Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mereka kuliah bermodal doa

Rektor unpad yuyun wirasasmita melalui yayasan padjadjaran memberikan beasiswa kepada 17 mahasiswa tidak mampu sebanyak rp 25.000 per bulan. masih banyak mahasiswa yang tak mampu.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUMPAMA Rasita, siswa SMP di Indramayu, adalah mahasiswa Unpad, ia tak perlu mengamuk membakar buku dan mengayun-ayunkan clurit. Siswa tersebut belum bisa melunasi SPP dan lain-lain, tapi kepala sekolahnya rupanya tak mau tahu (TEMPO 19 Desember). Tak begitu di Unpad, Universitas Padjadjaran, Bandung. Di universitas ini banyak mahasiswa terlambat membayar ini dan itu. Entah karena seringnya, entah gagasan ini baru muncul sekarang, rektor lalu ikut turun tangan. Bukannya langsung menjatuhkan sanksi, tapi ia mencoba mencari sebab keterlambatan. "Lewat dekan saya minta agar senat mahasiswa menelusuri latar belakang sosial ekonomi yang terlambat membayar," kaya Yuyun Wirasasmita, Rektor Unpad. Maka diketahuilah sekitar 10% dari 14.000 mahasiswa Unpad yang suka terlambat membayar itu memang jauh dari model mahasiswa yang tiap malam Minggu pergi ke diskotek. Tapi kondisi mahasiswa indekosan yang terusir karena tak lagi terima kiriman dari kampung, mahasiswa yang terpaksa tidur di masjid. Segera, lewat seleksi, Rektor memutuskan memberi beasiswa kepada 17 mahasiwa yang dianggap paling menyedihkan kehidupan sehari-harinya, "sementara semangat belajarnya tinggi.", Ini dimungkinkan karena Unpad punya Yayasan Padjadjaran. Tak besar beasiswa itu, cuma Rp 25.000 per bulan, dan diberikan selama setahun. Toh, mereka yang memperolehnya begitu cerah wajahnya, ketika tiga pekan lalu Rektor mengumumkan nama mereka. Bagaimana mereka tak gembira? Suyanto, 19 tahun, mahasiswa tingkat I Fakultas Psikologi Unpad -- satu dari 17 orang itu misalnya. Kamar pondokan sempit, cuma 1,5 x 2,5 meter, pas untuk sebuah tempat tidur kayu beralaskan tikar, dan sebuah meja tempat buku. Ia selalu cemas, sewaktu-waktu ia bisa tergusur dari "pertapaan"-nya yang "mewah" itu. Lihat, di dinding kamarnya ia tempelkan pengumuman -- untuk diri sendiri, tentu: "Tetaplah tabah. Sampai akhir semester nanti sisa uang tinggal Rp 75 ribu. Tapi ingat, kuliah nomor satu. Walau, nanti terpaksa harus jualan kue". Anak petani miskin asal Kediri, Jawa Timur, itu ketika diterima di Unpad lewat Sipenmaru berbekal uang Rp 400.000. Dan itulah seluruh bekalnya guna menyelesaikan kuliah. Sialnya lagi, sampai di Bandung Rp : 100.000 hilang, "mungkin dicopet orang." Begitu sampai di Bandung ia langsung mencari pekerjaan, dan tak pernah berhasil. Akhirnya, ia menjadi pesuruh di sebuah pemancar radio swasta -- tanpa gaji, cuma mendapat makan sehari sekali dan boleh tidur di studio. Sayang, ia cuma mampu bertahan dua bulan. "Saya tak bisa belajar. Maklum, di studio, ramai terus hingga larut malam," keluhnya. Maka, ia nekat mengontrak kamar sempit Rp 125.000 setahun. Tak kurang sulitnya adalah hidup Achmad Setiyadi, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi. Achmad sejak dua tahun lalu belum pernah menerima kiriman dari orangtuanya, padahal ia tak bermodal seperti Suyanto. Maka, anak keempat dari lima bersaudara putra seorang purnawirawan ABRI ini terpaksa tinggal di masjid kampus. "Saya berdoa dan Tuhan memberi jalan. Alhamdulillah, saya bisa membiayi kuliah tanpa menjadi beban orang lain," tutur mahasiswa tinggi dan kurus ini. Achmad hampir setiap hari bisa ditemukan di perpustakaan. Itulah cara dia untuk tak usah membeli buku, dan sekaligus untuk memperoleh uang. Mahasiswa yang gigih ini menulis resensi buku-buku yang dibacanya. Begitulah ia membiayai hidup dan kuliahnya. Kadang-kadang ia menjualkan buku beberapa penerbit, yang memberinya komisi sampai 40%. "Tak selamanya honorarium itu cukup untuk makan. Tapi saya biasa puasa Senin-Kamis," tutur mahasiswa yang IPK-nya 3,16 ini. Adalah Mimi, cewek Padang, mahasiswi tingkat IV Fakultas Peternakan. Anak kedua dari 9 bersaudara putra seorang tukang jahit itu juga tak menerima kiriman dari orangtuanya. "Ayah saya sudah lanjut, tidak mampu lagi bekerja," ujarnya. Ia mengaku banyak menerima pertolongan teman-temannya, selain jualan kue di kantin kampus. "Sebetulnya saya malu," katanya berterus terang. Di kamar kontrakannya yang sempit ia tidur di ranjang lipat. Tak ada meja belajar. Buku-bukunya di susun rapi di lantai beralas karpet karet. Ketika sewa kontrak hampir habis, ia nekat menemui istri Rektor, dan ternyata dibantu. "Serasa mimpi ketika saya menerima beasiswa itu," kata mahasiswi berkerudung ini. Tak selalu semangat perjuangan tinggi. Mereka kadang kala diserang frustrasi juga. Malah Popong Malia, 22 tahun, mahasiswi kedokteran tingkat I, sempat berpikir berhenti kuliah saja. Tapi dosen wali mencegahnya. "Kalau kau berhenti karena bodoh, terserah. Tapi prestasimu baik," kata dr. Ida Ningrum, dosen wali itu, seperti diceritakan Popong. Anak ke-7 dari 9 bersaudara itu memang termasuk pintar, IPK-nya 2,75. Ketika ayah Popong meninggal dua setengah tahun lalu, sepetak kebun dan kios milik ayahnya dijualnya, laku Rp 3 juta. Kemudian Rp 2 juta didepositokan, dan bunganya sekitar Rp 28.000 per bulan. Sisanya, Rp 1 juta, dipinjam kakaknya, dan pengembaliannya diangsur Rp 25.000 tiap bulan. Dengan uang itulah Popong, ibunya, dan dua adiknya yang masih duduk di SD dan SMA hidup di rumah kontrakan. "Beasiswa ini menambah semangat saya," kata gadis kuning langsat ini. Yang mencengangkan Rektor Yuyun, justru mereka yang sangat payah itu "tak mau mengungkapkan kesulitan hidupnya." Mungkin itu soalnya bila mereka selama ini tak terjaring oleh 17 jenis beasiswa yang ada di Unpad, selain beasiswa itu memang menentukan persyaratan tertentu. Adapun Yayasan Padjadjaran, milik karyawan Unpad, berdiri pada 1969 tapi baru mulai aktif pada 1983, sebenarnya kegiatan utamanya adalah membantu sarana universitas -- dari penyediaan tanah sampai pembelian komputer. Soal beasiswa sebenarnya belum jadi program. Tutur Rektor, "Tapi karena keadaan mendesak, lalu diadakan." Hasan Syukur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus