Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penjara di Tengah Sengketa Lahan

Perhimpunan Candra Naya berebut lahan bernilai ratusan miliar rupiah dengan Yayasan Sumber Waras. Ketua pengurus Candra Naya ditahan atas tuduhan penggelapan.

24 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terkurung di penjara selama 50 hari, berat badan I Wayan Suparmin melorot sampai 7 kilogram. Sebelum masuk bui, Wayan, 57 tahun, sudah mengidap penyakit diabetes. Setelah dipenjara, kesehatan Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya itu semakin buruk saja.

Sejak sidang perdana awal Juli lalu, Wayan berupaya mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Namun majelis hakim tak kunjung mengabulkan permohonan dia. "Sekarang ini di penjara sudah ada dokter. Obat juga tersedia," kata ketua majelis hakim M. Saleh di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis pekan lalu. Dua anggota majelis hakim, Avrits dan Hari Tri, sepakat dengan sang ketua majelis.

Kejaksaan menahan Wayan sejak 30 Juni 2015. Di persidangan, jaksa mendakwa dia menggelapkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 124/Tomang, Jakarta Barat. Bukti kepemilikan lahan seluas 32.370 meter persegi di Jalan Kyai Tapa itu atas nama Perkumpulan Sin Ming Hui.

Wayan menjadi pesakitan setelah Kartini Muljadi, Ketua Umum Yayasan Kesehatan Sumber Waras, melaporkan dia ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada pertengahan tahun lalu. Kartini menuduh Wayan menggelapkan sertifikat yang diklaim milik Yayasan Sumber Waras. Padahal, menurut Wayan, dia menyimpan sertifikat itu demi kepentingan Perhimpunan Candra Naya. "Lahan itu milik perhimpunan, jadi peran saya sebagai penjaga amanat," ucap Wayan.

Menurut pengacara Wayan, Jimmy Stevanus Mboe, kliennya dilaporkan ke polisi ketika Perhimpunan Candra Naya bersengketa dengan Yayasan Sumber Waras di pengadilan perdata. Pada Juli 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memang menolak gugatan Wayan. Namun karena putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, menurut Jimmy, pemilik lahan dengan Sertifikat Hak Milik 124 pun belum jelas. "Di tengah proses itu, klien kami malah dikriminalisasi," ujar Jimmy.

* * * *

Perhimpunan Sosial Candra Naya ibarat orang tua bagi Yayasan Kesehatan Sumber Waras. "Perhimpunan Candra Naya yang mendirikan Yayasan Sumber Waras," kata mantan pengurus Perhimpunan Candra Naya, Eddy Waworuntu, 83 tahun. Eddy bergabung sebagai guru dalam Perhimpunan Candra Naya pada 1953-1960.

Sebelum berubah nama, Candra Naya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. Ketika Sin Ming Hui berdiri, pada 26 Januari 1946, negara masih kacau. "Banyak keturunan Cina yang mengungsi ke Jakarta," ujar Eddy. Pengungsian besar-besaran terjadi karena di beberapa daerah muncul sentimen anti-Cina.

Untuk membantu sesama warga Tionghoa, pengurus Sin Ming Hui menggalang bantuan dana dari masyarakat yang mampu. Pada 31 Januari 1956, sumbangan yang diterima Sin Ming Hui mencapai Rp 1,034 juta. Dari uang itu, pengurus membeli beberapa bidang tanah, antara lain lahan seluas 8 hektare di Jalan Tangerang, yang kini telah berganti nama menjadi Jalan Tomang dan Jalan Kyai Tapa, Grogol. "Harga tanah saat itu Rp 1 per meter," kata Eddy. Kini harga pasaran lahan di sekitar tempat itu Rp 15-20 juta per meter.

Di atas lahan di Grogol itu lalu dibangun Rumah Sakit Sin Ming Hui, yang diresmikan pada 24 Juni 1957. Sebulan sebelumnya, Sin Ming Hui berubah nama menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya. Pada 20 September 1962, Perhimpunan Candra Naya mendirikan Yayasan Kesehatan Candra Naya. Yayasan ini berganti nama pada 6 Desember 1966 menjadi Yayasan Kesehatan Sumber Waras.

Lahan seluas 8 hektare di Grogol kemudian dibagi dua. Bagian pertama, seluas 36.410 meter persegi, dikelola Yayasan Kesehatan Sumber Waras dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1/Tomang. Bagian kedua, seluas 32.370 meter persegi, dikelola Perhimpunan Sosial Candra Naya dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 124/Tomang.

Kini di lahan yang berada dalam satu kompleks itu berdiri bangunan Rumah Sakit Sumber Waras. Lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras berada di Jalan Tomang Utara, memanjang hingga Jalan Tomang Tinggi. Sedangkan lahan SHM 124 atas nama Candra Naya berada di bagian depan, di Jalan Kyai Tapa.

Bibit sengketa kepemilikan lahan bersemi sejak 17 November 1970. Waktu itu Ketua Perhimpunan Candra Naya, Padmo Soemasto, dan sekretarisnya, Maria Johanna Sutjiati Wirasastrua,membuat akta hibah tanpa persetujuan rapat umum anggota.

Pada awalnya, menurut Jimmy, hibah lahan itu tak dipersoalkan karena dianggap sebagai upaya penyelamatan aset Perhimpunan. Waktu itu beberapa aktivis Perhimpunan Candra Naya dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia. "Agar aset tak disita negara, dibuatlah akta hibah," ujar Jimmy.

Padmo dan Maria menyerahkan SHM 124 kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Adapun penerima hibah juga Padmo Soemasto sebagai Ketua Yayasan Sumber Waras dan Bendahara Yayasan Inawati Laban. Akta hibah itu dibuat mendiang Djojo Muljadi, suami Kartini Muljadi.

Pada 22 September 1999, berlangsung rapat umum anggota yang membatalkan hibah tanah kepada Yayasan Sumber Waras. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Candra Naya, kekuasaan tertinggi perkumpulan terletak pada rapat umum anggota. Rapat umum anggota itu mengembalikan tanah dengan Sertifikat Hak Milik 124 kepada Perhimpunan. Hasil rapat anggota itu disahkan oleh notaris Saal Bumela pada 17 Januari 2000.

Masalahnya, sebelum rapat umum anggota itu, Padmo Soemasto beserta sekretarisnya, Donald Siregar, telah menjaminkan SHM 124 kepada PT Bank Liman International. Dari bank itu, Yayasan Sumber Waras mendapat kredit sebesar Rp 5,4 miliar untuk jangka waktu 10 tahun.

Padmo dan Donald pun menandatangani akta kuasa untuk memasang hipotek atau jaminan kredit pada 13 Februari 1993. "Bila SHM 124 memang milik Yayasan, mengapa Candra Naya harus membuat akta kuasa memasang hipotek?" ucap Jimmy.

Setelah pinjaman Sumber Waras lunas, Bank Liman mengembalikan SHM 124 kepada Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya, I Wayan Suparmin. Wayan menggantikan Padmo sejak 2000 hingga saat ini. Sejak Wayan menerima sertifikat dari Bank Liman, Yayasan Sumber Waras berulang kali meminta Sertifikat Hak Milik 124. Yayasan pun mengirim enam surat somasi pada 2009-2010.

Menurut Kartini Muljadi, SHM 124 diperlukan untuk kepentingan pembangunan rumah sakit. Yayasan Sumber Waras tak punya rencana menjual lahan dengan SHM 124. Penjualan aset Sumber Waras kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta senilai Rp 800 miliar, menurut dia, tak ada hubungannya dengan sengketa lahan Sumber Waras dan Candra Naya.

Pada 3 Juni 2011, Wayan membalas somasi Sumber Waras dengan mengajukan beberapa syarat penyerahan sertifikat. Antara lain, Wayan meminta pendirian sekolah komputer, pembagian saham untuk perhimpunan, atau kompensasi 40 persen dari harga jual tanah. "Tawaran itu tak dapat disepakati," kata Kartini.

Kini Kartini hanya bersedia mencabut laporan pidana Wayan bila Sertifikat Hak Milik 124 telah diserahkan. Kartini pun sudah meneken surat pada 6 Agustus 2015 bersama Samsuddin, Sekretaris Yayasan. Surat itu intinya menyatakan Yayasan Sumber Waras akan melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghentikan perkara pidana dan penangguhan penahanan Wayan.

Surat pernyataan itu, menurut Kartini, telah diserahkan kepada hakim atas permintaan pengurus Candra Naya. "Bila sertifikat sudah diserahkan, tak perlu lagi ada gugatan," ujar Kartini.

Yuliawati, Erwan Hermawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus