Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aset Berserak Yayasan Soeharto

Mahkamah Agung menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sekitar Rp 4,4 triliun. Eksekusi terhambat aset yang berserak.

24 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Yayasan Supersemar, Subagyo, terperanjat setelah membaca berita pada Senin dua pekan lalu. Lembaga yang dia pimpin disebut-sebut kembali kalah di Mahkamah Agung. Menurut berita tersebut, yayasan yang didirikan mendiang mantan presiden Soeharto itu harus membayar ganti rugi triliunan rupiah kepada negara.

Subagyo lalu menghubungi beberapa anggota dewan pembina yayasan. Ia memberi tahu mereka soal putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung tersebut. Subagyo pun mengundang mereka untuk membahas langkah-langkah yang akan ditempuh yayasan. "Kami segera berkumpul dan menunjuk kuasa hukum baru," ujar Subagyo, Kamis pekan lalu.

Tanpa diketahui Subagyo, pada 8 Juli 2015 Mahkamah Agung rupanya mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Mahkamah memerintahkan Yayasan Supersemar membayar US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar kepada negara.

Yayasan Supersemar hanya diberi waktu delapan hari untuk melunasi ganti rugi tersebut secara sukarela. Tenggat itu terhitung sejak Kejaksaan Agung mengeluarkan perintah eksekusi putusan kepada pengadilan negeri. Bila melewati tenggat, pengadilan akan menyita aset Supersemar.

* * * *

Yayasan Supersemar didirikan pada 16 Mei 1974 dengan "modal awal" Rp 10 juta dari Presiden Soeharto. Di atas kertas, misi yayasan ini adalah membantu siswa berbakat yang tak mampu membiayai studinya. Untuk menghimpun dana, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.

Setelah Soeharto lengser, pada 1998, Kejaksaan Agung menemukan penyimpangan dana tujuh yayasan yang didirikan Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar. Jumlah dana yang diselewengkan sekitar Rp 1,4 triliun dan US$ 420 juta. Dana ketujuh yayasan tersebut disalurkan ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Soeharto mulai 1985 hingga 1998. Padahal, menurut kejaksaan, dana yang masuk ke rekening yayasan tersebut merupakan uang negara karena dihimpun dengan peraturan pemerintah.

Lewat Yayasan Supersemar, misalnya, Soeharto menyebar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Penerimanya antara lain PT Sempati Air milik Tommy Soeharto; PT Kiani Sakti dan Lestari milik Bob Hassan; Grup Nusamba, yang juga milik Bob Hassan; Bank Duta; dan kelompok usaha Kosgoro. Bank Duta—yang telah kolaps—merupakan penerima dana terbesar, sekitar US$ 420 juta.

Masalahnya, pengusutan kasus dana Supersemar tak terlepas dari tarik-ulur berbagai kepentingan. Pada 11 Oktober 1999, misalnya, Jaksa Agung Andi M. Ghalib malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Alasan Andi, tuduhan Soeharto menilap uang negara via ketujuh yayasan tak terbukti.

Dua bulan kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya dibuka lagi. Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Pada Agustus tahun itu, perkara masuk tahap penuntutan. Namun persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.

Mentok di jalur pidana, pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa. Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Adapun Soeharto kembali lolos dari gugatan. Pertimbangan majelis hakim, Soeharto menggangsir uang negara atas nama Yayasan Supersemar.

Putusan hakim yang mengalahkan Yayasan Supersemar bertahan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam putusan kasasi yang diketuk pada 2010, terdapat kesalahan pengetikan. Nilai ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar tertulis US$ 315 juta dan Rp 139,2 juta, padahal seharusnya Rp 139,2 miliar. Karena kesalahan ketik tersebut, jaksa tak mengeksekusi putusan yang sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap itu.

Lima tahun kasus Supersemar mengendap, pada Maret 2015 Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis hakim Suwardi, Soltoni, dan Mahdi Sorinda memperbaiki salah ketik pada putusan kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar menjadi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar—total sekitar Rp 4,4 triliun dalam kurs saat ini.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan putusan peninjauan kembali perkara Supersemar diputus majelis hakim secara bulat. "Tak ada perbedaan pendapat." Karena hanya memperbaiki salah ketik, menurut Suhadi, peninjauan kembali kasus Supersemar tergolong mudah. "Saya bingung juga, mengapa jaksa baru mengajukan permohonan peninjauan kembali tahun ini?" ujar Suhadi.

Pengacara Yayasan Supersemar, Denny Kailimang, mengatakan kini tak ada lagi langkah hukum yang bisa diambil yayasan untuk mempertahankan asetnya. "Putusan hukum sudah final," kata Denny, Selasa pekan lalu. Masalahnya, menurut Denny, pundi-pundi Yayasan Supersemar tak memadai untuk membayar semua ganti rugi itu. Berdasarkan perkiraan Denny, total aset Yayasan Supersemar paling banter hanya Rp 1 triliun. "Kalau kejaksaan dan pengadilan mau mengejar sampai perusahaan penerima dana, terserah mereka," ujar Denny.

Yayasan Supersemar kini memang tak ditopang lagi bantuan bank pemerintah. Namun Supersemar masih menggenggam sejumlah aset berharga. Salah satunya Gedung Granadi di Kuningan, Jakarta Selatan, yang menjadi kantor pusat yayasan. Menurut mantan Direktur Perdata Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara yang menangani perkara Supersemar, Yoseph Suardi Sabda, nilai gedung itu minimal Rp 100 miliar. "Kami pernah mencoba menyitanya sebagai aset jaminan, tapi ditolak pengadilan," kata Yoseph.

Berdasarkan dokumen laporan hasil penelitian yayasan Soeharto yang dikeluarkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 1998, Yayasan Supersemar juga memiliki saham di 23 perusahaan, yang sebagian sudah mati. Di antaranya Timber Dana Jakarta, Bank Muamalat, Indocement Tunggal Prakarsa, dan Granadi. Per 30 Juni 1998, saham Supersemar di perusahaan tersebut bernilai Rp 30,994 miliar.

Ada pula piutang yayasan di sejumlah perusahaan. Yayasan Supersemar, misalnya, punya piutang Rp 107 miliar di Bank Duta. Namun pinjaman beserta bunganya di bank itu tak bisa ditagih yayasan meski mereka sudah menggugat hingga Mahkamah Agung. Adapun dana abadi yayasan, pada pembukuan 2009, nilainya sekitar Rp 670 miliar.

Melihat aset yang yayasan yang berserak, Kejaksaan Agung tak mau terburu-buru melakukan eksekusi. "Kami inventarisasi dulu, di mana saja asetnya," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Bila semua aset telah terlacak, menurut Prasetyo, banyak strategi yang bisa dijalankan, termasuk menggugat perusahaan penerima dana yayasan.

Istman M.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus