SIANG itu pengunjung pengadilan di Kalianda terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama bersikap netral. Yang kedua berteriak penuh kegembiraan. Seorang wanita baya dari kelompok Ini bersujud syukur di lantai. Kelompok ketiga menjerit-jerit marah. Seorang wanita dari kelompok ini, setelah meronta-ronta, lalu pingsan tercekik kemarahannya sendiri. Wanita yang bersujud adalah ibu terdakwa. Dan yang menjerit-jerit adalah istri si korban pembunuhan. Petugas berusaha meredakan suasana siang yang panas di Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan, pertengahan bulan lalu. Masih duduk di kursi terdakwa dengan tenangnya, Rahmat Saleh, yang baru saja lepas dari tuntutan hukuman meski terbukti membunuh Kusnen bin Ngusman. Lalu ke mana Pak Hakim yang memimpin sidang? Ia ngibrit keluar sidang. Dua hakim lainnya duduk melongo. Tinggal Jaksa Saeran, yang membawa Rahmat ke meja hijau, mengomel menghadapi keadaan yang tak disangka-sangka itu. Sebelumnya, jaksa itu menuntut agar majelis hakim yang dipimpin Damsuri Nungcik memvonis Rahmat dengan hukuman 6 tahun penjara. Menurut pendapatnya, setelah mendengar pengakuan dan keterangan beberapa saksi, Rahmat terbukti membunuh Kusnen. Malam itu, Oktober lalu, Rahmat mendatangi Kusnen di tokonya yang terletak bersebelahan dengan tokonya sendiri. Datang-datang Rahmat menuduh Kusnen mengguna-gunainya - sampai, begitu ceritanya, ia jatuh dari sepeda motor. Kusnen membantah. Terjadi perang mulut sebentar. Lalu Kusnen berusaha menghindar dengan cara meninggalkan Rahmat. Tapi Rahmat, 23, tampaknya sudah kalap. Ia mencabut pisau dari lipatan celananya, mengejar, lalu menusuk punggung Kusnen. Korban masih berusaha lari, tapi jatuh. Rahmat terus memburu dengan pisaunya. Beberapa kali ia menujahkan pisaunya ke punggung dan leher korbannya. Kusnen tewas seketika di hadapan istrinya, Suprapti, meninggalkan empat anak. SIDANG berjalan lancar: pengakuan terdakwa dan keterangan saksi klop. Sampai-sampai Majelis Hakim, menurut Jaksa Saeran kemudian, hanya membutuhkan waktu tiga menit setelah tuntutan Jaksa untuk membacakan vonis - tanpa pembelaan terdakwa. Keputusannya, meski terdakwa terbukti mem6unuh Rahmat, ia harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Alasannya? Terdakwa tidak waras. Memang ada pasal KUHP (pasal 44) yang menjamin bahwa terdakwa cacat jiwa bebas dari tuntutan hukum. Tapi Jaksa Saeran mempertanyakan apakah pasal itu dapat dikenakan kepada Rahmat. Pertama, tidak ada saksi yang menyatakan terdakwa gila atau sebangsanya - juga dari ibu terdakwa sendiri. Dan kedua, sebelum memperkarakan Rahmat, polisi penyidik telah memeriksakannya ke dokter ahli yang menyimpulkan: tersangka sehat-sehat saja. Kalaupun selama dalam persidangan ada tanda-tanda yang meragukan kewarasan terdakwa, menurut Saeran, semestinya Majelis memerintahkan dilakukan pemeriksaan ulang. Diakui Jaksa itu, ada surat keterangan "dokter Semarang" yang menyatakan terdakwa sakit ayan. Entah siapa yang menyampaikan surat itu ke pengadilan, katanya. Majelis Hakim tidak mau panjang komentar - "tanya saja ke Humas," kata Hakim Damsuri kepada Effendy Sa'at dari TEMPO. Sedangkan ketua Pengadilan Tinggi Lampung, Soewarno, cuma bilang, "Bagaimana saya mau memberikan komentar, sedangkan duduk persoalannya saja saya belum mengerti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini