Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana di ruang pertemuan di Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, tiba-tiba beku. Tak ada yang berani bicara. Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, semuanya seperti terpaku di kursinya. Tiada lagi diskusi soal ada-tidaknya pencemaran di Teluk Buyat, Minahasa, akibat pembuangan lumpur limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya.
"Ini kan sudah valid. Kenapa mesti kita ramai-ramai lagi?" kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan logat Makassar yang kental. "Kalau, misalnya, ada yang berkeberatan segala macam, biar saja nanti Newmont yang berkeberatan. Ini kan hasil pemerintah."
Palu sudah diketuk pemerintah: Newmont mencemari Teluk Buyat. Keputusan final ini bahkan akan diteruskan dengan tuntutan di meja hijau. "Akan ditempuh proses pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban hukumnya," ujar Rachmat Witoelar.
Gebrakan itu membuat plong para pencinta lingkungan. "Inilah babak baru penegakan sanksi hukum atas pelanggar kasus lingkungan," kata P. Radja Siregar, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia yang sudah memperjuangkan kasus Buyat sejak empat tahun silam. Selama ini, menurut dia, yang bisa dibawa ke pengadilan cuma perusahaan-perusahaan kelas teri.
Rencananya, pemerintah akan menjerat Newmont dengan Pasal 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal itu disebutkan, siapa saja yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Rachmat menjelaskan, berkas gugatan sedang disusun. Untuk gugatan pidana, kemungkinan besar kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) tak akan mengajukan gugatan khusus. Tapi, mereka akan mendukung gugatan pidana yang sudah diajukan masyarakat Buyat Pante, Minahasa, Sulawesi Utara, sejak pertengahan Agustus silam. Hasil penelitian Tim Terpadu Penanganan Kasus Buyat oleh berbagai pakar dari perguruan tinggi negeri dan lembaga swadaya masyarakat itu akan dijadikan amunisi tambahan untuk "menembak" Newmont.
Di luar gugatan pidana, KLH juga sedang menyiapkan gugatan perdata. "Saat ini ada tim dari berbagai universitas yang menyusun berkasnya," kata Ketua Tim Teknis Penanganan Kasus Buyat, Masnellyarti Hilman. Tim kini sedang menghitung berapa besar nilai kerugian dan ganti rugi apa yang harus dibayar untuk merehabilitasi teluk yang telah ternoda dengan racun arsenik itu. "Kita yakin bahwa kita benar, 100 persen," ujar menteri yang juga suami aktivis lingkungan kondang Erna Witoelar ini.
KLH memang mengantongi banyak peluru untuk menunjukkan kesalahan perusahaan penggarap 17 tambang emas di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Indonesia, Australia, dan Selandia Baru itu. Salah satunya adalah soal konsentrasi arsen total dan merkuri total di lokasi penimbunan tailing Teluk Buyat, yang lebih tinggi dibandingkan dengan di teluk lain (lokasi kontrol) dan kondisi awal.
Berdasarkan referensi ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004, lumpur dasar laut itu dinyatakan tercemar bila kandungan arsennya 50-300 part per million (ppm, satu per sejuta). Padahal, di Teluk Buyat, kadar arsen di sedimennya berkisar 2,3 sampai 666 ppm. Sedangkan di Teluk Totok, sebelah Teluk Buyat yang tak menerima buangan tailing, kadar arsen pada sedimennya cuma 5,26 hingga 37 ppm.
Kejanggalan lain, Newmont membuang limbah di kedalaman 82 meter sejak 1996 lalu karena asumsi adanya termoklin pada kedalaman 50-70 meter. Jadi, partikel-partikel sedimen akan stabil dan tak terangkat oleh gerakan ombak karena tertahan lapisan termoklin. Hal itu dinyatakan Newmont dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 1994.
Kenyataannya, empat penelitian independen—yakni Tim Independen (1999), Kajian Kelayakan Tailing (2000), Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2000), dan Kantor Lingkungan Hidup (2003)—menunjukkan lapisan ajaib penyaring partikel halus itu tak kelihatan batang hidungnya. Inilah salah satu sumber persoalan.
Newmont, menurut pejabat humasnya, Kasan Mulyono, tetap yakin telah melakukan prosedur penambangan dengan benar. "Kami masih menunggu gugatan itu dan tetap kooperatif," kata Kasan.
Tapi, meski mengantongi sederet bukti kuat, entah mengapa pemerintah masih lamban bergerak. Selasa pekan lalu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara malah mengembalikan berkas dengan enam tersangka dari Newmont itu ke polisi untuk dilengkapi. Alasannya, menurut juru bicara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Robert Ilat, "Polisi baru melengkapi 8 dari 13 poin yang diminta kejaksaan." Bisik-bisik yang beredar di Kejaksaan Agung menyebutkan, salah satu hal yang harus dilengkapi polisi adalah kesaksian yang meringankan Newmont.
Di tengah kelambanan itu, suara pemerintah soal Buyat tiba-tiba kembali tidak bulat. Suara lonjong itu datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo. Dia dan anak buahnya di DPR pekan lalu masih bersikukuh tiada pencemaran. "Terus terang, menurut kami, Teluk Buyat tidak tercemar," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Riset, dan Lingkungan Hidup, Kamis lalu.
Pendapat Purnomo itu bertentangan dengan sikap bosnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dan kebetulan pendapat itu muncul setelah Wayne Murdy, CEO Newmont, datang ke Indonesia. "Apakah ini benar-benar sebuah kebetulan, kita tidak tahu," kata Radja.
Sebenarnya, kata Masnellyarti, semua institusi sudah sepakat dengan kesimpulan bahwa Buyat tercemar dan Newmont harus bertanggung jawab. "Tapi secara perorangan ada yang nyeleneh, lain sendiri," katanya.
Sebuah sikap nyeleneh, memang, karena Departemen ESDM ini pada Agustus lalu, di hadapan lebih dari 100 wartawan di sebuah seminar, telah berjanji menerima apa pun hasil penelitian Tim Terpadu Buyat yang terdiri atas para pakar dari lintas departemen dan universitas itu.
Burhan Sholihin, Rr. Ariyani, Muhamad Fasabeni, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo