Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga alat berat hilir-mudik meratakan tanah di samping sandaran kapal sepanjang sekitar 400 meter di Teluk Sabang, Pulau Weh, Aceh. Dua pekan lalu, saat Tempo mendatangi kawaÂsan itu, kesibukan terlihat di sana. Belasan pekerja, dengan tubuh hitam dipanggang matahari, menurunkan tanah dari truk untuk menguruk sebagian bibir pantai. Kawasan ini masuk "wilayah" dermaga bongkar CT3 milik Badan Pengusahaan KawaÂsan Sabang (BPKS), lembaga yang berada di bawah Dewan Kawasan Sabang. Dewan Kawasan diketuai Gubernur Aceh.
Menjorok ke arah utara, sandaran kapal itu terlihat masih baru. Rantai-rantai besi pengikatnya masih mulus, belum terlihat berkarat. Warga Pulau Weh acap memanfaatkan dermaga yang belum kelar itu untuk memancing atau "berwisata" memandang mentari yang perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat.
Kendati tempat sandaran kapal sudah siap, hingga hari ini dermaga anyar itu belum juga beroperasi. Pihak BPKS menyebutkan masih banyak fasilitas yang belum rampung. "Pelataran untuk peti kemas dan sarana gedung serta fasilitas lain masih dalam proses," ujar Kepala Hubungan Masyarakat BPKS Bahtiar Arahas.
Jika kelak beroperasi—dan sesuai dengan rencana—dermaga ini akan menjadi dermaga penting di Indonesia. BPKS memang menyiapkan Dermaga CT3—demikian namanya—menjadi pelabuhan internasional. BPKS berambisi mengembalikan kejayaan Kota Sabang sebagai pusat perdagangan internasional. Dua abad silam pemerintah Belanda membikin Sabang menjadi pelabuhan teramai di Asia Tenggara. Kapal yang melalui Selat Malaka diharapkan nanti berlabuh di sini, tidak di Singapura.
Selain membangun CT3, BPKS berencana mendirikan dermaga CT2 dan merenovasi dermaga CT1, yang sudah lama dioperasikan oleh PT Pelindo. Pelabuhan internasional ini dirancang total memiliki dermaga sepanjang 2,6 kilometer. Jika jadi, dermaga tersebut bisa digunakan bersandar kapal kontainer dengan bobot hingga 12 ribu TEU (twenty-foot equivalent unit). Dengan ukuran sepanjang itu, kapasitas pelabuhan Sabang ini bakal mengalahkan pelabuhan Singapura.
Jelas dibutuhkan dana tak sedikit untuk itu semua. Proyek yang dimulai sejak 2006 ini memerlukan anggaran Rp 8,8 triliun. Kepala BPKS saat itu, Teuku Syaiful Achmad, menyatakan, dari jumlah tersebut, Dublin Port Irlandia membiayai Rp 5,5 triliun. Untuk pembangunan dermaga CT3 saja dianggarkan Rp 1,057 triliun, yang diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Saat itu diketuk: proyek akan rampung pada 2012.
Namun, belum lagi pelabuhan beroperasi, sejumlah kebusukan tercium. Bisik-bisik adanya korupsi di balik proyek itu semakin keras, yang akhirnya membuat Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan. Hasilnya, tiga pekan lalu KPK menetapkan dua tersangka diduga menggangsir duit pembangunan dermaga CT3. Mereka adalah Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, Heru Sulaksono, serta pejabat pembuat komitmen dari BPKS, Ramadhani Ismy. Keduanya dicekal bersama Teuku Syaiful Achmad dan Direktur PT Tuah Sejati Muhammad Taufik. Nindya Karya dan Tuah Sejati merupakan perusahaan yang menggarap dermaga CT3. "Dugaan korupsi pembangunan proyek ini berupa penggelembungan anggaran," ujar juru bicara KPK, Johan Budi. Jumlah kerugian negara diperkirakan Rp 294 miliar.
Mantan Kepala Sub-Bagian Keuangan BPKS perwakilan Jakarta, Taufik Amiruddin, menyatakan lega akhirnya KPK membongkar kasus ini. Menurut pria 58 tahun ini, dia dan beberapa rekannya pernah melaporkan kecurangan proyek tersebut ke KPK pada 2008. Sejak awal, kata dia, proyek ini bermasalah karena Syaiful melakukan penunjukan langsung terhadap konsorsium Nindya Karya-Tuah Sejati. Pemilik Tuah Sejati, Zainuddin Hamid, menurut dia, merupakan teman dekat Syaiful Achmad. "Muhammad Taufik yang dicekal KPK itu adalah anak Let Bugeh," ujarnya kepada Tempo. Let Bugeh adalah panggilan untuk Zainuddin Hamid.
Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Aceh membenarkan cerita Taufik Amiruddin. Alfian, koordinator lembaga masyarakat yang giat mengawasi penggunaan anggaran pembangunan ini, mengaku memiliki bukti tentang penunjukan langsung tersebut. Misalnya surat bernomor 01.1/PKPBS-K/III/2008 tertanggal 3 Maret 2008 yang ditandatangani Ramadhani Ismy. Surat yang ditujukan ke Syaiful Achmad itu berisi "telaah metode pelelangan penunjukan langsung untuk pekerjaan pembangunan lanjutan dermaga bongkar CT3". Syaiful kemudian mengizinkan penunjukan langsung kepada Nindya-Sejati lewat surat bernomor 550/BPKS-KPA/10 pada 5 Maret 2008.
Syaiful, menurut Taufik, juga pernah menerima uang dari seorang petinggi Nindya Karya pada Desember 2009. Pemberian tersebut, kata dia, diserahkan di Jakarta. Menurut Taufik, kala itu Syaiful diminta seorang petinggi Nindya mengambil uang di kantor pusat Nindya di Jalan M.T. Haryono.
Anggota DPR RI periode 1999-2004 dari Partai Amanat Nasional itu lantas memerintahkan sopirnya, Antoni, dan seorang pegawai BPKS perwakilan Jakarta mengambil uang tersebut. Syaiful memerintahkan duit yang dalam pecahan dolar Amerika ditaruh di bawah jok belakang dan pecahan rupiah di bawah jok depan. "Saat Syaiful menelepon untuk memerintahkan sopirnya itu, saya ada di sampingnya, di Phoenam Café, Jalan Wahid Hasyim," kata Taufik.
Direktur Utama PT Nindya Karya I Gusti Ngurah Putra tak mau berkomentar banyak. Pesan pendek Tempo untuk meminta konfirmasi keterlibatan Nindya hanya dibalas singkat. "Mengenai proyek itu sebenarnya saya tidak begitu tahu karena proyek itu selesai pada 2010, sementara saya baru bertugas pada Juli 2011," tulis I Gusti Ngurah. Sedangkan Zainuddin Hamid tak dapat dimintai konfirmasi. Tiga nomor telepon selulernya tak aktif. Pesan pendek yang dikirim Tempo tak berbalas.
Soal penggelembungan anggaran, Taufik Amiruddin mengaku memiliki sejumlah data. Misalnya soal pembebasan lahan yang setengah dari anggaran sebesar Rp 478,6 miliar yang diduga masuk kantong Syaiful dan kroninya. Menurut dia, saat itu Syaiful menggunakan jasa makelar yang merupakan ipar dan pamannya. "Mereka membeli tanah Rp 20-40 ribu per meter dari masyarakat, lalu dijual ke BPKS Rp 40-80 ribu," katanya.
Bukan hanya itu, menurut Taufik, beberapa lahan bahkan lokasinya tak berada dalam rencana pembangunan dermaga tersebut. Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Aceh, Maman Abdurrachman, tak menampik data Taufik. BPK mengeluarkan predikat "tidak menyatakan pendapat" terhadap laporan keuangan BPKS tahun 2012. "Salah satu masalahnya adalah aset tanah BPKS tidak bisa diyakini," ujar Maman.
Menurut Taufik Amiruddin, penggelembungan anggaran juga terjadi pada pembelian bahan bangunan. Harga besi proyek ini dianggarkan Rp 20 juta per ton. Sedangkan, berdasarkan pengecekan pada proyek sejenis, harganya Rp 11-15 juta per ton. "Itu baru satu barang. Kalau KPK bilang kerugiannya Rp 294 miliar, saya bilang bisa mencapai setengah dari nilai proyek," kata pria yang mengundurkan diri dari BPKS pada 2010 ini.
Syaiful belum bisa dimintai konfirmasi. Kepada Tempo, salah seorang kerabatnya yang enggan disebutkan namanya mengatakan Syaiful sedang sakit keras dan tak bisa diwawancarai. "Beliau sakit permanen. Menyebut nama sendiri saja harus dibantu, bagaimana lagi kalau wawancara?" katanya. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar pun membenarkan kondisi Syaiful. Mantan Pelaksana Tugas Gubernur Aceh yang mengangkat Syaiful dulu itu mengaku pernah menjenguk teman dekatnya tersebut. "Pak Syaiful sedang sakit stroke," ujarnya.
Seorang penyelidik di KPK menerangkan kasus korupsi dermaga Sabang ini masih panjang. Komisi tengah menelisik keterlibatan pihak-pihak lain di luar yang sudah ditetapkan jadi tersangka. Pekan lalu sejumlah penyelidik KPK terbang ke Medan dan Sabang. Di Medan mereka memeriksa kantor cabang PT Nindya, di Sabang menelisik sejumlah dokumen di kantor BPSK.
Taufik Amiruddin meminta KPK menyelidiki kasus ini "ke atas dan ke samping". Menurut dia, proyek pembangunan dermaga Sabang menjadi bancakan para politikus Aceh. Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pun, kata dia, punya andil kesalahan dalam proyek ini. Dalam sebuah rapat di Hotel Borobudur Jakarta pada 2010, menurut Taufik, Irwandi meminta pengganti Syaiful Achmad, Nazaruddin Daud, meneruskan metode penunjukan langsung yang dilakukan pendahulunya. Saat itu Nazaruddin memilih proyek ditenderkan. "Karena tekanan yang demikian kuat, Pak Nazaruddin menyerah. Akhirnya posisinya diisi Irfan Abdul Gani," ujarnya.
Tempo meminta konfirmasi hal ini kepada Irwandi. Lewat ponselnya, Irwandi memberi jawaban. "Saya tidak tahu kasus itu," katanya.
Febriyan (Jakarta), Adi Warsidi (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo