Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBERNUR Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, tampaknya harus bersiap-siap duduk di kursi terdakwa. Setelah lebih dari dua bulan berkas perkaranya tersimpan di laci Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pekan depan berkas itu akan dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ”Staf saya sudah berkoordinasi dengan Ketua PN Jakarta Pusat,” kata Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, Jumat pekan lalu.
Puteh diduga menyelewengkan dana pembelian helikopter jenis MI-2 Rostov milik Pemerintah Nanggroe Aceh. Dari pemeriksaan dan bukti yang terkumpul, KPK menyimpulkan negara mengalami kerugian Rp 4 miliar akibat perbuatan Puteh. Menurut KPK, Puteh telah menggelembungkan harga helikopter itu hingga Rp 12,5 miliar, dari harga yang semestinya sekitar Rp 8 miliar.
Walau pemeriksaannya sudah lengkap dan rampung pada September lalu, Puteh belum bisa diadili. Sebab, kendati hakim ad hoc tindak pidana korupsi sudah dilantik pada 7 Oktober lalu, pengadilan tindak pidana korupsi itu sendiri belum punya gedung. Rencananya, pengadilan itu kelak akan digelar di bekas Gedung Bank Uppindo di kawasan Kuningan, Jakarta.
Tapi tampaknya Ruki tahu, jika menunggu semua tersedia, KPK akan mendapat sorotan tajam. Sebab, bisa-bisa semua perkara yang diperiksa KPK hanya tersimpan di laci lantaran menunggu pengadilan korupsi terbentuk. Karena itu, langkah KPK melemparkan kasus Puteh ke pengadilan negeri dinilai tepat.
Langkah ini juga tak menyalahi UU No. 30/202 tentang KPK. ”KPK secara administrasi sebenarnya bisa melimpahkan perkara itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, Rabu pekan lalu kepada Tempo. ”Tindak pidana korupsi merupakan unit kerja pengadilan ne-geri,” ia menambahkan.
Di pengadilan negeri, perkara dari KPK akan diteliti dan dibagi oleh ketua pengadilan. ”Secara ex officio, ketua pengadilan negeri adalah hakim tindak pidana korupsi,” ujar Bagir. Setelah itu, ketua pengadilan akan memanggil hakim tindak pidana korupsi untuk bersidang. Mahkamah Agung kini sedang memikirkan para hakim penanganan kasus korupsi dari luar kota.
”Menurut saya, mereka tak perlu pindah,” kata Bagir tentang para hakim dari luar kota itu. ”Tapi itu pun tergantung ketersediaan dananya.” Mahkamah Agung, menurut Bagir, sudah mengusulkan berbagai fasilitas dan jumlah gaji para hakim itu ke Sekretariat Negara. ”Namun sampai kini MA belum menerima surat keputusan presiden mengenai gaji itu,” Bagir menjelaskan.
Menurut Mas Achmad Santosa, para hakim ad hoc itu memang sebenarnya sudah bisa melaksanakan tugasnya. Alasan Mas Achmad, mereka sudah diambil sumpahnya di depan presiden. ”Jadi, persidangan kasus korupsi limpahan KPK tidak perlu menunggu adanya gedung pengadilan,” katanya.
Mas Achmad mencontohkan persidangan beberapa kasus yang pernah digelar di gedung milik Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Menurut dia, jika kasus korupsi itu lambat ditangani, bukan saja semangat para hakim antikorupsi turun, masyarakat juga akhirnya makin apatis. Mas Achmad juga meminta pemerintah secepatnya menurunkan keputusan tentang gaji para hakim itu.
Dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, sorotan terhadap KPK memang makin tajam. Dua pekan lalu, dalam rapat kerja dengan KPK, sejumlah anggota DPR menuding lembaga ini cengeng, hanya bisa mengeluh. Ketika itu, di depan Komisi Hukum, Taufiequrachman Ruki memaparkan sejumlah kendala yang dihadapi komisinya.
Ruki menyebut belum cukupnya penguatan dan pembangunan kelembagaan (capacity building) dari pemerintah untuk KPK. Menurut dia, belum cukupnya capacity building ini menjadi salah satu kendala lembaganya dalam pemberantasan korupsi. ”Bagaimana kami memaksa dan meminta anak buah bekerja baik, tanpa mereka tahu hak mereka,” kata Ruki.
Paparan Ruki inilah yang dianggap cengeng oleh sejumlah anggota DPR. Tapi Ruki menukas, ”Ini kan kendala kami. Kalau tidak ke DPR, kepada siapa kami melaporkan?” Ruki juga menyatakan keterbatasan sumber daya manusia sebagai kendala utama lembaganya untuk bergerak. Sebagai lembaga pemberantas korupsi dengan kewenangan besar, KPK, kata Ruki, perlu memiliki penyidik andal.
Para penyidik itu diambil dari kejaksaan dan kepolisian. Untuk memberikan gambaran, menurut Ruki, jika dari kepolisian, penyidik itu setidaknya berpangkat komisaris besar. ”Untuk menangkap ikan besar, kan perlu tenaga besar juga,” katanya. Jumlah penyidik inilah yang masih jauh dari cukup.
KPK sudah meminta sekitar 50 penyidik dari kepolisian. ”Tapi Pak Da’i Bachtiar bilang, belum bisa memenuhi semua permintaan kami karena mereka juga kekurangan penyidik,” kata Ruki. Hal yang sama juga terjadi ketika Ruki meminta penyidik dari kejaksaan. ”Itulah kendala kami, tapi kan masyarakat tidak tahu,” kata Ruki.
Sukma N. Loppies
Puasa Gaji Sang Hakim
SUDAH lima bulan Dudu Duswara terpilih sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Tapi jangan kaget: selama itu pula ia belum menerima gaji sepeser pun. Padahal, sejak Juli lalu, ia sudah melepas pekerjaannya sebagai dosen di Universitas Langlangbuana, Bandung.
Praktis sejak itu ia hanya mengikuti sejumlah pelatihan hakim tindak pidana korupsi yang diadakan di Jakarta dan Bandung. ”Tapi saya tetap istikamah,” katanya. ”Pemerintah pasti akan memperhatikan kami.” Ya, mudah-mudahan.
Meski belum menerima gaji, Dudu mengaku bangga menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Sampai kini jumlah hakim ad hoc itu hanya sembilan orang. Merekalah yang lulus seleksi dari sekitar 300 pelamar dari seluruh Indonesia. ”Pekerjaan ini merupakan pengabdian terhadap bangsa dan negara,” kata Dudu, ayah tiga anak, kandidat doktor hukum tata negara.
Besarnya gaji para hakim perkara korupsi itu kini sedang digodok di Sekretariat Negara. Ada perbedaan untuk masing-masing hakim. ”Untuk tingkat pengadilan negeri, kalau tidak salah diusulkan Rp 9 juta,” kata Mas Achmad Santosa. Selain gaji dan rumah, karena pekerjaan yang rawan, para hakim itu juga diusulkan mendapat fasilitas pengawalan.
Mas Achmad menilai, gaji para hakim tindak pidana korupsi harus lebih dari cukup. Sebab, kasus yang ditangani adalah kasus korupsi yang, dalam hukum, termasuk kejahatan extraordinary. Pelaku kejahatan semacam ini cenderung melakukan apa saja, agar lepas dan bebas dari jerat hukum. Nah, kalau selama lima bulan belum digaji juga, bagaimana?
SNL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo