JUMAT pekan lalu, beredar tabloid baru yang namanya: Jum'at. Mingguan ini tampil delapan halaman, dengan logo berhuruf mirip kaligrafi Arab. Sasarannya -- seperti terbaca di bawah logo -- berbunyi, "Sarana informasi dan Komunikasi Jama'ah". Jum'at diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI), setelah Muktamar II DMI, Desember lalu, memutuskan untuk melahirkan sarana komunikasi. Mengapa namanya Jum'at? "Hari itu adalah hari yang istimewa bagi umat Islam. Mereka berkumpul pada hari itu untuk melakukan ibadah," kata Kafrawi Ridwan, Pemimpin Umum Jum'at, yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Amanah. Media baru ini memang diturunkan di masjid-masjid, setiap hari ibadah itu. Sasaran pembaca Jum'at adalah jamaah masjid. Untuk mereka, redaksi yang dipimpin oleh Effendi Zarkasi -- mantan Direktur Penerangan Agama Departemen Agama -- akan menyajikan menu yang bervariasi. Ada berita yang bernapas Islam seperti "Khotbah" dan "Kabar Khusus" yang ditulis dalam huruf Arab Melayu, di samping berita utama "Warta Jama'ah" yang meneropong kehidupan unik di masjid. Di sisi lain tersaji berita populer semacam "Sosok" yaitu profil seorang tokoh dan "Amal Nyata" berupa panduan untuk merintis usaha, umpamanya beternak dan berkebun. Dalam nomor perdananya, Jum'at menulis cara beternak ikan Oskar. Bahkan ada pula rubrik "Info Pembangunan", yang isinya jauh dari kegiatan masjid Topik yang dipilih, "Gula dan Pemanis lain". Namun, liputan Jum'at yang utama adalah suara masjid. "Tabloid Jum'at-lah yang akan mentransfer suara itu dan menyebarluaskan dalam berita dan gambar," kata Effendi. Pilihannya adalah informasi agama dalam arti yang luas. "Yang jelas kami tidak menampilkan isu atau berita isapan jempol," ucapnya, serius. Di halaman pertama nomor perkenalan, Jum'at menulis tentang turunnya minat generasi muda untuk mempelajari Quran kendati pada saat yang sama jumlah tempat ibadah Islam bertambah. Menurut Effendi Zarkasi, gaya penyajiannya dibuat komunikatif agar mudah dikunyah oleh kalangan bawah. "Ini mengingat sebagian besar dari 500 ribu masjid di Indonesia terletak di pelosok desa," ujarnya. Namun, ditegaskan pula, "Tulisan itu juga dapat diikuti oleh kaum pembaca intelek." Tampaknya, "resep canggih" ini belum tampil betul dalam Jum'at. Ketika meliput sebuah temu wicara di Masjid Istiqlal, misalnya, tetap digunakan beberapa istilah "tinggi". Simaklah ini. "Akibat proses akulturasi pada setiap bangsa yang terbuka terhadap masuknya unsur asing, maka terjadilah tabrakan antara nilai lama dengan nilai baru ... tampak pula adanya erosi ..." Nah, apakah makna kalimat ini bisa tepat mencapai sasaran di pelosok-pelosok? Dari sisi harganya yang cuma Rp 200, sasaran itu bisa diperkirakan akan terjangkau. Harga itu jauh di bawah harga media Islam terdahulu, seperti majalah Amanah (Rp 2.000) dan Panji Masyarakat (Rp 1.800). Dan dari Rp 200 itu, setengahnya menjadi hak masjid yang mengedarkan tabloid itu. Bagaimana mungkin? Berapa dana yang dianggarkan untuk menerbitkan tabloid Jumat? "Pokoknya, tidak terlalu besar," kata Effendi, enggan menyebut persis jumlahnya. Untuk menopang dana, Jum'at akan dibantu oleh pemuatan iklan. "Yang jelas, kami tidak bisa memuat iklan barang haram seperti bir," katanya. Pengumuman SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) dan advertensi bergambar tak senonoh juga akan ditolak. Pada edisi perdana, yang dicetak 400 ribu, Jum'at terdiri dari delapan halaman dengan 50% halaman warna. Tapi pada nomor berikut, tebal Jum'at akan dua kali lipat dan akan dicetak 500 ribu lembar. Sementara, mingguan ini terbit berlandaskan STT yang dikeluarkan Departemen Penerangan 29 Maret lalu. Tim yang terdiri atas 25 wartawan mendukung kehadiran Jum'at. Kini, mereka berkantor di lantai bawah Masjid Istiqlal. Di ruang sekitar 6 kali 6 meter itu, tampak peralatan sederhana, di antaranya tiga buah mesin tik. Bunga S., dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini