Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG peneliti muda menyimpulkan: grup-grup lawak di Indonesia, termasuk Srimulat, sesungguhnya memiliki masa depan yang cerah. Peneliti itu, Budi Haryanto, 20 tahun, kini mahasiswa Teknik Perkapalan Institut Teknoloi Sepuluh Nopember, Surabaya. Kesimpulannya itu bukan mengada-ada. Ia menyebar angket ke masyarakat. "Kehidupan masyarakat semakin hari semakin kompleks. Mereka membutuhkan hiburan setelah sibuk bekerja seharian. Srimulat dan lawak umumnya berguna untuk mengendurkan urat saraf yang tegang," kata Budi. Budi adalah salah satu dari 21 finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 1989 yang diselenggarakan Departemen P dan K. Karyanya ini tergolong langka karena menyoroti dunia hiburan - suatu hal yang jarang disentuh peserta LPIR sejak lomba itu diadakan 1977. Hasil LPIR diumumkan Selasa pekan ini . Menurut Ketua Panitia, Winarno Hami Seno, kegiatan penelitian di kalangan remaja masih tinggi. Tahun lalu lomba diikuti 1.266 peserta, kini melonjak menjadi 1.927 peserta. "Ditinjau dari metode orisinalitas dan penyajian cukup baik. Tak benar peserta LPIR mengalami penurunan mutu," kata Winarno. Itu senada dengan ucapan Prof. Andi Hakim Nasoetion, ketua dewan juri. "Kita tidak bisa membandingkan kualitas karya itu dari tahun ke tahun. Sebab, masingmasing memiliki ciri sendiri," ucapnya. Lagi pula, kata Andi Hakim, tujuan LPIR bukan mencari karya terbaik. "Tapi untuk melihat seberapa jauh minat siswa dalam melakukan penelitian. Yang terpenting kemauan," katanya. Bagi Andrea Peresthu, minat untuk meneliti sudah jadi obsesi sejak ia duduk di bangku SMP. Pelajar SMA Xaverius Jambi ini punya hobi mengumpulkan bahanbahan kimia. "Dari formalin hingga kupri sulfat saya pajang di kamar tidur," kata Andre, yang mengirim karya berjudul "Penemuan Sidik Jari di Atas Kertas". Dari hobi inilah Andre, 18 tahun, menelusuri penelitiannya. Andre mendatangi beberapa kantor polisi. Penggemar ilmu kimia ini tertarik dengan alat pengambil sidik jari milik kepolisian, yang dinilai terlalu mahal karena harganya ratusan ribu rupiah. Ia lantas menciptakan alat lebih murah. Bahan utama yang digunakan adalah kupri sulfat (CuS04) dan kalium iodida (KI). Bila keduanya dicampurkan dan dipanaskan, akan timbul gas. Gas inilah yang menyebabkan sidik jari terlihat jelas. Yang menarik adalah karya Yuventius Basyudewo, siswa kelas III SMA 14 Jakarta. Ia menggelar termovoltaik, sebuah alat yang memiliki kemampuan mengubah energi matahari menjadi energi listrik berdasarkan asas Thomas Johaan Seebeck atau asas termokopel. Prinsip kerja alat itu cukup sederhana. Dua macam logam yang berbeda temperatur bila disambung akan menghasilkan gaya elektromagmetis. Bahan bakunya terdiri dari lembaran seng sebagai kolektor pelat datar, kawat besi dan tembaga sebagai termokopel. Ide termovoltaik didapat setelah siswa tersebut mempelajari photovoltaic cell karya Dr. Aman Moestofan dari ITB. "Dari segi pembuatannya, fotovoltaik dan terrnovoltaik mempunyai sistem yang sama," kata Basyudewo. Perbedaannya terletak pada ukuran dan biaya serta daya yang dihasilkan. Dengan dana Rp 100 ribu ia berhasil membuat termovoltaik berukuran 8 x 8 sentimeter, berdaya 0,01 Watt dengan voltase 0,0001. Alat ini berguna untuk menyetrum aki. Di daerah terpencil yang tidak terjangkau listrik, termovoltaik besar manfaatnya. Kemungkinan besar karya inilah memenangkan lomba. Dari ilmu sosial, ada karya yang juga bagus. Putu Gde Sopan Rahtika menulis penelitian berjudul "Peranan Awig-Awig Desa Adat dalam Meningkatkan Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup di Desa Adat Kedewataan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali". Ketika dipresentasikan, Andi Hakim Nasoetion memuji karya ini. Baik cara menuturkannya maupun metode penelitiannya. "Biasanya saya perlu waktu lama untuk membaca makalah. Kali ini makalah Saudara bisa saya baca dengan cepat," komentar Andi Hakim. Dalam hal penemuan baru di bidang teknologi (lihat juga Suntiang Rajo nan Aman), menurut Kartono Mohamad, salah seorang anggota juri, karya jenius anakanak muda ini perlu mendapatkan hak paten. "Jangan sampai terjadi, setelah susah payah mereka meneliti, yang memanfaatkan justru pihak lain," kata Kartono.Yusroni Henridewanto & Priyono B Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo