Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Sawit Negeri Kobi

Spekulan menguasai ribuan hektare lahan ulayat di Kabupaten Maluku Tengah sejak belasan tahun lalu. Berselisih dengan masyarakat adat dan perusahaan sawit.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Lahan sawit yang berjejer dengan ketinggian tiga sampai empat meter di afdeling empat PT Nusaina Agro Kobi Manise, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, 26 Juni 2020./M. Jaya Barends
Perbesar
Lahan sawit yang berjejer dengan ketinggian tiga sampai empat meter di afdeling empat PT Nusaina Agro Kobi Manise, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, 26 Juni 2020./M. Jaya Barends

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Spekulan tanah diduga menguasai ribuan hektare lahan ulayat di Kabupaten Maluku Tengah.

  • Harga tanah ulayat dijual Rp 350 ribu per hektare.

  • Tergiur pembagian keuntungan perkebunan sawit.

POHON sawit setinggi dua meter berjejer membelah jalan perkebunan di Dusun Siliha, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Terletak di afdeling I, ratusan hektare kebun sawit di wilayah Kecamatan Seram Utara Timur Kobi itu mulanya milik marga Boiratan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lahan milik keluarga Boiratan bersisa 400 hektare. Keluarga Boiratan bekerja sama dengan Nusaina Group, perusahaan milik pengusaha Sihar Hamonangan Sitorus, menanam sawit di atas lahan itu. Ratusan hektare lain telah berpindah tangan kepada para “spekulan”. “Tanah-tanah itu dijual karena ada kebutuhan keluarga,” kata Ahmad Dani Boiratan, salah seorang anggota marga Boiratan, pada Jumat, 26 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, sejumlah anggota marga Boiratan diduga mengalihkan kepemilikan lahan sebanyak 469 hektare kepada pihak lain. Sebagian lahan itu berada di tanah ulayat Patuanan Negeri Kobi, masyarakat adat di sana. Di dokumen tertulis, beberapa anggota marga Boiratan menjual lahan kepada 19 pembeli.

Ahmad Dani Boiratan pernah bekerja di Nusaina Group. Ia membantu Nusaina mencari lahan di Kabupaten Seram Timur. Ia mempertemukan pemilik lahan dengan Nusaina agar bisa bermitra. “Saya motor penggeraknya,” ujar Dani. Para pembeli tanah masyarakat adat, kata dia, di antaranya aparatur negara hingga pengusaha.

Sihar Sitorus melebarkan bisnis perkebunan sawitnya ke Kabupaten Maluku Tengah sejak 2008. Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat itu mendirikan lima perusahaan yang tergabung dalam Nusaina Group untuk mengelola perkebunan sawit di Maluku Tengah.

Mereka memiliki izin perkebunan sawit seluas 25 ribu hektare. Izin itu mencakup lahan milik masyarakat adat yang kini bermasalah. “Ada lahan yang diduga dikuasai pihak tertentu dengan melanggar hukum,” ujar Sihar pada Sabtu, 27 Juni lalu.

Kepala Pemerintahan Patuanan Negeri Kobi, Mustafa Kiahaly./M. Jaya Barends

Dari penelusuran Tempo, para spekulan tanah diduga menguasai ribuan hektare lahan ulayat di Maluku Tengah. Padahal Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan tanah ulayat milik masyarakat adat tak boleh langsung dimiliki perorangan. Tanah ulayat bisa menjadi milik individu jika statusnya sudah berubah menjadi tanah negara. Aturan lain, seperti Undang-Undang Desa, menguatkan larangan kepemilikan oleh individu.

Masyarakat adat di Maluku Tengah masih eksis hingga kini. Salah satunya Patuanan Negeri Kobi. Itu sebabnya Nusaina Group menjalin kemitraan dengan masyarakat adat dalam bertanam sawit. Namun kedatangan Nusaina ke Maluku juga diduga dimanfaatkan sejumlah spekulan untuk menangguk keuntungan. Mereka membeli tanah ulayat dengan harga murah, lalu menjalin kemitraan dengan Nusaina.

Ahmad Dani Boiratan bercerita, ia sering mempertemukan para pemilik tanah dengan para pembeli. Salah satunya Wiryananda Mulasimadhi alias Wiseng. Wiseng terkenal sebagai salah satu pemilik tanah terluas di Maluku Tengah. “Selain kepada Wiseng, saya menawarkan tanah-tanah itu kepada pengusaha lain,” kata Dani.

Ulah para pencaplok tanah itu yang diduga kerap memancing konflik di Maluku Tengah hari-hari ini. Mereka meributkan pembagian hasil perkebunan dengan Nusaina Group. Keberadaan mereka juga mengaburkan status kebun. “Awalnya gara-gara oknum dari marga menjual tanah ulayat untuk kepentingan pribadi,” ucap Kepala Pemerintah Patuanan Negeri Kobi, Mustafa Kiahaly.

• • •



SEMAK belukar menghampar di afdeling III di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi. Hanya ada tiga pohon yang berdiri di lahan yang jembar itu. Wiryananda Mulasimadhi alias Wiseng adalah pemiliknya. “Saya membeli lahan ini sejak 2008 dari warga setempat,” kata Wiseng kepada Tempo, Jumat, 26 Juni lalu.

Wiseng, 62 tahun, bersama keluarganya diduga menguasai 4.100 hektare tanah di Maluku Tengah. Lahan itu terhampar dari Kecamatan Seram Utara Timur Kobi hingga Kecamatan Seram Utara Timur Seti. Seluruh lahan itu berada di area izin perkebunan Nusaina Group. Namun baru sekitar 1.600 hektare yang ditanami sawit.

Pengusaha asal Makassar itu bermukim sejak dulu di Seram Utara Timur Kobi. Ia memiliki toko alat pancing dan berbagai bahan kebutuhan pokok di sana. Ia mencari para pemilik tanah sejak Sihar Sitorus mengumumkan rencana pembukaan perkebunan sawit. “Informasinya saat itu, kita ongkang-ongkang kaki saja bisa dapat duit dari tanah kebun sawit,” ucapnya.

Ia membeli tanah-tanah tersebut dari anggota marga sekitar. Wiseng menyebutkan alasan warga di Timur Kobi menjual tanah untuk menyekolahkan anak. Pada 2008, satu hektare tanah dihargai Rp 350 ribu. Harga jual tanah melonjak sepuluh kali lipat pada 2013.

Meski lebih mahal, ia tetap membeli tanah-tanah itu. “Saya urus semua surat, dari akta pembelian sampai surat keterangan, sesuai dengan permintaan Nusaina agar tanah itu bisa dimitrakan,” katanya.

Nusaina menggunakan sistem kemitraan untuk menjalankan bisnis kebun sawit di Maluku Tengah. Mereka akan mengelola tanah itu, lalu membagi hasil perkebunan dengan pembagian 70 : 30. Pemilik tanah akan menerima 30 persen dari total hasil kebun.

Sihar Sitorus masih menahan uang bagi hasil untuk pemilik lahan yang bermasalah. Nusaina menemukan data 4.130 hektare tanah milik masyarakat adat diduga dikuasai Wiseng dan keluarganya. “Selama ini, sebagian sudah ada yang ditanami sawit,” ujarnya.

Ia menyurati Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk menengahi “sengketa” ini. Sihar enggan membayar bagi hasil kepada Wiseng dan keluarganya. “Kami ingin menyejahterakan masyarakat hukum adat, bukan orang-orang yang melanggar hukum,” ucapnya.

• • •


KEPALA Pemerintahan Patuanan Negeri Kobi, Mustafa Kiahaly, bersama rombongan mendatangi Kepolisian Resor Maluku Tengah pada Jumat, 20 Desember 2019. Mereka mengadukan sekaligus melaporkan para spekulan yang diduga merebut tanah ulayat Patuanan Negeri Kobi.

Namun surat berisi empat halaman itu tak menunjuk hidung pencaplok tanah adat mereka. “Kami hanya ingin tanah ulayat dikembalikan kepada Negeri Kobi,” kata Mustafa, Jumat, 26 Juni lalu.

Mustafa tak menyebut jumlah lahan Negeri Kobi yang sudah berpindah tangan. Proses pemindahan lahan itu berlangsung pada 2008-2013 saat Patuanan Negeri Kobi dikepalai Sedek Kiahaly. Ia meninggal pada 2014. “Pendahulu saya yang menandatangani dan sayangnya tidak mengarsip surat jual-beli itu,” ujarnya.

Wiryananda Mulasimadhi alias Wiseng menunjukkan salah satu surat pembelian empat hektare tanah milik Negeri Kobi. Transaksi itu berlangsung pada 16 Maret 2009. Surat itu menuliskan Wiseng membeli tanah adat dari seorang anggota marga Kobi. Kepala Patuanan Negeri Kobi kala itu, Sedek Kiahaly, menandatangani kuitansi dan surat pengalihan tanah. “Saya tidak pernah memaksa mereka menjual lahan,” kata Wiseng.

Selain memberikan uang, para pembeli membarter tanah adat di Maluku Tengah dengan barang. Halimudin, misalnya, menebus 173 hektare tanah milik seorang anggota masyarakat adat dengan satu unit mobil Toyota Avanza. Ia mengklaim Sedek Kiahaly ikut menandatangani surat pembelian tanah. “Beta mau beli tanah karena hanya untuk sawit. Kalau tidak ada, untuk apa?” ucapnya.

MUSTAFA SILALAHI, MUHAMMAD JAYA BARENDS (MALUKU TENGAH)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus