Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengau Bersaksi dan Menang

Pengadilan memenangkan gugatan seorang wanita yang suaranya menjadi sengau setelah operasi amandel. Kemenangan langka.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keinginan Shanti Marina berkarier di bidang pemasaran perhotelan kini tinggal impian. Padahal itulah cita-cita yang hendak ia rengkuh setelah jauh-jauh belajar di Jurusan Manajemen Perhotelan Universitas Teknologi Curtin, Perth, Australia. Semua itu terjadi setelah sebuah operasi amandel, operasi yang secara medis tergolong ringan, mengempaskan harapannya. Setelah operasi, jangankan bisa berbicara dengan jelas—kemampuan utama bagi seorang pemasar—untuk menelan atau minum air saja dia kesulitan. Jika berbicara, suaranya terdengar sengau, cadel, seperti suara yang muncul dari lubang hidung. "Ini karena kelalaian dokter yang mengoperasi amandelnya," kata Sapriyanto Refa, pengacara Shanti.

Lewat pengacara ini, Shanti kemudian memperkarakan Wardhani, dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) ke meja hijau. Wanita 25 tahun itu menuntut Wardhani dan Rumah Sakit Puri Cinere Depok, tempat dokter tersebut berpraktek, membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar. Menurut Shanti, akibat operasi amandel yang tak mulus, ia mengalami penderitaan lahir-batin. Ia merasa tak sekadar kehilangan suara normal, tapi juga disergap rasa rendah diri.

Perjuangan Shanti tak sia-sia. Di tengah banyaknya kasus malpraktek yang kandas di meja hijau, Pengadilan Negeri Cibinong memenangkan gugatan Shanti. Dua pekan lalu, dia sudah menerima salinan keputusan hakim tersebut. Dalam putusannya, hakim menghukum Wardhani membayar ganti rugi Rp 500 juta. Selain itu, hakim juga memerintahkan pelaksanaan sita jaminan terhadap kediaman Wardhani di Kompleks Graha Cinere, Kota Depok. "Terbukti cacat yang dialami penggugat disebabkan kealpaan tergugat," ujar Marsudin Nainggolan, ketua majelis hakim yang memeriksa gugatan malpraktek ini.

Sejumlah alasan yang dikemukakan Wardhani dan Rumah Sakit Cinere memang ditampik hakim saat memeriksa perkara itu sepanjang September tahun silam hingga Juli lalu. Termasuk argumentasi Wardhani dan pihak Rumah Sakit Puri Cinere bahwa semua yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur medis. "Biasanya, dalam kasus begini, posisi penggugat pasti lemah karena memang tak mampu membuktikan pihak rumah sakit keliru," kata Nainggolan.

Karena itulah, Nainggolan memilih bukti yang sulit terbantah. Dan bukti itu dia lihat sendiri di pengadilan. Saat sidang dan memberikan kesaksian, suara Shanti memang terdengar sengau dan tidak jelas ketika menjawab pertanyaan hakim. Tak bisa tidak, Nainggolan menyimpulkan bahwa dalam kasus ini, yang paling tepat dikenakan adalah asas yang dikenal dalam doktrin hukum sebagai res ipsa loquitur, semua fakta sudah berbicara sendiri. "Jadi, tak perlu dibuktikan lagi," kata Nainggolan.

Kasus yang menimpa Shanti ini bermula ketika ia memeriksakan kesehatan ke Dokter Maas di Rumah Sakit Cinere pada Maret 2003. Saat itu ia merasa tubuhnya panas dan kepalanya kerap pusing. Maas kemudian meminta Shanti berkonsultasi ke Wardhani. Dari hasil pemeriksaan, Wardhani menyimpulkan amandel Shanti bengkak dan perlu dioperasi. Lalu, pada 31 Maret 2003, operasi yang hanya memakan waktu sekitar satu setengah jam itu dilakukan.

Semula semua terlihat beres. Apalagi operasi amandel tergolong ringan. Tapi, sehari setelah operasi, Shanti risau karena menyadari suaranya terdengar aneh. Dokter Wardhani, yang menerima keluhan Shanti, kemudian menghibur bahwa suara aneh terjadi karena luka operasi belum sembuh.

Namun, berminggu-minggu kemudian, suara Shanti tak kunjung membaik. Ia kemudian datang ke dokter ahli THT, Prof. Hendarto Hendarmin. Seusai pemeriksaan, Dokter Hendarmin memastikan bahwa ada kelainan dalam tulang tenggorokan Shanti. Shanti yakin, perubahan ini lantaran operasi amandel.

Setelah beberapa kali menemui kembali Dokter Wardhani dan pihak Rumah Sakit Cinere namun tak mendapat penyelesaian, pada September 2003 Shanti mengajukan gugatan. Gugatan inilah yang dikabulkan hakim pada pertengahan Juli lalu. Wardhani sendiri menolak keputusan hakim dan mengajukan banding.

Terkabulnya gugatan memang tidak mengembalikan suara Shanti menjadi normal. Kamis pekan lalu, saat diwawancarai Tempo, Shanti terlihat bersusah payah mengeja kalimatnya satu per satu agar dimengerti lawan bicaranya. Dan memang, suaranya sulit dipahami. Setiap kalimat yang dia ucapkan akhirnya harus "diterjemahkan" oleh pengacaranya. "Saya kecewa dengan Dokter Wardhani. Coba, bagaimana kalau nasib seperti ini dialami oleh anaknya," kata Shanti terbata-bata.

Kemenangan seperti yang dialami Shanti di pengadilan ini tergolong langka. Menurut pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, 90 persen lebih pasien yang menjadi korban dalam kasus malpraktek kedokteran kalah pada saat proses pengadilan. "Karena pihak korban yang menggugat kurang didukung saksi ahli, sedangkan pihak rumah sakit penuh dengan sesama kolega yang dapat membela mereka," ujarnya.

Res ipsa loquitur. Andai hakim tidak mendengar sendiri suara sengau Shanti, boleh jadi gugatannya pun akan kandas.

L.R. Baskoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus