SURAT Mahkamah Agung itu seperti menggebrak Pengadilan Negeri
Medan. "Selama seminggu kami sibuk," ujar Ketua PN, Chabib
Syarbini. Dan oleh kesibukan tersebut, sebuah perkara yang sudah
tenggelam selama sekitar empat tahun, seketika terangkat.
Hari-hari ini Raguel Aridas alias Harrydas diadili dengan
beberapa tuduhan: Mulai pembunuhan sampai menguasai senjata api
secara tidak sah.
Aridas 28 tahun terlibat suatu perkelahian kelompok pada
Agustus 1977. Kelompok Aridas, setidaknya terdiri dari Aris,
lduard dan Rolin, melawan Das Karben dkk. Keributan bisa
dipastikan diramaikan dengan senjata api. Seperti sebuah pesta
petasan terjadi dini hari, 14 Agustus, di Kampung Keling.
Dan adalah Asril, penjual rokok yang berkios di depan Apotik
Jasa, tak jauh dari arena perkelahian, tertimpa sial. Salah
sebuah peluru tiba-tiba nyasar ke dada kirinya. Ia tewas.
Sementara anak-anak muda yang membikin kerusuhan segera berlalu
dari sana.
Polisi memang segera dapat meringkus beberapa anak muda yang
disangka bertanggungjawab atas kematian Asril. Di samping Aridas
-- begitu pada mulanya -- turut pula ditangkap Aris dan Rolin.
Sedangkan Eduard diketahui buron ke Bangkok Anak muda lain,
Gerry dan Buntu, pada mulanya juga turut berurusan dengan
polisi. Mereka tak terlibat langsung dalam perkelahian di
Kampung Keling. Tapi, begitu petunjuk para tersangka, dari
merekalah salah sebuah senjata api diperoleh.
Tapi akhirnya ternyata hanya Aridas sendiri yang lama ditahan.
Buntu ditahan selama tiga minggu. Aris dan Rolin masing-masing
hanya dua dan satu minggu. Bahkan Gerry, seperti dituturkan
Aridas kemudian, hanya berada di kantor polisi paling-paling
tiga jam. Serombongan polisi berkendaraan jip menjemputnya.
Susahnya
Tinggallah Aridas dengan keluhannya: "Habis orang tua saya bukan
pejabat." Teman-teman Aridas memang dibebaskan atas jaminan
orang tua masing-masing yang kebetulan punya kedudukan baik: ada
yang perwira menengah dan perwira tinggi suatu angkatan dan ada
pula yang menjabat Gubernur Muda.
"Inilah susahnya berteman dengan anak penggede -- mereka lepas,
saya yang terjerat," ujar Aridas. Begitu teman-temannya lepas,
tutur Aridas, ia diperiksa dengan keras dan harus membuat
pengakuan seperti ini: Hanya dia yang membawa senapan dan
menembakkannya sendiri pada malam keributan di Kampung Keling.
Aridas hermi juga membangkang perintah juru periksa yang
berpangkat pembantu letnan polisi. Meski harus menanggung
derita cukup panjang: siang malam tangannya dirantai dan
dipukuli.
Selama empat tahun perkara Kampung Keling terkatung-katung.
Dalam pada itu Aridas harus berpindah-pindah dari penjara satu
ke yang lain -- sudah sekitar 10 penjara di Sum-Ut yang pernah
dihuninya. Alasannya, yang terutama, karena tertuduh selain
Aridas tak dapat diajukan ke pengadilan. Mengapa bisa begitu,
para penegak hukum di daerah itu berdebat, saling menyalahkan .
Kepolisian memang menempatkan para tertuduh di luar tahanan.
Tapi, kata Wakil Kepala Seksi Penerangan Kodak II Kapten Nyonya
A. Tobing, kalau hal itu memang mengganggu kelancaran sidang,
"kenapa tak ditangkap lagi saja?" Humas Kejaksaan Tinggi Sum-Ut,
Soegeng, menyambut ucapan polisi tersebut: "Enak saja . . ."
Soalnya, kata Soegeng, "kenapa polisi melepaskan sehingga sulit
menghadirkar tertuduh ke pengadilan."
Selama ini, menurut Soegeng, kejaksaan memang dibikin repot para
tertuduh. Ada yang hanya mengirimkan surat keterangan dari
dokter jiwa setiap kali dipanggil. Ada yang beralasan sedang
mendapat tugas belajar dari gubernuran. Ada juga yang tiba-tiba
tak punya alamat jelas. Sementara upaya mengajukan Aridas
sendirian juga tak kelihatan .
Sampai kemudian Nyonya Letjemi, ibu Aridas, seorang janda,
mengadukan nasib anak kandungnya ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum)
Medan. LBH lalu meneruskannya ke Mahkamah Agung. Seminggu
kemudian MA sudah mengirimkan surat ke PN Medan. Dan penetapan
hari sidang segera ditentukan, 30 April. "Untung MA sekarang
cepat tanggap," ujar Humas LBH Medan, Syamsuddin Manan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini