SEBUAH jip mewah Mercy putih nomor polisi BK-1-DB meluncur ke rumah bordil di Jalan Moch. Ramdhan, Bandung. Penumpangnya, tiga orang pemuda -- seorang di antaranya calo wanita panggilan yang biasa mangkal di hotel-hotel -- terlihat keren layaknya orang berkantung tebal. Tak mengherankan bila pelacur di situ segera pasang aksi, begitu tamu-tamu tengah malam itu turun dari mobil mereka. Berlagak bos muda, salah seorang pemuda tadi -- belakangan ketahuan bernama Tomy -- segera menunjuk Anis dan Risma untuk teman kecannya. Dari enam pelacur yang ada memang kedua wanita ini yang berpenampilan modis. Tubuh mereka kecil, rambut lurus sebatas bahu. Sang bos tak keberatan dengan tarif kedua wanita itu, Rp 50 ribu seorang. Tentu saja perasaan Anis, 18 tahun, dan Risma, 24 tahun, berbunga-bunga karena tarifnya itu segera dibayar kontan si bos. Siapa tahu, selesai kencan si tamu tak keberatan memberi tip atau bonus. Tanpa basa-basi lagi, pada 13 April, Jumat dini hari pukul 02.00, mereka diboyong ke Hotel Grand Preanger, Bandung. Di hotel berbintang itu, kedua pelacur itu dimasukkan ke kamar 340. Baru saja duduk, Anis, yang jebolan SD, disodori rokok lintingan. Tanpa ragu-ragu Anis mengisap rokok itu. Ketika itulah rekannya, Risma, yang lebih berpengalaman, mencegah. "Jangan dirokok, matikan! Itu ganja!" katanya pada Anis. Tak jelas benar tidaknya rokok itu berisi ganja. Yang pasti, wanita yang mengaku baru enam bulan -- jadi pelacur itu segera menuruti nasihat temannya. Rokok dimatikan di asbak. Buntutnya sungguh di luar dugaan. Salah seorang pemuda, Fazril Akhir, 24 tahun, berang. Ia mencabut pistolnya, dan menodongkannya ke muka Risma. "Kamu jangan macam-macam ya," kata Fazril sambil menggebrak meja. Nyali Risma dan Anis kontan mengkeret. Sebab, baru kali ini mereka ditodong tamu dengan pistol "beneran". Setelah itu Risma diajak Fazril ke kamar 334, yang bersebelahan dengan kamar tadi. Di situ telah menunggu rekan-rekan Fazril: Rudi, 24 tahun, Carlo, 30 tahun, Lupuk, 23 tahun, dan Marihot, 20 tahun. Gilanya, di depan teman-temannya itu Fazril memaksa Risma melayaninya. Sementara itu, di kamar 340, Tomy meneruskan kencannya dengan Anis. Tapi, sekali lagi, pelacur asal Subang ini terkejut. Sebab, ketika Tomy melepas bajunya, gagang pistol nongol dari pinggangnya. Dalam keadaan terpaksa, karena dicekam rasa takut, Anis melayani nafsu tamunya. Menjelang subuh, Anis minta diri. Ia segera menuju ke kamar 334 menjemput Risma. Tapi begitu Anis nongol di kamar itu, tangannya tiba-tiba ditarik secara kasar oleh salah seorang pemuda di situ. Lebih gila lagi, Anis diminta melayani empat pemuda di situ. Tentu saja Anis menolak. "Saya nggak mau. Dalam perjanjian kan hanya melayani seorang," cerita Anis kepada TEMPO. Baru pukul 04.30 dini hari, kedua pelacur itu bisa meninggalkan hotel tersebut. Siangnya Risma mengadukan ulah "tamu-tamu itu kepada mucikarinya, Asep. "Risma mengadu karena jam tangannya ketinggalan di hotel," cerita Asep. Mendengar penderitaan anak buahnya, Asep benar-benar jengkel. "Saya geregetan melihat anak buah saya dibegitukan," kata Asep, yang melaporkan kasus itu ke Unit IV Serse Polwiltabes Bandung. Polisi segera melacak. Beberapa petugas serse diterjunkan ke hotel tersebut. Sore itu juga petugas menggeledah kamar 334. "Tapi di situ tak ditemukan sepucuk pistol pun," kata Kasat Binmas Polwiltabes Bandung, Mayor Istanto. Penggeledahan dilanjutkan di kamar 340. Penghuni kamar ini mula-mula tak mengaku memiliki pistol, apalagi menyimpannya. "Semua mereka memang tak mau mengaku," kata Istanto. Baru setelah polisi menemukan dua buah pistol di bawah kasur, mereka tak berkutik. Pistol Colt 38 S & W dan Colt 22 Ciss dengan 14 butir pelurunya disita. Semua tak ada surat-suratnya. Jadi, dimiliki secara gelap," kata mayor polisi itu. Apa boleh buat, keenam pemuda asal Medan itu, yang konon datang ke Bandung dengan maksud membeli velk ban mobil, terpaksa digiring ke kantor polisi. Begitu pula mobil jip Mercy dan Baby Benz milik mereka. Di situ baru ketahuan bahwa Tomy adalah anak bekas Gubernur Sumatera Utara. "Mentang-mentang ayahnya bekas gubernur, sewaktu diperiksa sikapnya petentang-petenteng. Dengan enaknya ia tumpang kaki," kata sumber TEMPO yang hadir dipemeriksaan. Dengan emosional sumber ini berharap agar anak pejabat itu diberi pelajaran setimpal. "Jangan mentang-mentang anak pejabat, kasusnya lantas menguap," tambahnya. Polisi, tampaknya, juga begitu. Sebab, tak berapa lama kemudian, para pemuda tadi -- kecuali Tomy dan Fazril dilepas. Alasannya, hanya dua pemuda itulah yang menguasai pistol. Dan hingga Sabtu pekan itu, bekas Gubernur Sumatera Utara itu sudah membesuk anaknya tiga kali. Dua mobil mewah mereka juga sudah diambil dari polisi. Soal ganja? "Dari hasil pemeriksaan kami tak menemukan bukti bahwa yang diisap malam itu ganja," kata Istanto. Dari hasil pemeriksaan pula, cerita yang dibumbu-bumbui, misalnya moncong pistol ditodongkan ke pelipis korban, juga tak terbukti. "Mereka hanya merasa ketakutan melihat pistol yang ditaruh Fazril di atas meja telepon. Tak ada ancaman apa-apa," kata Istanto. Kendati tak ada ancaman, pemaksaan, atau pengisapan ganja, mereka tetap dikenai pasal yang memberatkan. "Yaitu kepemilikan senjata api gelap. Dan apakah itu pistol pinjaman atau bukan, kami masih melakukan penyidikan ke arah itu," kata Istanto. WY dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini