Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bayi Siapa di Boks I

Bayi Dewi yang dilahirkan di puskesmas Cilandak di perebuntukan oleh pasangan Nurhaini-Ambam H. Dengan Kartini-Suripno. Bayi cipluk tak ada yang mengaku. Menurut tes darah, Dewi berdarah o sama dengan Kartini.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MONTOK, berkulit putih, berambut tipis, berdahi lebar, bayi berumur sembilan bulan itu mulai belajar jalan. Mulutnya tak berhenti berceloteh. Memegang tangan kursi, ia mencoba berjalan merambat, dan kemudian menghamburkan dirinya ke pangkuan ibunya. Dewi, bayi itu memeluk ibunya, Nurhaini. Tapi betulkah bayi yang sedang lucu-lucunya itu anak Nurhaini ? Pertanyaan itulah yang mungkin membawa Dewi ke pengadilan. Sebab, bukan cuma pasangan Nurhaini, 30 tahun, dan Ambam Hidayat yang mengakunya sebagai anak. Juga pasangan Kartini dan Suripno mengaku Dewi sebagai bayinya. Cerita, yang bagaikan kayalan itu bermula dari mimpi buruk Nyonya Nurhaini, malam Sabtu 28 Maret. Dalam tidurnya, ia bermimpi rumahnya tertimpa tanah longsor. Ketika tersentak, ibu tiga anak yang lagi hamil tua itu merasakan perutnya mulas. "Ternyata ketubannya sudah pecah," kata Nurhaini. Suaminya, Ambam Hidayat, yang sehari-harinya buruh bangunan, buru-buru membawa istrinya ke puskesmas Cilandak, sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Pukul 4 pagi, Nurhaini melahirkan bayi perempuan berkulit putih berdahi lebar dengan panjang 48 cm dan berat 3,1 kilogram. Karena kurang sehat, bayi itu dimasukkan ke inkubator. Pukul 12.15, siang itu juga, di tempat yang sama, seorang ibu lain, Kartini, 23 tahun, melahirkan pula seorang bayi perempuan, dengan panjang 49 cm dan berat 3,3 kilogram. Berbeda dengan Nurhaini, Kartini pingsan setelah melahirkan. Menurut Nurhaini, di siang itu, ketika perawat lagi mengurusi Kartini, ia bangkit dari tempat tidurnya karena mendengar tangis bayinya, di boks nomor 1 -- di ruangan bayi, ketika itu memang hanya ada dua bayi. "Saya melihat sendiri bayi saya ketika diturunkan dari inkubator dimasukkan ke boks nomor satu itu. Dewi saya ambil dan saya susui," cerita Nurhaini. Setelah selesai, ia kembali menaruh bayi itu di boks nomor 1 tadi. Ketika malam hari suaminya datang, ia menyuruh Ambam menengok anaknya di boks nomor I itu. Ternyata, Ambam menemukan kartu label bayi atas nama Kartini di boks tersebut. Kartu itu kemudian diserahkannya kepada Nurhain, dan oleh istrinya label itu disampaikannya kepada Kartini. Gara-gara kartu itulah, katanya, Kartini mendakwa bayi di boks I tadi sebagai miliknya. Cerita Nurhaini itu tidak dipercaya lawannya, Kartini. "Saya memang pingsan setelah melahirkan, tapi tidak lama sadar lagi," katanya. Saat sadarkan diri, di ruangan persalinan, ia sempat ditunjukkan bayinya sebelum bayi itu ditaruh di boks. Menurut Kartini, bayinya juga berkulit putih, rambut tipis dan dahi lebar. "Mukanya mirip dengan anak pertama saya, Maisaroh, ketika dilahirkan," kata Kartini, yang sebelumnya juga sudah melahirkan dua anak. Sekitar pukul 5 sore ia dipindahkan dari ruangan bersalin ke ruangan perawatan, sekamar dengan Nurhaini. Pada waktu perawat menyerahkan bayi mereka masing-masing, Kartini curiga. "Kok bayi saya rambutnya jadi tebal," katanya. Malamnya kecurigaan Kartini semakin menjadi-jadi, setelah Nurhaini menyerahkan kartu label namanya, yang katanya, diketemukan di boks anak Nurhaini. Ketika suaminya Suripno, yang sehari-harinya sopir, datang membesuk, Kartini menyuruh suaminya mengurus anaknya itu. Pertengkaran tidak terelakkan lagi antara Kartini dan Suripno di satu pihak dan Nurhaini beserta Ambam di pihak lain. Sehingga, terpaksa diselesaikan dokter puskesmas, Nyonya Mursiamsih. Hasilnya, pihak puskesmas tetap yakin bayi itu milik Nurhaini, dan hanya mengaku bersalah tertukar meletakkan kartu label nama ibu bayi tersebut. Akibat putusan puskesmas itu, Nurhaini sehari kemudian membawa Dewi pulang. Sementara Kartini terpaksa membawa bayi yang tidak diyakininya sebagai anaknya sendiri. Ternyata, sesampai di rumah, Kartini dan Suripno tetap resah. Dua hari kemudian Suripno mendatangi rumah Nurhaini, menuntut anaknya. Tentu saja Nurhaini bertahan. Belakangan Suripno kembali menuntut puskesmas. Pertengkaran itu disidangkan untuk kedua kalinya di puskesmas. Hasilnya tetap seperti semula. Gagal meminta Dewi melalui puskesmas, Kartini dan Suripno membawa Cipluk bayi yang satu lagi -- ke PMI untuk pemeriksaan darah. Hasilnya, seperti diterangkan dokter PMI, Masri Rustam, lebih membuat Kartini tidak tenang. Sebab Cipluk ternyata berdarah O, padahal Kartini A dan Suripno mempunyai golongan darah B. Sebab itu, setelah pemeriksaan darah, Kartini dan Suripno langsung menyerahkan kembali Cipluk ke puskesmas. "Saya bilang kepada dokter, terserah mau diapakan bayi itu. Mau dibuang terserah, mau diberika sama orang juga boleh. Perasaan saya tida enak memelihara anak orang," tutur Kartini. Bukan hanya itu, Suripno juga melapor ke Polisi. Berdasarkan perintah polisi, 12 Agustus, darah Nurhaini, Ambam, dan Dewi pun diperiksa. Hasilnya darah Nurhaini dan Ambam sama-sama O, sementara Dewi berdarah AB. Tapi toh Nurhaini tidak bersedia menyerahkan anak yang sudah diasuhnya selama 9 bulan itu. "Walau bagaimanapun Dewi anak saya, saya tidak percaya terhadap pemeriksaan darah," kata Nurhaini. Sebab itu, tidak ada cara lain kecuali meneruskan upaya hukum. "Hasil tes darah itu satu-satunya alat pembuktian yang bisa dipakai haklm untuk memutuskan perkara itu. Tapi seandainya Nurhaini meminta pemeriksaan yang 12 sistem seharusnya hakim mengabulkannya," kata ahli hukum kedokteran dr. Fred Ameln, S.H. (lihat Box: Siapa Cipluk, Siapa Dewi). Tampaknya, berdasarkan alat bukti berupa pengetesan darah itu, Nurhaini akan dilanjukan ke pengadilan oleh Jaksa Tiangsa Boru Karo, Januari mendatang. Kabarnya, Nurhaini akan diadili dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Tapi pengacara Nurhaini, Furqan, dari LBH Jakarta, meragukan tuduhan itu, dan menganggap kasus itu tidak terjangkau oleh hukum positif yang ada. "Kalau Nurhaini dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan, pihak Suripno juga bisa dituduh membuat Nurhaini tidak senang," katanya. Seandainya pun tuduhan itu bisa dibuktikan, belum juga tuntas tentang siapa yang berhak terhadap Dewi, atau Cipluk. Agaknya memang soal siapa sebenarnya ibu Dewi dan siapa pula ibu Cipluk lebih wewenang hakim perdata ketimbang pidana. "Kalau tahu jadi perkara begini, lebih bagus melahirkan sama dukun saja di rumah," ujar Nurhaini, sedih. Karni Ilyas dan Muchsin Lubis (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus