Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bedol desa koruptor

Hampir semua aparat pemda kabupaten bogor terlibat dalam kasus korupsi di dispenda. bekas bupati, ketua DPRD dan para anggotanya konon mendapat bagian. (hk)

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM kejaksaan dan kodim, yang mengusut kasus korupsi uang retribusi di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Bogor, membongkar jaringan korupsi yang mencengangkan. Selain delapan pejabat teras pemerintah kabupaten ang kini ditahan, berdasarkan pemeriksaan ada 67 pejabat lainnya yang terlibat - baik aparat di Pemda Bogor maupun Pemda tingkat I Jawa Barat. Bahkan upeti, kabarnya, juga diterima oleh anggota lembaga-lembaga di luar aparat pemerintah, seperti DPRD dan KNPI. "Jika ingin persoalan ini dibongkar sampai tuntas, satu-satunya cara adalah bedol desa. Artinya, semua aparat Pemda dimutasikan dulu," kata seorang pemeriksa, menyimpulkan. Tim pemeriksa, sampai pekan lalu, masih sibuk menghubung-hubungkan mata rantai itu. "Rata-rata kami bekerja smpai pukul 10 malam setiap hari," ujar seorang pmeriksa. Jaksa Agung Ismail Saleh. yang lagi getol-getolnya menyapu segala bentuk korupsi, memperkuat pasukannya di Sektor Bogor itu. Tim kejaksaan yang dipimpin Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Santoso Wiwoho, sejak awal bulan ini diperkuat dengan dua orang jaksa dari Bagian Penindakan Korupsi Kejaksaan Agung, Ramlan dan Siburian serta dua akuntan. Menurut pemeriksa, kedelapan pejabat Dispenda yang kini ditahan, termasuk Kepala Dispenda Brongkos Sya'ban, "telah membuka mulut". Ternyata, hampir semua sumber pemasukan Dispenda antara lain retribusi angkutan hasil alam dan izin dispensasi jalan, digorok mereka. Penggorokan itu pun tidak tanggung-tanggung. Misalnya, seperti juga diceritakan Bupati Soedradjat, dari 20 pos pemungutan retribusi di kabupaten itu yang dulunya hanya menghasilkan pemasukan untuk daerah sekitar Rp 1,4 juta sehari, kini meningkat menjadi Rp 7,9 juta sehari. "Setahun diperkirakan kebocoran mencapai sekitar Rp 2 milyar," ujar seorang pemeriksa. Dan caranya, sederhana sekali. Para petugas pemungut retribusi mengedarkan karcis-karcis palsu di setiap pos pemungutan - hanya sebagian kecil karcis resmi yang dijual. Hanya saja, cara sederhana itu selama bertahun-tahun didukung para pejabat. "Semua aparat daerah terlibat dan aparat pengawas tidak berfungsi," ujar pemeriksa itu lagi. Aparat pengawas, seperti inspektur wilayah provinsi dan kabupaten, menurut pemeriksa, setiap turun kelapangan untuk . . . menerima bagian Rp 75.000 sampai Rp 100.000. Pihak DPRD, yang seharusnya mempertanyakan tidak terpenuhinya target pendapatan murni daerah setiap tahun anggaran, ternyata juga tidak melaksanakan fungsi itu. Bahkan, menurut pemeriksa, beberapa orang tersangka, termasuk Brongkos, mengaku memberi juga upeti kepada pimpinan DPRD. Yang disebut-sebut menerima bagian di antaranya adalah Ketua DPRD, Ketua Fraksi Karya Pembangunan, dan Wakil Ketua PPP. "Ketiga orang itu menerima masing-masing Rp 8 juta," ujar pemeriksa itu lagi. Selain pimpinan DPRD, semua anggota wakil rakyat itu menurut pemeriksa juga mendapat jatah masing-masing Rp 5 juta untuk uang muka pembelian mobil. Di kantor Bupati, menurut pengakuan tersangka kepada pemeriksa, juga hampir semua atasan ikut menerima hadiah, termasuk Bupati Ayib Rughby, yang kini menjadi Direktur Jenderal Transmigrasi. Ayib, menurut Brongkos, pernah diberinya hadiah Rp 10 juta. Ayib pula yang mengangkat Brongkos menjadi Kepala Dispenda, lima bulan sebelum ia menyerahkan jabatan kepada bupati baru, Soedradjat, Oktober 1983. Brongkos, 45, yang dilahirkan di Maluku Utara, dan menamatkan Fakultas Hukum UI, 1976, sebelumnya menjabat Kepala Bagian Tata Usaha Dispenda Bogor. Namun, benarkah semua pengakuan para tersangka, yang merupakan tuduhan bagi aparat lainnya? Ketua DPRD Bogor, Elif Jeihan, yang juga disebut-sebut, tidak banyak omong. "Sebaiknya saya tidak memberi komentar. Yang jelas, setiap pembenahan ke dalam di Pemda pasti saya dukung," ujar Elif Jeihan lewat telepon. Bekas bupati, Ayib Rughby, 54, membantah keras keterlibatannya. "Jangan melibatkan saya ke dalam urusan si Brongkos. Saya tidak ada urusan apa-apa dengannya," ujar Ayib Rughby. Ayah tujuh orang anak itu bersumpah, tidak tahu sama sekali kasus korupsi yang terjadi di Dispenda itu. "Kalau saya tahu mereka main kotor, sudah saya sikat sejak dulu," ujar Rughby. Salah seorang petugas Itwilprop Jawa Barat, Drs. Yusuf Fauzi, yang dituduh menerima hadiah bila memeriksa keuangan Dispenda Bogor, juga membantah, "Kami sama sekali tidak diperbolehkan meminta uang kepada yang diperiksa." Namun, bersama tiga orang petugas lainnya, Fauzi mengaku mendapat servis dari Brongkos: makan dan penginapan. Ia juga tidak menolak mendapat "uang bensin" setelah selesai melakukan pemeriksaan. "Asal masih wajar," katanya. Yang secara tegas mengaku pernah menerima uang Rp 1 juta dari Dispenda adalah bupati baru, Soedradjat. Semua saya tolak, karena tidak tahu dasar hukumnya. Tapi, setelah saya tahu uang itu halal - berdasarkan undang-undang Ipeda - saya menerimanya," kata SoedradJat. Bupati itu pun tidak menolak jika cara terbaik untuk membersihkan aparatnya dengan "bedol desa". Tapi ia mengatakan, "Itu bukan wewenang saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus