Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari menyebut pasal penodaan terhadap bendera negara di RKUHP overregulation karena sudah ada hukum khusus (lex specialis) yang mengaturnya.
"Suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum dan aturan pidana khusus maka hanya yang berlaku adalah yang khusus," kata Eva K. Sundari yang juga Direktur Institut Sarinah dikutip dari Antara, Jumat 2 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sesuai dengan Pasal 63 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku hingga sekarang, lanjut Eva K. Sundari, yang diterapkan adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di dalam UU No.24/2009 Pasal 24 disebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.
Ketentuan berikutnya setiap orang dilarang memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.
Selain itu, melarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara. Larangan lainnya, memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
"Isi Pasal 24 KUHP ini sama dengan pasal 234 dan 235 RUU KUHP. Bedanya hanya pada pemidanaan meski melakukan perbuatan yang sama," kata Eva.
Ia mencontohkan pelanggaran UU No 24/2009 Pasal 24 Huruf b, yakni sengaja memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Sementara itu, di dalam RKUHP Pasal 235 Huruf a hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp10 juta. Padahal, kata dia, melakukan tindak pidana yang sama. "Pemidanaan yang beda dengan UU No.24/2009 'kan bikin hakim bingung," katanya.
Oleh karena itu, Eva menyarankan agar pemerintah dan DPR mencabut pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara dalam RKUHP karena redundant atau mubazir.
Baca: Arsul Sani Sebut Pasal Pengibar Bendera Kusam di RKUHP Tak Perlu Dihapus, tapi..