Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Bau Dendam di Warung Langganan

Tito Kei dibunuh ketika bersantai di warung tempat dia biasa nongkrong. Pelakunya diduga orang yang pernah menjadi korban keganasan Tito dan gengnya.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedatangan orang itu semula tak mencuri perhatian empat lelaki yang asyik bermain gaple di samping sebuah warung di pertigaan Jalan Raya Tytyan Indah, Bekasi. Berjalan memakai helm yang menutupi penuh wajahnya, pria berbaju gelap itu berhenti pada jarak tiga meter dari arah warung. Malam itu, Jumat dua pekan lalu, jarum jam baru menunjuk pukul 20.00. Lelaki berhelm itu langsung mengarahkan pistol kepada lelaki tua yang berdiri di depannya. Dor! Ratim, pemilik warung berusia 70 tahun, terjengkang. Sebuah peluru menembus dada kirinya.

Fransiskus Refra alias Tito Kei, yang membelakangi pria itu, refleks menoleh ke kanan. Pistol kembali menyalak. Peluru mendarat di pipi kanan Tito, lalu tembus hingga belakang kepala. Pria 41 tahun itu langsung roboh. "Hanya ada dua suara tembakan," kata pemilik kios di dekat warung Ratim yang enggan menyebut namanya, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.

Saat penembakan, Tito ditemani ketiga kawannya: Hans, Petrus, dan Gerry. Hans dan Petrus tiarap setelah mendengar suara tembakan pertama. Adapun Gerry, yang duduk di depan Tito, mencoba menampung tubuh Tito yang tersungkur di meja. Tak ada kalimat yang keluar dari si penembak. Setelah mengeksekusi kedua korbannya, sang penembak balik kanan, berjalan melintasi jalan sepi yang remang-remang. Tak ada yang berani mengejarnya meski pria itu tak berlari.

n n n

MALAM itu Hans, Gerry, dan Petrus lebih dulu datang ke warung. Tito datang belakangan dengan mengendarai sepeda motor Kawasaki KLX 150. Rumahnya memang hanya berjarak sekitar seratus meter dari warung. "Akhir-akhir ini Tito sangat sering ke warung itu," kata Tofik Y. Chandra, sahabat Tito, pekan lalu.

Mereka berempat duduk di bangku kayu di sebelah warung. Tito menghadap sepeda motornya yang diparkir di pinggir jalan. Hans duduk di sebelahnya, sementara Gerry dan Petrus di depan Tito. Ratim, yang berdiri di sebelah Gerry, ikut menyimak permainan gaple pelanggannya itu. Popon, 20 tahun, salah seorang putra Ratim, berada di dalam warung. Di sebelah kanan warung, ada jalan selebar tiga meter yang menuju Perumahan Harapan Jaya. Tito duduk membelakangi jalan itu. Dari arah itulah lelaki pencabut nyawa tersebut datang.

Ratim tewas di tempat kejadian. Ia dibunuh diduga karena paling jelas melihat sang eksekutor. Ketiga lelaki asal Indonesia timur yang tidak ditembak berupaya menyelamatkan Tito, adik bungsu John Refra alias John Kei. Beberapa saat setelah ditembak, Tito masih bernapas. Tapi dia tewas dalam perjalanan ke Rumah Sakit Ananda, Bekasi. Malam itu juga kedua jenazah di­otopsi di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.

Sabtu dinihari, jenazah Tito ditandu ke Rumah Sakit St Carolus, yang hanya berjarak seratus meter dari RSCM. John Kei, yang dipenjara di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, tak diizinkan melayat adiknya. John divonis 12 tahun penjara karena membunuh Tan Harry Tantono alias Ayung, bos PT Sanex Steel Indonesia, pada Januari tahun lalu. Senin subuh pekan lalu, jenazah Tito diterbangkan ke Pulau Kei, Tual, Maluku Tenggara, untuk dikuburkan di tempat kelahirannya.

Adapun Popon membawa jenazah ayahnya ke Kuningan, Jawa Barat. Warung yang sekaligus menjadi rumah tinggal keluarga Ratim itu kini tutup. Garis polisi masih melintang di warung itu hingga akhir pekan lalu. Keluarga Ratim, menurut warga sekitar, tak mau membuka warung itu lagi. Popon bahkan menyatakan tak akan balik lagi ke Jakarta. "Ia syok berat," kata salah seorang tetangga Ratim.

n n n

Kamis sore dua pekan lalu, Tito bertandang ke kantor pengacara Tofik Y. Chandra di Jalan Rawamangun, Jakarta Pusat. Di samping memiliki kantor pengacara sendiri, Tofik dan Tito membuka kantor pengacara bersama di Wisma Mega, Sunter, Jakarta Utara. John Kei pernah menjadi klien mereka.

Petang itu Tito mengajak Tofik bersantai di Hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur. Di hotel itu pula polisi menangkap John pada Februari tahun lalu. Sepanjang malam, Tito bernyanyi lagu-lagu Ambon di lounge. Sekitar pukul 22.00, mereka pulang. Itu terakhir kali Tofik bertemu dengan Tito. "Tak ada tanda-tanda ada ancaman," ujarnya.

Keesokan harinya, Tito menuju sebuah restoran di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia tiba sekitar pukul 11.00 untuk bertemu dengan seorang pengacara. Tito sedang menangani sebuah kasus penipuan yang disidik Kepolisian Resor Jakarta Utara. Tito menjadi penasihat hukum pelapor kasus penipuan miliaran rupiah itu. Adapun pengacara tadi mewakili si terlapor. Keduanya berbincang dengan santai hingga pukul 14.00.

Menurut sumber Tempo, dalam pertemuan itu Tito meminta uang miliaran rupiah kepada terlapor agar kasus ini tak dilanjutkan ke pengadilan. Tapi, sebagai teman dekat Tito, Tofik membantah kabar itu. Katanya, tak ada ancaman lewat telepon atau SMS gelap yang diterima Tito sebelum ditembak. "Kasus yang sedang ditangani pun ringan semua," ujar Tofik.

Pulang dari Kelapa Gading, Tito tiba di rumahnya sekitar pukul 17.00. Sopir Tito, Poken, bercerita kepada Tofik. Sepanjang perjalanan mereka menuju Bekasi pun tak ada yang aneh. Tito terlihat santai. Setiba di rumah, Tito tak keluar hingga lewat magrib. Baru pada pukul 19.30, Tito keluar mencari angin segar di warung Ratim.

Minimnya kejanggalan sebelum Tito terbunuh membuat polisi berada di jalan buntu. Hingga akhir pekan lalu, belum ada perkembangan berarti seputar pengusutan pembunuhan itu. Padahal Kepolisian Daerah Metro Jaya sudah membentuk tim khusus, beranggotakan 50 polisi, untuk mengungkap kasus ini. "Anggota yang disebar di lapangan masih mengumpulkan informasi," kata Ajun Komisaris Besar Herry ­Heryawan, ketua tim itu.

Bukti yang ditemukan hanya berupa dua selongsong peluru kaliber 9 milimeter dan satu proyektil. Lewat uji balistik dari selongsong dan proyektil, penyidik bisa memastikan pistol yang dipakai pelaku buatan pabrik, bukan rakitan: bisa jenis FN atau Beretta. Tapi bukti itu saja belum bisa mengarah kepada identitas pelaku.

Menurut Herry, keterangan saksi di tempat kejadian pun sangat minim. Tak ada yang melihat jelas wajah si eksekutor, termasuk kendaraan apa yang ia gunakan. Ratim, yang diduga melihat lebih jelas ciri-ciri pelaku, tewas ditembak. Derajat sudut tembakan pun sudah dihitung tim Herry untuk menggambarkan sosok pelaku. Namun perhitungan itu belum bisa menunjuk langsung identitas penembak. Alhasil, polisi baru bisa menyimpulkan bahwa pelaku orang terlatih dan bermental baja karena bisa mengeksekusi dua orang dengan tenang.

n n n

John dan Tito Kei memiliki ratusan anak buah yang bergabung dalam Angkatan Muda Kei, organisasi yang dibentuk John Kei. Nama abang-adik ini lama berkibar di dunia preman Jakarta. John dan Tito sebelumnya berkecimpung di bidang jasa penagihan utang. Sejumlah kelompok yang juga menggeluti jasa itu kerap bersinggungan dengan kelompok John ini. Bahkan, bila konflik di antara mereka meruncing, tak jarang mereka terlibat aksi saling bunuh demi meraih gelar jawara. Itu sebabnya muncul dugaan penembakan Tito juga berkaitan dengan persaingan kelompok preman ini. Herry tak menampik adanya spekulasi seperti ini. "Kami sedang mendalami berbagai kemungkinan motif si pelaku," kata Herry.

Jumat pekan lalu, Herry diangkat menjadi Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya. Ia menggantikan Ajun Komisaris Besar Helmy Santika, yang dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Resor Lampung Utara. Sebelum bertolak ke Lampung, Helmy sempat beberapa hari memimpin tim penyidik pembunuhan Tito. Selasa pekan lalu, Helmy mengatakan polisi menduga ada motif balas dendam dalam kasus pembunuhan Tito.

Seorang reserse yang tak mau disebut identitasnya mengatakan keyakinan penyidik sudah mengerucut pada dua kasus lama yang diduga melibatkan Tito. "Dendam tak ada yang kedaluwarsa," kata sang reserse. Pertama, kasus pembunuhan Basri Jala Sangaji di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan, pada Oktober 2004. Waktu itu anak buah John Kei menyerbu kamar hotel dan membantai Basri yang tengah tidur bersama adiknya, Jamal Sangaji. Basri tewas setelah peluru menembus dada dan perutnya. Kaki Basri pun dipotong kawanan penyerang. Sedangkan Jamal selamat meski jarinya putus tersabet parang. Setelah Basri tewas, kelompok penyerang kabur dengan dua mobil.

Di persidangan, Jamal dan anak buahnya mengatakan ada Tito di tengah gerombolan pembunuh Basri. Mereka bahkan menuduh Tito sendiri yang membunuh Basri. "Tito yang mengayunkan parang ke dada Basri," kata Guru Sangaji, anak buah Basri. Jamal, yang turut bersaksi, ikut mengangguk. Tapi pengadilan hanya menghukum delapan anak buah John, sementara Tito dan John melenggang bebas.

Pekan lalu, penyidik sudah berkomunikasi dengan Jamal. Polisi meminta dia agar mau bekerja sama mengungkap pembunuhan Tito. Hingga akhir pekan lalu, Jamal tak menjawab permintaan Tempo untuk konfirmasi.

Kedua, kasus pemotongan tangan Jemi Refra dan adiknya, Charles Refra, pada Juli 2008 di Tual, Maluku. Kedua pemuda itu masih sepupu John dan Tito. Kedua kubu abang-adik ini bertengkar setelah saling mengejek. John dan Tito ditangkap sebulan kemudian. Di persidangan yang digelar di Surabaya, Jemi dan Charles mengatakan Tito yang menebas tiga jemari mereka hingga putus. Akibat kasus potong jari itu, John divonis delapan bulan penjara. Adapun Tito dihukum satu setengah tahun penjara. "Pembunuh Tito diperkirakan bukan orang jauh," kata salah seorang reserse.

Sang eksekutor, menurut reserse itu, hafal betul dengan kebiasaan Tito dan jalan-jalan di sekitar lokasi penembakan. Rute kabur si pelaku melewati jalanan berbelok-belok sebelum tembus keluar Perumahan Harapan Jaya. Jelas butuh waktu untuk menghafal kawasan seperti itu. "Bisa jadi ia menyusup di kelompok John dan Tito," ujarnya.

Herry menolak berkomentar ketika dimintai konfirmasi tentang "bau" balas dendam dalam pembunuhan Tito. Alasannya, dia tak ingin penyidikan terganggu. Ia menyatakan tak ingin pelaku menjauh karena tahu sedang dibidik. "Butuh waktu untuk mengungkap kasus ini," katanya.

Pembunuhan Tito, ujar sejumlah sumber Tempo, membuat para pentolan preman di Jakarta menjadi "panas" dan meningkatkan kewaspadaan. Lantaran dipenjarakan, John Kei memang tak bisa bergerak leluasa mencari sendiri pembunuh adik kesayangannya itu. Tapi, jika kasus ini tak segera diungkap, mereka khawatir anak buah John dan Tito, yang memang masih banyak "di luar", akan melakukan aksi balas dendam secara membabi-buta.

Mustafa Silalahi


30 menit terakhir Tito KEi

  • 19.30, Tito berkunjung ke warung Ratim dengan sepeda motor Kawasaki KLX 150 hijau bernomor polisi B-3167-KHL. Motor diparkir di halaman warung.
  • Bersama Gerry, Hans, dan Petrus bermain gaple di meja warung. Posisi Ratim (pemilik warung) ada di seberang Tito.
  • Pukul 20.00, pelaku datang dari gang akses kompleks Harapan Jaya, menembak Ratim, kemudian Tito.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus