Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana ruang sidang pengadilan hak asasi manusia ad hoc Kamis pekan lalu mirip tangsi militer. Di berbagai sudut gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, terlihat anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) lengkap dengan seragam dan baret merahnya. Mereka berbaur dengan pengunjung berseragam kaus biru. Di bagian belakang kaus, ada tulisan dengan huruf mencolok: "Islah adalah kebahagiaan kami."
Sedang ada latihan antiteroris? Ternyata tidak. Kamis itu, majelis hakim yang dipimpin Herman Heller Hutapea sedang membacakan vonis bagi terdakwa Mayor Jenderal Sriyanto, Komandan Jenderal Kopassus. Ketika hakim mulai masuk bagian akhir pembacaan vonis, suasana hening. Lalu, inilah keputusan hakim: Sriyanto bebas dari tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Begitu vonis dibacakan, suasana hening berubah riuh. Tepuk tangan di mana-mana, diselingi teriakan "Allahu Akbar" dan "hidup Pak Hakim". Wajah sang Jenderal pun seketika terlihat lega. Melangkah keluar ruang sidang, ia disambut bak pahlawan. Puluhan anggota Kopassus berebut menyalami. Lalu, dengan bersemangat, mereka menyanyikan mars Kopassus sambil mengepalkan tangan ke atas.
Sriyanto diadili untuk peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984". Saat itu ia masih menjabat Kepala Seksi II Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara dengan pangkat kapten. Dalam tuntutannya, Jaksa Darmono menyebut Sriyanto, bersama 13 anggota Arhanudse-6 Kodim 0502, sengaja menembak sekelompok warga sipil. Untuk dakwaan ini, Sriyanto dituntut 10 tahun penjara.
Namun, hakim tak sependapat dengan jaksa. Menurut hakim, saat insiden penembakan, Sriyanto hanya mengantarkan pasukan Regu III Arhanudse-6 Kodim 0502 yang ditugasi mengamankan Polres Jakarta Utara. Di depan kantor Polres itulah, demikian hakim, terjadi bentrokan antara massa dan pasukan yang diantar Sriyanto. "Tak ada bukti bahwa terdakwa memerintahkan penyerangan warga sipil," kata hakim.
Kerusuhan 20 tahun lalu itu terjadi ketika sejumlah massa di bawah pimpinan Amir Biki bergerak menuntut pembebasan empat rekannya yang ditahan aparat Kodim. Inilah puncak ketegangan beberapa hari sebelumnya, ketika berkembang isu bahwa Hermanus, petugas Bintara Pembina Desa Kodim 0502, masuk ke masjid tanpa melepas sepatu dan menyiramkan air got ke dalam. Akibat isu ini, massa marah dan membakar motor Herman. Empat orang kemudian ditahan setelah pembakaran. Mereka inilah yang dituntut oleh Amir Biki agar dibebaskan.
Menurut hakim, kerusuhan yang kemudian menewaskan 23 orang dan menyebabkan puluhan yang lain terluka itu terjadi spontan dan tidak direncanakan. Aparat yang diserang oleh massa Amir Biki, kata hakim, sebetulnya ditugasi mengamankan tempat-tempat penting seperti Depo Pertamina Plumpang, Polres Jakarta Utara, dan Kodim 0502. Karena merasa terancam oleh massa yang membawa senjata tajam, pasukan Arhanudse membela diri. "Semua sudah sesuai dengan prosedur, dimulai dari tembakan peringatan ke atas tiga kali, ke bawah tiga kali, lalu kaki," kata hakim. Jelas, tuturnya, penembakan itu bukan atas perintah Sriyanto.
Jaksa Darmono belum menentukan sikap apakah dia menerima vonis bebas itu. "Masih ada waktu 14 hari," ujarnya. Namun, kepada TEMPO, ia menyatakan yakin bahwa Sriyanto melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat sebagaimana tuntutan dan dakwaan.
Dua hari sebelum vonis bebas Sriyanto, pengadilan yang sama membebaskan Mayjen (Purn.) Pranowo, bekas Kepala Polisi Militer Kodam V Jaya. Menurut Jaksa Roesman Adi, selaku komandan, Pranowo bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya yang menyiksa para tahanan kasus Tanjung Priok. Penyiksaan berlangsung saat mereka disekap di Rumah Tahanan Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Untuk dosa ini, jaksa menuntut Pranowo lima tahun penjara.
Namun, dalam pertimbangan putusan bebasnya, hakim menilai dakwaan bagi Pranowo tidak tepat. Penahanan terhadap pelaku dan korban peristiwa Priok, kata hakim, adalah perintah Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jaya. Penahanan juga dilengkapi surat penahanan dari kejaksaan dan polisi.
Hakim mengakui memang terjadi pemukulan dan penyiksaan. Mereka ada yang dipukul, ditempeleng, ditendang, dicukur, atau disuruh push-up. "Tapi, perlu dikaji lagi apakah ini tergolong pelanggaran HAM berat," kata hakim. Ia mengingatkan bahwa salah satu syarat untuk disebut pelanggaran hak asasi manusia berat adalah peristiwa itu terjadi secara meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil.
Hakim kemudian mengutip saksi bahwa aksi kekerasan itu hanya terjadi saat mereka diperiksa, tidak sepanjang hari. Perlakuan itu juga tidak mengakibatkan sakit yang mendalam. "Para tahanan yang ditahan di Guntur dan di Cimanggis masih bisa salat dan olahraga," kata hakim. Karena itu, ia menambahkan, ini tergolong pelanggaran hak asasi biasa yang bukan kewenangan pengadilan hak asasi manusia ad hoc. "Memang ada pelanggaran HAM, tapi bukan pelanggaran HAM berat yang termasuk yurisdiksi pengadilan HAM ad hoc," katanya.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, majelis hakim yang dipimpin Adriani Nurdin memutus bebas Pranowo. Vonis ini segera disambut Pranowo dengan sujud syukur. Kepada wartawan, ia berkomentar pendek, "Saya bersyukur, Tuhan mendengar doa dan melihat kerja keras tim pengacara."
Benarkah Pranowo tak bersalah? A.M. Fatwa, salah satu korban peristiwa Priok yang pernah ditahan di Guntur dan Cimanggis, mengaku terkejut mendengar keputusan hakim. Menurut dia, Pranowo memang tidak terlibat langsung. Tapi, kata Wakil Ketua MPR ini, sulit dibantah bahwa anak buah Pranowo telah menyiksa para tahanan. "Mestinya, harus ada pernyataan dia bersalah. Soal kualifikasi apakah masuk pelanggaran HAM berat atau bukan, itu nanti," ujarnya kepada TEMPO, Rabu lalu.
Ia berkisah, dalam tahanan, ia mengalami penyiksaan seperti diinjak sepatu lars, dihantam dengan popor senjata, ditendang, dan digunduli. Ia juga pernah dipindahkan ke sel sempit dan penuh kotoran manusia. Di sel itulah Fatwa harus tidur, tapi Fatwa berkeras menolak. Beberapa hari kemudian, dengan mata ditutup, ia dipindah ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Fatwa juga menolak pernyataan hakim yang menyebut penahanan itu sah karena dilengkapi surat penahanan. Nyatanya, kata dia, surat pemberitahuan perintah penahanan di Cimanggis ia terima beberapa bulan kemudian. "Itu kan penculikan namanya," kata Fatwa.
Ketidakpuasan pada dua vonis bebas itu juga datang dari Beni Biki, adik Amir Biki. Ia berniat segera mengontak Kontras (lembaga yang menangani kasus-kasus kekerasan), membicarakan kemungkinan menggugat ke Mahkamah Internasional. "Pengadilan di sini tidak bisa dipercaya. Hakim hanya mempertimbangkan pernyataan saksi yang sudah mencabut berita acara pemeriksaan," kata dia.
Menurut Biki, hakim hanya mendengar keterangan saksi yang belakangan bersedia berdamai dengan TNI (islah) dalam kasus Priok. "Mereka sendiri di sidang mengaku telah menerima uang dari TNI. Jadi, keterangan mereka sebetulnya tak boleh dipakai hakim," kata Biki gusar.
Nasib Pranowo dan Sriyanto memang jauh lebih baik dibandingkan dengan Mayor Jenderal (Purn.) Rudolf Butarbutar. Saat peristiwa Priok terjadi, Rudolf adalah atasan Sriyanto, Komandan Kodim 0502. Dia sudah diadili dan pada 30 April lalu hakim mengganjar Rudolf dengan vonis 10 tahun penjara.
Rudolf sendiri hadir saat vonis bebas bagi Sriyanto dibacakan. "Lho, yang saya pertanggungjawabkan saja bisa bebas. Kan lucu jika saya dihukum," kata dia. Dia sepakat dengan pertimbangan hakim bahwa, dalam kasus Sriyanto, memang penembakan dilakukan sesuai dengan prosedur sehingga pelakunya tidak bisa disalahkan. Pertimbangan itu pula yang akan dibawa Rudolf ke sidang banding pengadilan tinggi dalam kasusnya. "Ini salah satu fakta dan diakui secara hukum," kata dia.
Bagi Yan Juanda Saputra, pengacara terdakwa kasus Priok, perbedaan vonis Rudolf dengan Pranowo dan Sriyanto terjadi karena adanya konflik yuridis dalam pertimbangan hukum yang dibuat hakim. Menurut dia, dua vonis kembar terhadap Pranowo dan Sriyanto itu seharusnya berlaku juga terhadap Rudolf.
Atau, jangan-jangan hakim berprinsip tak ada anak buah yang salah, yang ada adalah komandan yang gagal?
Sukma N. Loppies dan Edy Can (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo