Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lahan Kotor Gedung Auditor

Kejaksaan mengusut dugaan korupsi pengadaan lahan kantor Badan Pemeriksa Keuangan perwakilan Manado. Empat petugas lapangan menjadi tersangka. Belum menyentuh petingginya.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir sebulan ini Wahyudi mempunyai kewajiban tambahan. Saban awal pekan, Kepala Bagian Rumah Tangga Badan Pemeriksa Keuangan tersebut mesti terbang bolak-balik Jakarta-Manado. Bukan untuk urusan pekerjaan, melainkan melapor ke Kejaksaan Negeri Manado. Wahyudi harus "menghadap" jaksa. Sejak 14 Mei lalu, dia dan tiga rekannya menyandang status sebagai tahanan kota.

Tiga rekan Wahyudi itu Sjarief Hidajatullah (Kepala Sekretariat BPK perwakilan Semarang), Ambo Sappe (Kepala Sub-Bagian Sumber Daya Manusia BPK perwakilan Palu), dan Muhammad Yasir (Kepala Sub-Bagian BPK perwakilan Makassar). Sebelum menjadi tahanan kota, selama hampir 19 bulan mereka menjadi tersangka korupsi pengadaan lahan kantor BPK perwakilan Manado.

"Selama ini saya tak berani bicara ke media. Sekarang tak ada pilihan, harus membela diri," kata Wah­yudi, Sabtu tiga pekan lalu, kepada Tempo. Waktu itu Wahyudi didampingi Sjarief, yang datang dari Semarang untuk berangkat bersama-sama ke Manado esok harinya.

Ketika masih berstatus saksi, antara Mei dan Oktober 2011, Wahyudi percaya pada janji atasannya bahwa kasusnya tak berlanjut ke meja hijau. Tapi, setelah akhirnya menjadi tahanan kota, dia melihat janji itu sekadar pepesan kosong. Di kantor, Wah­yudi dan kawan-kawan pun mulai mendapat perlakuan berbeda.

Hari pertama masuk kantor, misalnya, Wahyudi disambut Kepala Bagian Umum BPK RI Romuzi dengan pertanyaan yang tak dia duga. "Bagaimana mobil dinasnya?" Kaget dan tersinggung, Wahyudi spontan menjawab, "Besok saya kembalikan." Esok harinya, di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat, Wahyudi mencopoti perangkat audio tambahan pada mobil Innova itu. Ketika sang istri bertanya, Wahyudi menjelaskan mobil itu milik negara yang harus dikembalikan. Wahyudi pun mengembalikan mobil tersebut pada 19 Mei lalu.

n n n

Wahyudi terseret kasus korupsi gara-gara pernah diajak melihat kondisi lahan seluas 3.500 meter persegi di Jalan 17 Agustus, Manado, 18 Desember 2006. Dari Jakarta, dia berangkat bersama Widodo Prasetyohadi, pejabat pembuat komitmen BPK RI, dan M. Hatta, atasan Wahyudi di kantornya.

Di lokasi lahan, mereka tak bertemu dengan pemiliknya. Tapi, sewaktu tim itu kembali ke kantor lama BPK perwakilan Manado, pemilik tanah, Sisca Tinneke Dengah, sudah menunggu. Pertemuan dadakan pun digelar. Di samping tim Jakarta, hadir Pelaksana Harian Kepala BPK Perwakilan Manado Frans Tangke dan dua anggota stafnya, yaitu Sjarief dan Ambo. Dalam pertemuan tersebut, tim BPK hanya bertanya tentang status hukum dan kelengkapan surat tanah. Pertemuan bubar tanpa ada negosiasi.

Malam harinya, di tempatnya menginap, Wahyudi ditelepon Hatta. Hatta menyatakan ada pesan dari Kepala Biro Keuangan BPK RI Sucipto. Pejabat kuasa pengguna anggaran itu meminta pemilik tanah dan notaris dari Manado diboyong ke Jakarta. Meski heran, Wahyudi tak banyak tanya. Esok siangnya, tim BPK dan Sisca pun bertolak ke Jakarta.

Sampai di Jakarta pada Selasa malam, Wahyudi mengantar Sisca ke ruangan Sucipto. Beberapa saat kemudian, Wahyudi diminta Hatta menjemput Sisca dari ruang Sucipto. Dari Hatta, Wahyudi tahu Sucipto dan Sisca telah menyepakati harga tanah Rp 3,4 juta per meter persegi. Pembayaran lahan dicicil dua tahap. Pada 2006, BPK membayar Rp 8,3 miliar. Sisanya, Rp 6,49 miliar, akan dibayarkan pada 2007. Di ruang Hatta, Sisca dan notarisnya membuat akta pelepasan hak atas tanah. "Waktu itu sudah Rabu dinihari," kata Wahyudi. Tapi, dalam akta, disebutkan dokumen tersebut dibikin di Manado.

Beberapa bulan kemudian, Wahyudi disodori Hatta berita acara negosiasi tanah. Dokumen empat halaman itu menyebutkan negosiasi dilakukan Wahyudi dan kawan-kawan pada 18 Desember 2006 di Manado. "Karena Pak Hatta sudah meneken, saya pun menekennya," kata Wahyudi. Belakangan, Sjarief, Yasir, dan Ambo juga meneken berita acara itu. Kelima orang itu kemudian bersamaan menjadi tersangka. Hanya, dalam perjalanannya, saat penyidikan, Hatta meninggal.

Dalam berita acara juga disebutkan, nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah di Jalan 17 Agustus itu Rp 394 ribu per meter persegi. Tapi, setelah negosiasi, disepakati harga Rp 3,4 juta per meter persegi—hampir sembilan kali lipat NJOP. Kesepakatan mengacu pada surat keterangan Lurah Bumi Beringin, Manado Selatan, yang menyebutkan harga pasaran tanah Rp 3,5-5 juta per meter persegi.

Menurut Wahyudi dan Sjarief, keterangan Lurah Bumi Beringin dibuat beberapa hari setelah terjadi kesepakatan antara Sucipto dan Sisca. Yang diminta mengurus surat itu rekan mereka, Ambo Sappe. Adapun Lurah Bumi Beringin, Simon Tanod, tinggal meneken surat bertanggal 12 Desember 2006 itu. "Tanggal pada semua dokumen dibuat mundur," kata Wahyudi.

Dua tahun kemudian, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara mengusut dugaan korupsi pengadaan lahan itu. Petinggi Sekretariat BPK pun panik. Maklum, yang dipanggil bukan hanya petugas lapangan seperti Wahyudi. Dharma Bhakti, Sekretaris Jenderal BPK yang pensiun pada 2010, bahkan dipanggil sampai dua kali.

Wahyudi dan kawan-kawan beberapa kali hadir dalam rapat di ruang pimpinan Sekretariat BPK. Rapat membahas strategi pengamanan kasus, termasuk rencana melobi kejaksaan agar kasus itu dihentikan. Bagaimana Wahyudi dan kawan-kawan harus menjawab pertanyaan jaksa pun dibahas dalam rapat itu.

Sampai dua kali pergantian tim penyidik, Wahyudi dan kawan-kawan masih memegang titah atasannya. Mereka memberi keterangan sesuai dengan skenario. Tapi, setelah tim jaksa kasusnya berganti untuk ketiga kalinya, Wahyudi dan kawan-kawan tak bisa lagi mempertahankan skenario Jakarta. "Pertahanan kami jebol. Mereka pintar menggali keterangan," ujar Sjarief.

Anggota tim penyidik baru itu antara lain Natsir Sitepu, Jenny Wajong, dan Engelin Kamea. Kepada mereka, Wahyudi dan kawan-kawan pun menceritakan apa yang terjadi. Pada akhir pemeriksaan, tim penyidik itu keceplosan. "Kalau begitu, kalian semestinya tak jadi tersangka," kata Wah­yudi menirukan ucapan penyidik. Penyidik itu juga menyebutkan akan memanggil lagi Dharma Bhakti dan Sucipto.

Sejumlah sumber di kantor BPK menyebutkan penggelembungan harga tak hanya terjadi dalam pembelian lahan di Manado. Praktek serupa diduga kuat terjadi di tempat lain, seperti Manokwari, Ternate, Pekanbaru, Surabaya, dan Jakarta. "Di Jakarta, tanah bekas pembuangan sampah saja dihargai sebagai tanah premium," kata seorang sumber mencontohkan.

Dharma Bhakti, yang kini maju dalam pencalonan anggota BPK RI, membantah terlibat patgulipat pengadaan lahan di Manado. Sebagai pejabat pengguna anggaran, dia mengaku tak tahu detail proyek itu. "Yang tahu itu kuasa pengguna anggaran, Sucipto," kata Dharma.

Ditemui di ruang kerjanya, Sucipto membenarkan pernah diperiksa jaksa sebagai saksi. Tapi dia menyangkal merekayasa harga atau bernegosiasi langsung dengan pemilik tanah. Tugasnya, ucap dia, hanya memastikan anggaran untuk pembelian lahan itu ada atau tidak. Adapun soal dokumen yang tanggalnya dibuat mundur, Sucipto tak menampiknya. "Mungkin karena waktunya sudah mepet," ujarnya.

Tak terima dijadikan tumbal, pada 20 Mei lalu Wahyudi dan kawan-kawan mengirim surat ke Jaksa Agung Basrief Arief. Selain menceritakan kejanggalan dalam proses penyidikan, mereka menyinggung dana pengamanan kasus Rp 500 juta yang digelontorkan Biro Keuangan BPK RI. Surat tiga halaman itu ditembuskan juga kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi sejauh ini pengaduan Wahyudi dan kawan-kawan belum menunjukkan hasil. Pada 29 Mei lalu, jaksa melimpahkan berkas perkara mereka ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Manado. Kini mereka harus bersiap duduk di kursi terdakwa.

Jajang Jamaludin, Ismi Damayanti, Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus