Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JJ Rizal*
Kota-kota mendapatkan identitas di antaranya melalui simbol. Dari sudut koronomastik alias ilmu arti nama dinyatakan bahwa nama jalan—selain patung dan monumen—adalah pembawa simbol yang kuat bagi suatu kota. Betapa penting nama jalan di Jakarta dapat dilihat dari tindakan pertama yang segera dilakukan setelah Sukarno-Hatta membacakan proklamasi. Mereka mengubah nama-nama jalan.
Sukarno adalah tokoh yang artikulasinya kuat dalam menanamkan pemahaman bahwa semangat revolusi juga memerangi ingatan kolektif kolonial yang disimbolkan via nama-nama jalan yang berbau Belanda. Saking antusiasnya mengubah nama-nama jalan berbau Belanda sampai tahap tertentu kenangan kolektif baru Jakarta pasca-kemerdekaan dapat dianggap refleksi kebalikan dari kenangan kolonial. Van Heutzboulevard diganti dengan nama lawan utamanya, Teuku Umar. Sementara itu, nama Koningsplein (Lapangan Raja Belanda) diganti menjadi Lapangan Merdeka. Nama-nama jalan di sekeliling lapangan itu pun diberi nama Jalan Merdeka.
Selang lebih dari setengah abad kemudian, muncul niat mengganti nama Jalan Merdeka dengan nama Sukarno, Mohammad Hatta, Ali Sadikin, dan Soeharto. Menurut pemberitaan, Panitia 17 sebagai pengusul menyampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Nama-nama itu diklaim telah disetujui Jokowi. Meminjam pertanyaan A. Raulin dalam bukunya yang sohor, Time and Urban Space, "Jenis kenangan kolektif, historis, dan proyektif apakah yang terkandung dari penamaan itu?"
Ada yang bilang tiap generasi memiliki semangat dan tantangan zamannya masing-masing. Pasca-kemerdekaan, Sukarno-Hatta harus menghadapi ancaman kembalinya Belanda. Sukarno yang punya visi sejarah kuat menjadikan nama-nama jalan sebagai simbol menumbuhkan kenangan kolektif, historis, dan proyektif tentang apa yang disebutnya dalam pidato pendek sebelum membaca teks proklamasi bahwa "beratus-ratus tahun gelombang aksi perjuangan kita mencapai kemerdekaan".
Ia mengubah nama Jalan J.P. Coen menjadi Jalan Sultan Agung untuk mengingatkan paling tidak sudah sejak 1628 aksi perlawanan terhadap kolonialisme ada. Sultan Agung memang gagal, tapi bukan berarti perlawanan hebat terhadap Belanda surut. Sukarno ingin mengingatkan ihwal perlawanan yang sama ketika mengganti Oranjeboulevard menjadi Jalan Diponegoro, tokoh yang sohor di arsip Belanda sebagai rustverstoorder atau pengacau besar kedamaian. Bahkan perlawanan yang terus berlangsung hingga 1940-an diabadikan Sukarno dengan mengganti nama Princess Julianalaan menjadi Jalan Slamet Riyadi.
Dengarlah proyeksi Sukarno ketika ia mengungkapkan maksud dan tujuan memberi nama Lapangan dan Jalan Merdeka dalam pidatonya pada Agustus 1946. "Meskipun keadaan gelap masih mengelilingi kita, saya ingin pada batin kita tampak cahaya yang terang menyala Api Kemerdekaan, api kebangsaan yang dengan kehendak bulat menjadi satu ketetapan, jadi satu tujuan," kata Sukarno. "Saya ingin dari Lapangan dan Jalan Merdeka ini seluruh bangsa kita, kaya, miskin, tua, muda, laki, perempuan, terpelajar atau buta huruf, serentak bangkit berjuang menjaga dan mencapai nilai Proklamasi kita 17-8-1945."
Mungkin dengan nama-nama itu Sukarno ingin membuat masyarakat terinspirasi, dan karena inspirasi itu mereka terpacu untuk bertindak. Cara itu sama ketika ia sering berbicara secara gampangan tentang 350 tahun penjajahan Belanda, walaupun sadar betul bahwa ketika ia lahir, Aceh, Bali Selatan, dan sebagian besar Sulawesi Selatan belum ditaklukkan. Sukarno dengan kata-kata demikian ingin membuat para pendengarnya merasa malu, dan karena rasa malunya itu mereka terpacu untuk bergerak.
Karena itu, ketika Jalan Merdeka bagian utara hendak diubah menjadi Jalan Sukarno, di selatan menjadi Jalan Mohammad Hatta, di timur menjadi Jalan Ali Sadikin, dan di barat menjadi Jalan Soeharto, yang terasa adalah gagal paham serta peremehan akan konsep kenangan kolektif, historis, dan proyektif tentang nilai kemerdekaan yang hendak diikatkan Sukarno pada jalan tempat para elite utama nasional bekerja. Bukankah Hatta juga mengingatkan betapa kebesaran suatu bangsa sangat bergantung pada keteladanan yang dicontohkan elitenya. Sampai di sini dapatlah dipahami bahwa Jalan Merdeka—meminjam ungkapan penyair nasionalis Sitor Situmorang—"lebih dari sekadar nostalgia, tetapi penanda ilham hati nurani pengingat tugas mulia menunaikan janji luhur Indonesia merdeka".
Jokowi dan Panitia 17 menyatakan usulan pergantian nama-nama jalan tersebut atas pertimbangan penghargaan kepada para pahlawan nasional serta untuk rekonsiliasi. Tentu saja jika ingin menghargai pahlawan seharusnya menghargai pemikiran yang diwariskan, dan Jalan Merdeka adalah salah satu heritage Sukarno. Dan jika memang niatnya adalah rekonsiliasi dalam arti mengembalikan sesuai dengan posisi historisnya, upaya pemberian nama jalan bagi Sukarno dan Hatta harus diikuti oleh suatu konsep pemahaman sejarah nasional yang obyektif. Maka kalau kota, pinjam istilah Peter J.M. Nas, adalah suatu "ekologi simbolis", seharusnyalah Jakarta dengan jalan-jalannya mengungkapkan sejarah masa lalu dan tokoh-tokoh historis dengan dasar timbangan sejarah yang jujur. Bukan ingatan yang dipaksakan demi suatu legitimasi kekuasaan, seperti yang sudah dilakukan Orde Baru ketika sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer. Alhasil, Jakarta tampil dengan wajah muka militer.
Adalah benar Jakarta yang sohor berjulukan "Kota Juang" terlihat dari nama-nama jalan utamanya yang diwarnai semangat nasional. Tapi itu bukan semangat nasional yang mengacu pada sejarah perjuangan nasional, melainkan representasi atau kreasi ingatan masa lampau bahwa militer sebagai penentu, causa prima Indonesia. Jalan-jalan utamanya yang menjadi simbol kenangan sejarah mengambil nama para tentara Pahlawan Revolusi yang peran historisnya tidak signifikan. Jalan-jalan utama mengambil nama Pahlawan Revolusi itu dinyatakan sebagai penghormatan, tapi sebenarnya untuk meneror, membiadabkan, dan mendehumanisasi "musuh" rezim Orde Baru di ruang kota.
Padahal mereka itu, menurut sejarawan Katharine E. McGregor, hanya "versi yang dibesar-besarkan" Orde Baru Soeharto untuk mempertahankan legitimasinya mendongkel Sukarno. Sementara itu, tokoh-tokoh nasional yang peran sejarahnya jauh lebih penting tidak ada namanya di jalan-jalan. Kalaupun ada, tidak menempati jalan yang penting. Ada hierarki jalan-jalan di Jakarta. Apakah neraca sejarah peran Douwes Dekker lebih kecil daripada Pierre Tendean? Peran Ki Hadjar Dewantara lebih sedikit ketimbang D.I. Panjaitan? Peran Tan Malaka tidak signifikan dibanding M.T. Haryono? Peran Sjahrir kurang kuat daripada Sutoyo? Dan mengapa jalan lingkar atau jalan raya yang besar harus dicadangkan untuk S. Parman dan A. Yani, tidak untuk Sukarno dan Hatta? Atau pantaskah Jalan Sukarno dan Jalan Hatta, sebagai ikon negarawan, disandingkan sederet dengan Jalan Soeharto, ikon penguasa fasis militeris korup dan penuh kejahatan hak asasi manusia?
Karena itu, persoalan pemberian nama Jalan Sukarno dan Jalan Hatta seharusnya tidak diarahkan kepada Jalan Merdeka, yang sudah menjadi simbol semangat nasional, meskipun sudah dilupakan kenangan kolektifnya dan historisnya sebagai warisan pemikiran Sukarno untuk menginspirasi elite-elite yang berkantor di lingkungannya. Tapi seharusnya diarahkan pada jalan-jalan utama lain untuk mengganti representasi-representasi militer yang hegemonis, kreasi ingatan yang dipaksakan dan sesungguhnya tidak inspiratif, seperti jalan dengan nama para pahlawan revolusi tersebut. Sebab, sebagai rezim otoriter yang greedy, Orde Baru tak cukup puas hanya dengan menguasai kekayaan alam, tapi juga alam pikiran masyarakat. Salah satunya via nama-nama jalan.
Saatnya Jokowi mengambil kesempatan membuat ruang Kota Jakarta Baru tidak hanya bebas dari kesemrawutan lalu lintas, keliaran kaki lima, penyerobotan ruang terbuka hijau, dan seterusnya. Tapi juga bebas dari kebusukan konstruksi simbolis Orde Baru yang menjadikan ruang kota tempat praktek sejarah sebagai alat rezim otoriter memaksakan memori kolektif masyarakat.
*) Sejarawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo