin dulu pemerintah belum sadar bahaya
memasukkan barang tanpa bayar bea ini. Tapi menurutnya pula
bagaimana kalau pemerintah kelak tak marah lagi? "Bagaimana
dengan mereka yang sudah sempat dapat hukuman berat?" tanya
direktur LBH itu Iagi.
Ibnu Sutowo
Buyung menuduh pemerintah menonjolkan persoalan penyelundupan
ini. "Ditangkap, dibawa ke Nusakambangan, dimuat berita dan
gambarnya sekaligus di koran-koran", sebutnya. Hal itu lebih
jauh dinilainya bukan hanya telah melanggar prinsip pra anggapan
tak bersalah (presumption of innocence), tapi juga mencurigakan.
"Apa latar belakang tindakan pemerintah?' tanyanya, dan "apa hal
ini dibuat-buat?"
Buyung khawatir kalau sikap marah yang menjadi landasan
penghukuman ini akan menjadi bumerang. "Tujuan penghukuman akan
hilang orang akan jadi sinis dan wibawa penegak hukum akan
menjadi merosot", dibilangnya lagi. Dia kerap dengar informasi
adanya pemilik barang selundupan yang tidak dituntut bahkan
mereka disuruh lari. Yang kena, akhirnya, mereka yang
kecil-kecil saja katanya. Dari itu ia mengusulkan 3 syarat bila
pemberantasan penyelundupan hendak berhasil. Pertama. negara
harus betul-betul menindak penyelundupan. "Jangan sekedar
ribut-ribut kemudian dikasih bon-bon terus diam", komentarnya.
Kedua, ketegasan, kejujuran serta konsistensi tanpa pandang bulu
dan pilih kasih dalam bertindak. "Jangan terjadi kalau rakyat
kecil terus dituntut, sedangkan kalau Ibnu Sutowo, tunggu dulu",
ujarnya. Ketiga, perlu undang-undang baru, yang lebih baik.
Hal Ihwal
"Tak ada jalan lain, harus dibuat dulu undang-undangnya", sambut
Yap Thiam Hien sebagai salah seorang hadirin pada diskusi itu,
"kalau kita ingin memberantas suatu kejahatan yang merugikan".
Soalnya hina sekarang belum ada UU Penyelundupan. Dan dalam
peraturan-peraturan yang ada katanya tak terdapat istilah
"penyelundupan", kecuali dalam Kepres (Keputusan Presiden) No.
73 tahun 1967 yang memberi wewenang pengkordinasian urusan
penyelundupan kepada Jaksa Agung. Mengutip ketentuan dalam KUHP.
Yap mengatakan tak seorang pun bisa dibawa ke pengadilan tanpa
dasar undang-undang. "Apalagi hanya dengan sebuah Kepres",
ujarnya.
Yap juga mempermasalahkan barang-barang sitaan karena
penyelundupan. Ia mengkritik penyerahan barang-barang itu kepada
satu instansi dan kemudian dilelang untuk negara. "Apa dasar
hukum tindakan ini?" kata pembicara. Ia mengusulkan agar
unsur-unsur masyarakat diberi hak memeriksa hal ihwal yang
menyangkut urusan kejahatan ini. Lain dari itu ia melihat
dimonopolinya urusan penyelundupan oleh kejaksaan. "Bagaimana
wewenang kepolisian yang menurut undang-undang punya wewenang
menangani kejahatan?" tanyanya.
Atau Apa
A. Karim Nasution, staf ahli Kejaksaan Agung, segera bangkit
dari bangku panelnya. Ia menunjuk pada Operasi 902, yang juga
diikuti aktif oleh polisi. Kalau ada tersangka yang lari ke luar
negeri, yang menghubungi juga polisi. "Bagaimana disebutkan
polisi tak turut serta?" jawabnya dengan bertanya. Soal tak
adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang pemberantasan
penyelundupan menurut panelis tak soal benar. Dasar penuntutan
penyelundupan adalah peraturan yang berasal dari masa sebelum
perang, yakni KO pasal 26, yang dikaitkan pula dengan
undang-undang tindak pidana ekonomi. "Jadi kita memang tak
menuntut berdasarkan Kepres", sambungnya. Dari itu ia tak merasa
perlu diadakannya sebuah undang-undang baru. "Undang-undang baru
malah bisa menimbulkan keragu-raguan", ucapnya lagi. Yang
penting kata Karim adalah orang yang diserahi tugas
melaksanakan, "the man behind the gun", sebutnya. Dan tentang
dikenakannya ancaman UU Subversi menurut Karim masih diperlukan,
dalam keadaan seperti sekarang. Tak jelas apakah maksudnya
keadaan sekarang itu dalam masa peralihan, atau apa.
Diskusi, yang diselenggarakan oleh Persahi Jaya ini semestinya
dilakukan beberapa bulan yang lalu. Tapi tertunda karena pemilu.
Ketua organisasi tersebut, Albert Hasibuan, yang juga menduduki
kursi moderator menjelaskan bahwa pertemuan ini khusus untuk
mempersoalkan masalah hukum sekitar penyelundupan, yang mungkin
dapat bermanfaat bagi peningkatan pemberantasannya. Sebagaimana
biasa, tiada keputusan yang diambil. Dari hadirin tampak selain
anggota-anggota Persahi, juga bekas Menlu Sunaryo, Ketua Umum
Persahi Pusat Kanter, orang-orang Kejaksaan dan para pengabdi
hukum lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini