Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWIN tanpa dicatat Kantor Catatan Sipil ternyata tak melanggar undang-undang. Sebab itu, Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah, Rabu dua pekan lalu memvonis bebas penganut ajaran Sapta Darma, Prialin, 30 tahun, dan Endang, 24 tahun. Mereka dibawa ke pengadilan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Perkawinan karena hanya menikah secara adat Jawa. Perbuatan mereka itu, menurut majelis hakim yang diketuai Nyonya Ida Rosida Mustapa, tak terbukti melanggar Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975), tentang kewajiban mencatatkan perkawinan di pegawai pencatat nikah. Kendati pasangan Prialin--Endang sudah hidup bersama dan dikaruniai seorang anak lelaki, menurut majelis, keduanya belumlah terikat perkawinan. Sebab, "Perkawinan para terdakwa hanya dalam upacara adat Jawa, bukan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Perkawinan: harus menurut hukum agama, di depan pegawai pencatat perkawinan, dan dihadiri dua orang saksi," kata Hakim Nyonya Ida. Perkara yang terhitung langka ini bermula dari upacara pernikahan Prialin-Endang pada 28 Juli 1988. Pernikahan mereka tanpa dihadiri petugas pencatat perkawinan, baik dari Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS). Tapi, sebagaimana layaknya upacara perkawinan, pesta pasangan itu berlangsung meriah, dihadiri sekitar 300 undangan, lengkap dengan tari-tarian dan upacara adat Jawa. Sebenarnya, sebelum upacara itu berlangsung, pasangan itu sudah berupaya mencatatkan perkawinan mereka ke KCS Pati. Tapi pihak KCS menolak, gara-gara Prialin-Endang tidak bersedia mengisi kolom "agama" di formulir perkawinan mereka. "Kami tidak beragama. Keyakinan kami adalah Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, yang juga wahyu pemberian Tuhan dengan bahasa Jawa," ujar Prialin. Menurut Kepala KCS Pati, Rasyid Hasan, berdasarkan SK. Gubernur Jawa Tengah tertanggal 23 Desember 1987, kepercayaan terhadap Tuhan YME bukan agama. Pembinaan kepercayaan, menurut SK itu, juga tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. "Penghayat aliran kepercayaan tidak kehilangan agama yang dipeluknya," kata Ryasid. Perdebatan itu akhirnya sampai ke meja hijau. Jaksa menganggap Prialin dan Endang telah melanggar Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Tapi Prialin--Endang sebaliknya menganggap KCS telah melanggar SK Mendagri tertanggal 1 Oktober 1987 dan surat Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman tertanggal 5 Desember 1980. Kedua surat itu memperkenankan pencatatan perkawinan bagi para penganut kepercayaan oleh pegawai luar biasa di KCS. Majelis hakim ternyata menganggap tuduhan jaksa tidak terbukti. Sebab, perkawinan Prialin-Endang, menurut majelis, bukan perkawinan sebagaimana dikehendaki undang-undang. Hanya saja, majelis tampaknya enggan menyimpulkan bahwa mereka sebenarnya masih berstatus "kumpul kebo". "Tapi, secara halus, kami kan sudah menyalahkan mereka," ucap Hakim Nyonya Ida. Prialin--Endang ternyata menyambut gembira putusan itu. Para tokoh dan pengurus Himpunan Penghayat Kepercayaan Sapta Darma Pati juga turut merayakan pesta kemenangan itu. "Dengan melampirkan putusan itu, kami tinggal menyodorkan pencatatan perkawinan kami kepada pegawai KCS," kata Prialin. Tapi upaya mereka tampaknya bakal terhambat. Soalnya, Rasyid Hasan mengku tetap akan menolak mencatatkan perkawinan mereka. "Kecuali jika mereka mau menginduk pada salah satu agama yang diakui undang-undang," ujar Rasyid. Apalagi SK Mendagri terbaru, tertanggal 17 April 1989, mewajibkan pencatatan perkawinan dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung di depan pemuka agama yang dianut si mempelai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo