Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Aset dan Nama Baik

Pontjo Sutowo menuntut ganti rugi Rp 1 triliun lebih dari Bank Exim. Hal itu dilakukan karena pengusaha ini dituduh mengakali pembelian aset Bank Pacific senilai Rp 876 miliar.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA JARANG tampil belakangan ini, tapi begitu muncul, suaranya menyentak keras. Dialah Pontjo Sutowo, putra mantan Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo, yang juga bos kelompok perusahaan Nugra Santana. Pontjo membantah tudingan Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), yang menuduhnya telah berkolusi (bersekongkol) dalam pengambilalihan aset Bank Pacific senilai Rp 876 miliar, tanpa mengeluarkan uang sesen pun. Menurut Pontjo—yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia—tuduhan Bank Exim terlalu mengada-ada, bahkan telah mencemarkan nama baiknya. "Saya membeli aset Bank Pacific dengan uang saya sendiri, dan disetujui oleh Bank Indonesia," ujarnya. Ia mengaku tak punya hubungan dengan kasus utang-piutang antara Bank Exim dan Bank Pacific, yang dulu dikendalikan oleh Endang Utari Mokodompit, kakak Pontjo. Sebab itu, Pontjo, selaku Direktur Utama PT Nugra Santana, Senin pekan ini menggugat Bank Exim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebelumnya, ia, atas nama pribadi, menuntut ganti rugi lebih dari Rp 1 triliun dari bank pemerintah tersebut—termasuk kompensasi Rp 500 miliar bila iklan permintaan maaf tak dipasang oleh Bank Exim. Melalui pengacara Maiyasyak Johan, Pontjo juga mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) karena asetnya yang dibeli dari Bank Pacific disita pengadilan. Meski Pontjo mengaku tak punya hubungan hukum dengan bisnis Endang, tak bisa dimungkiri bahwa perkara ini terhitung salah satu buntut dari kisah sensasional Bank Pacific. Semasa dikendalikan Endang, bank yang sahamnya dimiliki Bank Indonesia dan keluarga Ibnu Sutowo itu mengalami sakit parah. Pada 1995, bank itu dikabarkan terbelit kredit macet sekitar Rp 1 triliun, tak lain karena Endang banyak mengucurkan kredit untuk kelompok perusahaannya. Selain itu, Bank Pacific juga tersandung masalah commercial paper (surat utang) senilai Rp 800 miliar. Bank itu kemudian diakuisisi Bank BNI 1946, sebelum akhirnya dilikuidasi pemerintah pada November 1997. Rupanya, urusan Bank Pacific dengan para krediturnya tak kunjung tuntas. Seperti juga para pembeli surat utang yang dijamin oleh Bank Pacific, Bank Exim termasuk kreditur yang tak kunjung bisa memperoleh kembali piutangnya sekitar US$ 70 juta, atau senilai Rp 560 miliar—berdasarkan kurs Rp 8.000 per dolar AS. Utang itu berasal dari pembelian surat utang yang diterbitkan dua anak perusahaan Bank Pacific, yakni PT Indopac Perdana Finance dan PT Pacific International Finance. Lantas, Bank Exim menempuh upaya hukum. Hasilnya, vonis pailit terhadap PT Pacific dan kemenangan perdata terhadap PT Indopac. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyita berbagai aset Bank Pacific, baik proyek properti Lido Resort di Sukabumi maupun aset lainnya, termasuk proyek Bukit Timah di Singapura. Sebelumnya, lewat pengacara Fredrich Yunadi, Bank Exim mencoba mencari penyelesaian lewat Ibnu Sutowo dan Pontjo, tapi tanpa hasil. Belakangan, aset proyek Lido, yang nilainya Rp 1,3 triliun, dikabarkan telah diambilalih oleh Bank Indonesia dengan harga Rp 800 miliar. Dan yang membuat kaget pihak Bank Exim, aset non-Lido, yang nilainya Rp 876 miliar, dialihkan kepada Pontjo dengan harga hanya Rp 250 miliar. Janggalnya lagi, aset itu dibeli Pontjo dengan dana kredit dari Bank Pacific. Padahal, Pontjo, selaku Presiden Komisaris Bank Pacific, seyogyanya hanya bertindak sebagai kuasa dari Endang untuk menjual aset tersebut. Waktu itu pula, perusahaan Pontjo, Nugra Santana, diketahui memiliki saham di dua anak perusahaan Bank Pacific yang menerbitkan surat utang di atas. Dari situlah muncul dugaan adanya kolusi pengambilalihan aset Bank Pacific antara Pontjo dan Endang—tentu dengan sepengetahuan Bank Indonesia. Yang mengherankan, sewaktu Exim menggugat PT Indopac dan kemudian aset Bank Pacific disita pengadilan, Pontjo tak mengajukan gugatan intervensi. Kendati demikian, baik Pontjo maupun Maiyasyak membantah bahwa Pontjo adalah komisaris utama Bank Pacific. Nugra Santana, kata mereka, juga tak punya hubungan hukum dengan dua perusahaan penerbit surat utang tadi. Pontjo juga menandaskan bahwa aset non-Lido dibeli dengan uangnya sendiri, berupa deposito di Bank Pacific dan transfer dana dari rekeningnya di Bangkok Bank di Singapura. "Bank Exim telah memutarbalikkan fakta," ujarnya. Justru keberanian Exim membeli surat utang dari dua anak perusahaan Bank Pacific, menurut Pontjo, mengundang kecurigaan. "Kenapa Bank Exim mau membeli commercial paper dari dua perusahaan kecil begitu? Atau, itu karena ada hubungan baik antara orang-orang Exim dan dua perusahaan itu? Jadi, siapa yang bersekongkol sebetulnya?" tambahnya. Sejauh ini, direksi Bank Exim enggan bersilat lidah melawan Pontjo. Padahal, piutangnya pada Bank Pacific belum pasti kembali. Apalagi vonis kemenangan perdatanya dan penyitaan aset tadi belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Happy S., Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus