Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ini Pengadilan atau Sandiwara?

Tiga saksi dari Bulog mencabut keterangan mereka dalam BAP. Seperti Rahardi Ramelan, mereka bilang, ruilslag Bulog-Goro itu tidak merugikan, tapi menguntungkan negara.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJUTAN dan kontroversi mewarnai sidang perkara korupsi uang milik Badan Urusan Logistik (Bulog) yang pekan-pekan ini berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga saksi pertama dalam kasus ruilslag (tukar bangun) tanah Bulog dan PT Goro Batara Sakti, Senin lalu, mencabut keterangan mereka yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di Kejaksaan Agung. Mereka terdiri atas Deputi Keuangan Bulog, Ruskandar, mantan Kepala Bulog Jakarta, Ahmad Noor, dan mantan Kepala Biro Perlengkapan Bulog, Yunisar. Ketiganya berpendapat, kasus tersebut tak merugikan, tapi justru menguntungkan Bulog. Pendapat mereka ini setali tiga uang dengan pendapat bos mereka, yakni Kepala Bulog, Rahardi Ramelan. Kesaksian tiga pejabat itu diutarakan dalam persidangan mantan komisaris utama Goro, Tommy Soeharto, yang duduk di kursi terdakwa. Seminggu sebelumnya, mereka bersaksi serupa dalam persidangan dengan terdakwa mantan Direktur Utama Goro, Ricardo Gelael. Tommy, yang sering berbicara congkak, selama persidangan kasus Bulog versus Goro ini berkesan lebih banyak diam. Tapi pengunjung sidang, yang kebanyakan gadis remaja, masih saja mengelu-elukan putra bungsu mantan presiden Soeharto itu. Seorang wanita berkerudung sempat pula mengalungkan karangan bunga ke leher Tommy, yang selalu dijaga ketat oleh para pengawalnya. Sebagaimana ramai diberitakan, dalam perkara ruilslag itu, Goro tak kunjung menyediakan tanah seluas 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara, sebagai pengganti tanah seluas 50 hektare milik Bulog di Kelapagading, Jakarta Utara. Janji Goro, yang sedianya mendirikan bangunan di lahan itu, juga tak dipenuhi. Namun, Goro membongkar 11 gudang dan menggunakan lima gudang Bulog di Kelapagading. Yang lebih tak masuk akal, dana untuk membeli tanah seluas 71 hektare di Marunda yang direncanakan oleh Goro untuk Bulog juga ''diambil" dari Bulog. Transaksi atas dasar tipu daya murahan ini menyebabkan Bulog, yang notabene sebuah perusahaan negara, dirugikan Rp 95 miliar lebih (TEMPO, 19 April 1999). Entah apa yang menyelinap dalam benak Kepala Bulog Rahardi Ramelan, kerugian itu malah dianggap bukan kerugian. Menjelang kasus korupsi itu disidangkan pertama kali, ia tiba-tiba saja menyatakan ruilslag itu batal, dengan alasan Bulog tidak dirugikan. Seakan ''berduet" dengan pengacara Tommy, M. Dault, Rahardi tak lupa menyarankan agar kasus itu disidangkan sebagai perkara perdata. Belum lagi masyarakat ''pulih" dari keterkejutan yang ditimbulkan Rahardi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ''meramaikan" suasana dengan membatalkan perkara terdakwa mantan Kepala Bulog Beddu Amang. Alasannya sepele: jaksa tidak mencantumkan identitas Beddu sebagai anggota MPR. Dan Senin lalu, tiga saksi dari Bulog serentak mencabut keterangan dalam BAP. ''Undang-undang kan membolehkan saksi mengubah keterangan," ucap saksi Ruskandar, 59 tahun, yang tampak gelisah --seakan harus bersandiwara-- dan selalu mengubah posisi duduknya di persidangan. Menurut Ruskandar, sikapnya berubah lantaran ia kini memperoleh data kasus yang berbeda dengan data sewaktu diperiksa jaksa dulu. Lantas, Ruskandar merinci laba ganda sekitar Rp 400 miliar yang bakal dipetik Bulog. Keuntungan itu berasal dari peningkatan harga tanah dan bangunan Bulog di Kelapagading yang digunakan Goro, naiknya harga tanah 71 hektare di Marunda yang milik Bulog, uang kompensasi pembatalan ruilslag sekitar Rp 10 miliar, serta bagian setengah persen dari omzet kotor Goro. Keterangan ketiga saksi itu langsung disambar oleh tim pembela Tommy, yang dikoordinasikan M. Dault. Dengan tak terbuktinya salah satu unsur korupsi, yakni merugikan keuangan negara, otomatis tuduhan korupsinya rontok, dan terdakwa harus dibebaskan. Tapi, ''Ini bukan soal lolosnya Tommy. Sejak awal, kasus ini memang tak layak disidangkan karena perkaranya perdata," kata Dault. ''Orkestrasi" orang-orang Bulog itu tidak menimbulkan rasa gentar di hati jaksa Fachmi. Dia optimistis bisa membuktikan unsur merugikan negara, juga unsur tanpa hak, dalam dakwaan korupsi terhadap Tommy dan Ricardo. Analoginya, ''Jika orang mencuri ayam, lantas memelihara ayam itu sampai bertelur dan beranak, orang itu tetap dituduh mencuri meskipun ayamnya sudah dikembalikan kepada pemilik," tutur Fachmi. Katanya lagi, tiga saksi tadi bisa dijaring dengan pasal kesaksian palsu. Keyakinan jaksa agaknya tak terlepas dari adanya 32 orang saksi lagi, ditambah setumpuk bukti tertulis. Lagi pula, penggantian uang negara—jumlahnya dilebihkan oleh tersangka asalkan tak dicap korupsi— tetap saja tak menghapuskan delik korupsi. Selain itu, kasus yang disidangkan adalah kasus ruilslag, bukan pembelian tanah oleh Bulog atau hibah sebagian laba dari Goro. Happy Sulistyadi, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus