Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang Seorang Ayah yang Ditembak Mati Belanda

9 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belanda akan meminta maaf untuk para korban standrechtelijke executies (eksekusi tanpa proses peradilan) selama perang kolonial di Indonesia — Berita pers, 3 September 2013.

Saya bukan termasuk orang yang bergembira bila pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia—karena, bagi saya, orang yang menentukan kebijakan Belanda kini, juga para warga negeri itu sekarang, tidak ikut bersalah. Saya tidak percaya kita bisa menghukum orang lain hanya karena kebetulan mereka sebangsa atau sekeluarga dengan para penjahat. Tapi saya juga tidak akan menampik permintaan maaf resmi itu.

Ada sebuah pertanyaan yang beberapa kali dikemukakan kepada saya dan adik saya, Goenawan Mohamad, dari orang-orang Belanda: "Do you hate the Dutch?" Ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada ayah kami.

Ayah memang ditembak mati tentara pendudukan Belanda pada 1947, setelah beberapa hari lamanya disekap. Mengapa Ayah dihukum tembak, saya, apalagi adik saya, tidak tahu. Umur saya waktu itu 8 tahun. Ibu menduga ini ada hubungannya dengan sejarah Ayah. Dia dan Ibu pernah dibuang ke Digul pada 1927—dengan membawa serta tiga mbakyu saya. Di Digul pula seorang kakak saya lahir.

Sepulang dari Digul pada 1931 atau 1932 dan tinggal di Batang, Jawa Tengah, Ayah masih aktif dalam pergerakan, khususnya melalui tulisan-tulisannya di sebuah surat kabar di Semarang. Tapi pada 1947 itu, setahu saya, Ayah tidak bergabung dengan pasukan bersenjata.

Keluarga kami memang cemas melihat tentara Belanda menduduki kota kami. Malam harinya Ayah mengungsi. Sementara itu, hanya beberapa jam setelah tentara pendudukan masuk, rumah kakak sulung kami, yang digunakan sebagai pos militer Belanda, mendapat serangan: seorang anggota Angkatan Laut Republik Indonesia menyusup ke dekat rumah itu dan melemparkan granat. Beberapa tentara Belanda tewas. Pejuang itu juga akhirnya tertembak. Gugur.

Ketika Ayah kembali ke rumah, tak lama kemudian tentara Belanda datang menangkapnya. Beberapa hari ia disekap. Saya ingat pada suatu hari ia diangkut dalam truk kembali ke rumah dengan tangan diikat. Pasukan pendudukan rupanya hendak kembali menggeledah rumah kami. Kami menyingkir ke rumah tetangga. Tapi saya melihat buku-buku Ayah, yang bergambar Karl Marx dan Lenin di sampul, disita.

Kami kemudian mendapat informasi bahwa Ayah sudah dieksekusi. Ibu mengutus kakak ipar kami yang sulung untuk mengambil jenazahnya. Dengan delman, jenazah yang bersimbah darah itu diangkut ke rumah.

Peristiwa itu merupakan trauma besar bagi keluarga kami. Kakak ipar kami tampak syok berat. Kami menangis, antara sedih dan ketakutan. Hanya Ibu yang tenang—juga ketika ia memangku kepala Ayah yang berlubang kena tiga peluru itu di pangkuannya.

Apakah ayah kami dieksekusi karena pandangan politiknya, dan sudah masuk daftar orang yang dicari hingga ditangkap dengan cepat, saya tidak tahu. Tapi apakah karena itu kami membenci Belanda? Tidak. Mungkin karena peristiwa itu terjadi ketika kami masih kecil. Yang saya ingat, ketika itu hanyalah rasa takut saat melihat tentara Belanda lewat.

Peristiwa penangkapan pada pagi hari bulan puasa tahun 1947 itu memang terasa mencekam. Saya ingat, ketika terbangun, saya melihat seorang tentara Belanda berdiri di samping tempat saya tidur sambil menodongkan senapan.

Mengapa tidak ada rasa benci itu, mungkin karena Ayah dan Ibu menganggap kejadian itu merupakan risiko perjuangan yang tentu sudah disadarinya. Ayah tampak tegak ketika ia digiring ke truk pagi itu. Mungkin juga pendidikan Ayah dan Ibu kepada kami tentang Belanda dan Jepang tidak menekankan kebencian. Bahkan, ketika bercerita tentang pembuangannya di Digul, Ibu lebih melihat pengalaman itu dari aspek "fun"-nya.

Ibu bercerita, misalnya, tentang tanah Digul yang subur sehingga semangka dan mentimun yang ditanam menghasilkan buah yang besar-besar. Juga tentang pergaulan mereka dengan penduduk asli Papua. Ada pula tentang cara boikot kecil-kecilan, dengan membuang sebanyak-banyaknya obat yang disediakan pemerintah kolonial untuk tahanan politik. Ibu juga berkisah tentang rencana ayah kami akan melarikan diri ke Australia tapi tidak jadi karena diberi tahu oleh orang Papua (orang "Kaya-Kaya", itu yang saya ingat) bahwa Ayah dan kawan-kawan akan dicegat dan dibunuh. Pendeknya, tidak pernah terdengar cerita yang mengesankan rasa benci kepada Belanda yang telah membuang mereka.

Ayah sendiri lebih banyak bercerita tentang kemiskinan akibat penjajahan, termasuk kelakuan buruk dari para pejabat Indonesia. Mungkin sebab itu Ayah pernah mengatakan bahwa kalau kami besar jangan ingin jadi ambtenaar (pegawai negeri). Tidak mengherankan bila salah seorang anggota keluarga Ayah, seorang ambtenaar kolonial, tidak menyukai politik Ayah—dan menolak membantu membiayai sekolah kakak-kakak perempuan kami.

Ayah bercerita tentang penjajahan Belanda bukan secara khusus. Ia melakukannya ketika saya disuruh mencabuti ubannya. Saya baru duduk di kelas I sekolah dasar waktu itu, tapi Ayah sudah mengajari saya membaca dan menulis ketika saya belum masuk taman kanak-kanak. Maka, ketika sudah masuk SD, saya sering disuruh membacakan surat kabar di sebelah dia duduk. Di situlah agaknya Ayah "mengajarkan politik" kepada saya, termasuk mengajari saya menyanyi lagu Internasionale.

Secara reguler Ayah juga mengajari saya bahasa Inggris dan memperkenalkan kami dengan buku. Ada buku Karl May yang tak bisa kami baca karena berbahasa Belanda. Ada buku sejarah Inggris, dengan gambar berwarna seorang Skotlandia yang mengacungkan tinju ke arah pasukan Inggris yang membantai penduduk kotanya.

Membenci penindasan seperti itu memang sedikit-banyak tertanam dalam diri kami. Tapi membenci penindasan berbeda dengan membenci satu bangsa. Keluarga kami bahkan tidak menganggap ada yang perlu didramatisasi tentang pengalaman kami. Sejarawan Rudolf Mrazek, dalam mengumpulkan bahan tentang kaum "Digulis"—dan sempat mewawancarai (almarhumah) kakak perempuan saya yang ikut Ayah-Ibu ke tempat pembuangan itu—merasa aneh bahwa dalam keluarga kami pengalaman sejarah itu tidak sering dibicarakan. Keluarga kami bahkan menolak ketika ada rencana memindahkan jenazah Ayah ke makam pahlawan. Mungkin ini juga semacam keangkuhan: kami tidak mau Ayah dicampur dengan "pahlawan" yang tidak jelas perjuangannya.

Meskipun saya pribadi tertarik untuk tahu lebih banyak riwayat Ayah (saya pernah menemui panitera yang mencatat proses peradilan sebelum Ayah dibuang ke Digul), baru kali ini saya bersedia menulis tentang almarhum. Tentu saja karena terkait dengan permintaan maaf pemerintah Belanda pada September ini—yang menyebabkan beberapa hari yang lalu seorang wartawan Belanda datang menemui saya dan adik saya.

*) Dokter, pernah menjabat Ketua Ikatan Dokter Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus