Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peraturan Gubernur Jakarta yang Mengatur Poligami Berbau Diskriminasi

Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 dianggap bermuatan diskriminasi karena memposisikan perempuan tak setara dengan pria. 

23 Januari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi poligami. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 mengatur perkawinan dan perceraian ASN.

  • Tidak ada substansi baru dalam pergub yang diterbitkan pada Januari 2025 itu.

  • Aturan baru ini dinilai bermuatan diskriminasi terhadap perempuan.

SELAMAT tahun baru 2025 untuk Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, aku Sekar. Aku mau bertanya tentang Peraturan Gubernur Jakarta yang membolehkan aparatur sipil negara berpoligami. Benarkah pemerintah Jakarta mengeluarkan aturan tersebut? Bukankah aturan itu akan merugikan kaum perempuan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Mohon penjelasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekar
Jakarta

Jawab:
Halo, Sekar. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Pada bulan pertama 2025, pemerintah Jakarta memang menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian lzin Perkawinan dan Perceraian. Secara umum, pergub ini mengatur mekanisme izin bagi ASN yang ingin memiliki istri lebih dari satu. Tentu kita kaget terhadap aturan baru yang bermuatan diskriminasi terhadap perempuan itu.

Apa yang mendasari terbitnya Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025?

Pada 2024, tercatat 116 kasus perceraian ASN di lingkup Pemerintah Provinsi Jakarta. Namun banyak juga perceraian dan perkawinan yang tidak dilaporkan atau tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berdampak tidak terpenuhinya hak keluarga. Fenomena ini yang kemudian dijadikan salah satu dasar untuk menerbitkan Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025.

Pergub itu diberlakukan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan tertib administrasi pelaporan perkawinan, pemberian izin beristri lebih dari seorang, serta pemberian izin atau keterangan perceraian di lingkungan pemerintah Jakarta. 

Lalu apa yang dimaksud dengan tertib administrasi dalam pemerintahan? 

Tertib administrasi merupakan proses pengelolaan administrasi secara terstruktur, disiplin, dan efisien untuk mencapai tujuan pemerintahan. Contohnya, ASN menikah secara siri untuk menghindari prosedur pemberian izin beristri lebih dari satu atau bercerai tanpa memenuhi kewajiban menafkahi anak dan mantan istri.

Pemerintah Jakarta, diperkuat oleh Kementerian Dalam Negeri, menjelaskan bahwa Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 bertujuan “mengatur”, bukan “membebaskan” ASN untuk beristri lebih dari seorang (poligami). Caranya dengan memperketat persyaratan demi menjamin hak atas penghasilan bagi keluarga. 

Apa saja persyaratan yang diatur dalam Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 sehingga terbangun dua persepsi berbeda, yaitu “mengatur” dan “membebaskan” poligami?

Sebelum terbit Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025, perkawinan dan perceraian di lingkungan pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. PP tersebut hanya mensyaratkan alasan yang mendasari perkawinan (poligami), yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan untuk menjadi pertimbangan pejabat yang akan memberikan izin. 

Adapun persyaratan perkawinan dan perceraian yang diatur dalam Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 sebagai berikut: 

a. alasan yang mendasari perkawinan: 
- istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
- istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;  
- istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan;
b. mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis;
c. mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan para anak;
d. sanggup berlaku adil terhadap para istri dan para anak;
e. tidak mengganggu tugas kedinasan; dan
f. memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.

Jika membandingkan dua aturan di atas, tentu Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 lebih mampu merespons dinamika masyarakat saat ini dengan memperketat persyaratan administratif selain alasan yang mendasari perkawinan. Namun, jika dilihat dari substansi persyaratan, khususnya alasan yang mendasari perkawinan, tampaknya tidak ada perubahan signifikan dibanding 50 tahun lalu.
 
Substansi persyaratan poligami dalam Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meski begitu, UU Perkawinan menyatakan Indonesia menganut asas perkawinan monogami. 

Jadi, lebih dari 50 tahun lalu, perempuan yang berstatus sebagai istri adalah pihak paling terkena dampak aturan ini. Itu terjadi apabila seorang istri tidak dapat menjalankan kewajiban, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Lalu kenapa sekarang kembali ramai diperbincangkan masyarakat di berbagai media sosial?

Masyarakat saat ini lebih kritis untuk memahami perkawinan dan gap gender dalam rumah tangga. Karena itu, Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 ini tidak dilihat sebatas upaya untuk mengatur, tapi juga melihat adanya diskriminasi gender. Persyaratan yang mendasari perkawinan dinilai subyektif dan patriarki. 

Misalnya, syarat jika istri tidak bisa memberikan keturunan menunjukkan bagaimana perempuan diposisikan tak setara karena ditempatkan dalam kapasitas reproduksi. Begitu juga dengan syarat yang menyebut istri penyandang cacat badan. Alasan cacat badan ini merupakan sikap diskriminatif berbasis abilitas terhadap perempuan dengan disabilitas.

Selain itu, praktik poligami bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Perjanjian HAM internasional menegaskan, poligami merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena menciptakan ketidaksetaraan dalam relasi perkawinan. 

Komite HAM Persatuan Bangsa-Bangsa yang bertugas mengawasi pelaksanaan ICCPR menegaskan bahwa poligami harus dihapuskan karena praktik tersebut merendahkan martabat perempuan dan melanggar prinsip kesetaraan dalam perkawinan. Dalam banyak kasus, perempuan kerap kesulitan mengajukan perceraian. Fakta ini membuat perempuan makin terjebak dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tangga yang berkepanjangan. 

Pasal 3 ICCPR memerintahkan negara yang meratifikasi konvensi tersebut memastikan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara serta Pasal 5(a) CEDAW juga memerintahkan negara menghapus segala bentuk praktik yang menunjukkan inferioritas dan/atau superioritas antara laki-laki dan perempuan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengutamakan kebijakan yang mendorong kesetaraan gender dan perlindungan HAM di lingkungan ASN. 

Pengawasan Implementasi Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025

Pemberian atau penolakan terhadap ASN yang memohon izin beristri lebih dari satu sangat bergantung pada atasan langsung dari pemohon. Ketika permohonan itu diajukan, atasan—bersama tim pertimbangan—akan menilai alasan dan syarat yang mendasari permohonan ASN tersebut. Begitu juga untuk permohonan izin perceraian atau keterangan perceraian. Hasil penilaian itu kemudian dilaporkan dalam bentuk rekomendasi kepada pejabat yang berwenang.

Agar ketentuan itu bisa dijalankan sesuai dengan aturan, sangat penting adanya pengawasan terhadap tiap permohonan yang diajukan ASN. Paling tidak pengawasan ini untuk memastikan pertimbangan atas permohonan itu benar-benar berpihak kepada perempuan. Dengan demikian, penerapan aturan tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu “mengatur”, bukan “membebaskan” atau “mempermudah”. 

Penerapan Undang-Undang perkawinan, khususnya pada pasal yang mengatur perkawinan usia anak, barangkali bisa dijadikan contoh. Tujuan utama diberlakukannya aturan itu adalah mencegah dan mengendalikan perkawinan anak. Alih-alih menegakkan aturan itu, pihak berwenang justru mengabulkan permohonan dispensasi sehingga perkawinan anak tetap berlanjut. Dikhawatirkan hal serupa terjadi juga dalam penerapan Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025. 

Jika Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 bersifat diskriminatif, apakah dapat dibatalkan?

Dalam Pasal 128 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, pembatalan pergub dapat dilakukan berdasarkan: 
a. usulan dari setiap orang, kelompok orang, pemerintah daerah dan/atau instansi lain dan
b. temuan dari tim pengkajian peraturan gubernur. 

Usulan pembatalan nanti ditindaklanjuti oleh tim pengkajian sesuai dengan tolok ukur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Masyarakat dapat mengajukan usulan pembatalan ini sebagai bagian dari upaya kesetaraan gender dalam relasi perkawinan. 


Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

 

Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Hukum dan Kriminal. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus