Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS, hasil goresan itu kurang memenuhi rasa kepatutan. Garuda yang gagah digambarkan lunglai, bahkan perlu diinfus. Sepanjang dunia terkembang, di mana pun tak bisa ditemukan garuda seperti itu, bahkan di lingkungan tercemar sekalipun. Tapi kalau dalam karikatur, tentu lain masalahnya. Dan perkaranya jadi semakin lain ketika maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengirimkan teleks ke bagian kargo di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Isi teleks menginstruksikan supaya Garuda tidak mengangkut koran Suara Pembaruan (SP), yang memunculkan karikatur yang kurang patut itu. Pimpinan Garuda juga mengeluarkan perintah untuk tidak memasang iklan di SP. Tidak menyuplai koran SP dalam pesawat dan tidak berlangganan harian SP atas beban perusahaan. "Pokoknya, Garuda merasa tersinggung," tutur Sofyan Alty, Humas Garuda. Konflik SP vs Garuda yang cukup ramai dibicarakan itu bermula pada karikatur yang dimuat dalam Suara Pembaruan edisi Minggu 6 Agustus 1989 lalu. Instruksi Garuda memboikot SP dilaksanakan Senin keesokan harinya. Dan berlanjut sampai tiga hari kemudian. Reaksi Garuda yang begitu keras banyak mengundang tanda tanya. Juga dipermasalahkan, apakah reaksi itu semata-mata karena tersinggung. "Kalau memang cuma berdasarkan karikatur, itu emosional," kata Sunarjo, Direktur Niaga Garuda Indonesia. Menurut Sunarjo, dia sudah lama mengamati beritaberita tentang Garuda yang dimuat di SP. "Ternyata, banyak berita yang bersifat tendensius menyerang Garuda." Oleh karena itulah pihak Garuda mengambil langkah untuk memboikot SP. "Jadi, ini merupakan letupan terakhir," katanya lagi. "Pada prinsipnya, kita menerima kritik. Tapi buatlah kritik yang konstruktif," direktur niaga itu mengimbau. Dia kemudian membandingkan dengan media massa lainnya, yang juga mengkritik dan bahkan sampai membuat panas kuping pimpinan Garuda. "Tetapi itu masih dalam batas yang wajar," ujarnya. Sementara itu, sebuah sumber TEMPO di Garuda mengungkapkan, kekesalan pimpinan Garuda sebenarnya sudah memuncak tatkala dimuatnya berita tentang Dirut Soeparno di SP beberapa waktu berselang. Penulisan tentang ihwal pribadi keluarga Soeparno di situ dinilai sangat tidak akurat. "Jadi, kayaknya mereka punya maksud-maksud tertentu," begitu sumber tadi. Nah, pas karikatur Garuda muncul,reaksi pun mencuat. Keputusan boikot lalu dibikin. Tentu saja pihak SP kelabakan. "Karena tanpa pemberitahuan sama sekali," ujar Albert Hasibuan, Pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan. Akibatnya memang runyam, sekalipun tak sampai fatal. Sejumlah koran SP tertumpuk dan peredarannya tersendat-sendat. Untung saja, perusahaan seperti Bouraq bersedia mengangkut SP. Setidaknya, dari 214.000 eksemplar SP, sekitar 40 persen terlambat sampai ke tangan pembaca, setiap harinya. Sementara itu, Albert berpikir keras, mengapa pihak Garuda tak mengajukan keberatan atas karikatur atau berita yang dimuat di korannya. "Mereka kan bisa menulis hak jawab. Atau panggil saja kita," tuturnya. Sejauh ini memang tak ada pemberitahuan resmi dari Garuda kepada SP tentang penyetopan servis buat koran tersebut. Ketua Umum SPS (Serikat Penerbit Surat kabar), Zulharmans, tampaknya bisa mengerti tindakan yang diambil Garuda. "Boleh, dong, Garuda mengambil sikap seperti itu. Karena memang ada latar belakangnya," ujarnya datar. Menurut bekas Ketua Umum PWI Pusat itu, instansi ini justru sangat terbuka terhadap pers untuk memahami problematik Garuda. "Selama saya memimpin di PWI, saya kira kerja sama dengan Garuda baik sekali. Upaya-upaya perbaikan juga sudah dilakukan oleh Garuda, termasuk upaya mengajak pers untuk memahami masalah mereka," katanya pula. Tapi ada juga yang kecewa atas sikap pimpinan Garuda itu. "Pemboikotan ini jelas mengganggu kelancaran usaha, untuk menyebarkan informasi yang sedang digalakkan saat ini," komentar Wakil Ketua Komisi I DPR-RI - yang antara lain menangani masalah penerangan - Marsekal Muda Joni Herlaut Sumarjono. Anggota Dewan yang mewakili fraksi ABRI itu menilai, tak sepantasnya Garuda, lembaga BUMN (badan usaha milik negara), bertindak seperti itu. "Saya menyesalkan kejadian itu. Mereka toh bukan anak kecil," kata Joni lagi. Tajuk rencana harian Kompas edisi 14 Agustus 1989 juga membahas soal Garuda. Tajuk ini mengkhawatirkan bahwa pemboikotan Garuda terhadap SP bisa menjadi preseden bagi perusahaan, instansi, dan lembaga-lembaga lain. "Kita mohon maaf, bahwa sekalipun kita dapat mengerti sakit hati atau kegetiran yang dirasakan oleh pimpinan Garuda, rasanya tetaplah tidak pada tempatnya, pembalasan Garuda yang serta-merta dan telanjang itu. Secara umum, penggunaan naked power, kekuasaan telanjang, terasa tidak enak dan tidak pada tempatnya," begitu tajuk rencana Kompas. Semua media cetak sangat bergantung pada Garuda, yang jaring penerbangannya demikian luas. Ketergantungan ini sedikit banyak membuat waswas para nyamuk pers, terutama bila harus memuat berita yang mengkritik Garuda. "Selalu ada rasa takut yang tersembunyi, bahwa penundaan yang 'tak dapat diterangkan' dapat terjadi dalam pengiriman koran-koran atau majalah ...," begitu tulis tajuk koran berbahasa Inggris, Jakarta Post, edisi 9 Austus 1989. Harus diakui pula bahwa rasa takut itu sekali-sekali menjurus pada rasa tidak berdaya, yang juga sulit untuk dijelaskan di sini. Hanya kesadaran bahwa setiap ketakutan bisa membuat lumpuh yang mengharuskan media tertentu mengambil risiko dan melaksanakan kontrol sosialnya terhadap Garuda. Kamis pekan lalu, pemboikotan Garuda terhadap SP telah berakhir, namun Albert masih belum bisa mencernakan fakta yang dihadapinya. "Garuda itu kan BUMN, berarti erat kaitannya dengan kepentingan umum," kata Pemimpin Umum SP ini, yang juga Ketua Umum Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo