Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berburu Koruptor di Layar Kaca

Kejaksaan menayangkan wajah koruptor yang buron di televisi. Tim pemburu bekerja secara konvensional dan dengan peralatan seadanya.

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat, Dharmono Konstituanto Lawi, masuk televisi. Bukan sebagai narasumber seperti yang sering dilakukan oleh para wakil rakyat lainnya. Dharmono ditayangkan dalam acara yang membuatnya kesal: Wanted. ”Program ini tak sesuai dengan budaya kita. Ini penistaan,” ujarnya kepada Tempo lewat sambungan telepon, Rabu pekan lalu.

Wanted adalah program penayangan sosok koruptor yang berstatus buron, yang muncul di stasiun ANTV setiap Senin pukul 21.30. Sejak ditayangkan pertengahan Oktober lalu, acara itu sudah menayangkan 10 dari 16 episode ”koruptor buron” yang direncanakan. Acara ini mirip program sejenis di Amerika Serikat yang terkenal: American Most Wanted.

Dharmono muncul di tayangan itu karena memang ia berstatus koruptor buron. Namun, kasusnya bukan ketika ia menjadi anggota DPR, melainkan ketika berstatus Ketua DPRD Banten. Ia divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Serang lantaran dinyatakan terbukti menyelewengkan dana perumahan anggota Dewan di Banten sebesar Rp 14 miliar. Pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat kasasi tetap menyatakan ia bersalah. Dharmono merasa diperlakukan tidak adil. Maka, April silam ia kabur. ”Saya dikerjain,” ujarnya.

Menurut dia, banyak anggota DPRD dan pejabat Banten yang terlibat kasus ini tapi tidak diadili. Mereka, ujar Dharmono, antara lain Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, dan Kepala Biro Keuangan. ”Mereka ikut rapat, merumuskan, menandatangani hingga mencairkan uang, tapi kok cuma saya yang dikejar-kejar,” kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.

Lenyapnya Dharmono membuat jaksa kesulitan melakukan eksekusi. Maka, wajahnya pun nongol dalam Wanted episode ke-6 yang ditayangkan 30 Oktober lalu. Dalam penayangan itu ada iming-iming, siapa pun yang menemukan jejak Dharmono akan mendapat hadiah Rp 25 juta.

Dari nama-nama koruptor yang ditayangkan, memang baru Dharmono yang memprotes acara itu—kendati tetap dari tempat yang tak bisa dilacak kejaksaan. Sedangkan yang lain memilih diam atau memprotes lewat pengacaranya. ”Intinya, mereka keberatan dengan acara itu,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.

Menurut Abdul Rahman, program hasil kerja sama kejaksaan dan ANTV ini lebih ditujukan untuk menggugah kepedulian masyarakat. Peranan masyarakat untuk membantu membekuk para penilap uang negara itu, kata Jaksa Agung, sangat diperlukan. Menurut Jaksa Agung, sejak penayangan itu kejaksaan sudah mengantongi sejumlah informasi keberadaan para buron dari laporan masyarakat. ”Sekarang intelijen kejaksaan sedang menelusuri informasi itu,” ujarnya.

General Manager of Current Affair ANTV, Ivan Haris, mengakui masyarakat memang banyak memberi informasi tentang koruptor setelah wajahnya tampil di televisi. ”Informasi masyarakat telah kami serahkan ke Markas Besar Polri dan Kejaksaan Agung,” ujar Ivan. Salah satu informasi yang masuk, ujar Ivan, keberadaan Marimutu Sinivasan, pemilik PT Texmaco yang menunggak utang kepada negara Rp 29 triliun. Informasi keberadaan ”raja tekstil” ini telah diserahkan ke polisi dan kejaksaan.

ANTV membuat tiga model untuk menampung laporan masyarakat, yakni live, website ANTV, dan hotmail. Untuk live, menurut Ivan, telepon yang masuk sangat banyak. Hanya, ”Masyarakat banyak belum mengerti. Acara ini dianggap talk show dan lebih banyak mengomentari ketimbang memberi informasi.”

Tapi tak semua antusias dengan program ini. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mempertanyakan keefektifan dimunculkannya satu per satu wajah koruptor itu. ”Apalagi hanya selama 30 menit dan lewat satu stasiun televisi,” kata peneliti ICW, Emerson Yuntho.

Menurut Emerson, media massa sebenarnya sudah sering menginformasikan perihal koruptor buron. Masalahnya, ujar Emerson, sebagian besar koruptor itu bersembunyi di luar negeri, misalnya di Singapura. ”Kejaksaan bukannya tidak tahu, tapi tidak bisa membawa ke Indonesia karena tidak ada perjanjian ekstradisi,” ujarnya.

Bukan hanya mereka telah aman di negara tetangga—seperti yang disebut Emerson—yang membuat kejaksaan tak berdaya menghadapi para koruptor kabur itu. Sumber Tempo menyebutkan, tim kejaksaan gagal menangkap sejumlah koruptor itu karena operasi penangkapan yang mereka gelar kerap bocor. ”Para koruptor itu seperti sudah tahu,” ujar sumber Tempo di Kejaksaan Agung.

Di kalangan para jaksa, tim pemburu koruptor itu biasa disebut ”tim pemburu hantu”. Beranggotakan tak lebih dari sepuluh orang, tim itu kini mendapat tugas Jaksa Agung untuk memprioritaskan membekuk beberapa koruptor yang diyakini masih berkeliaran di ”Tanah Jawa”. Antara lain Dharmono Lawi dan Nader Taher, Direktur PT Siak Zamrud Pusaka yang dihukum 14 tahun karena ”membobol” Bank Mandiri sebesar Rp 35 miliar.

Dharmono sudah ditayangkan di televisi, sedangkan Nader belum. Di antara ke-14 koruptor yang masuk daftar Wanted itu terdapat pula nama seperti David Nusa Wijaya, Samadikun Hartono, dan Sujiono Timan. Ketiga orang ini tak diketahui di mana keberadaannya.

Seorang jaksa di Kejaksaan Agung berkisah bagaimana tim ini pernah mengejar seorang buron hingga ke daerah pinggiran Jawa Barat. ”Ternyata yang dikejar, sejam sebelum tim itu datang, sudah kabur. Tim pemburu sampai terheran-heran,” ujar jaksa tersebut.

Kerja ”tim pemburu hantu” pun bisa dibilang konvensional. Jangan bayangkan mereka memiliki perlengkapan canggih. Modal tim hanya mobil operasional, senjata, dan dana untuk menginap jika ke luar kota. Kejaksaan Agung tak memiliki alat penyadap suara atau pendeteksi lokasi seperti milik Markas Besar Kepolisian. ”Masa, kami harus pinjam polisi,” ujar seorang jaksa. Mungkin karena ”kalah modal” dengan yang diburu itu, tim pemburu koruptor pun tertatih-tatih mengejar buruannya. Yang diburu punya perlengkapan lebih canggih dan modal lebih besar.

Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus