Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dahi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berkerut. Dari balik kacamata, ia menatap tajam anggota DPR di hadapannya. ”Pekerjaan jaksa bukan pekerjaan politik, tapi pekerjaan teknis hukum yang rumit dan harus berhati-hati, perlu keahlian khusus,” katanya. Lalu ia sibuk menulis sesuatu di secarik kertas. Tapi belum lagi ia selesai menulis, sejumlah anggota DPR lainnya mengacungkan tangan, berebut bertanya.
Rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada Senin pekan lalu memang bak berubah menjadi sidang pengadilan bagi Abdul Rahman. Dari 37 anggota Komisi III yang hadir, hampir semua memberondongkan pertanyaan. Beberapa bahkan tak segan-segan menuding Abdul Rahman, setelah sekitar 50 hari menjadi Jaksa Agung, lamban menyelesaikan kasus ko-rupsi.
Gencarnya pertanyaan tentu bukan sekadar karena inilah rapat pertama Jaksa Agung dengan DPR. Melihat aneka pertanyaan yang muncul, tampak jelas bahwa DPR penasaran apa saja program Jaksa Agung sebagai ujung tombak penegakan hukum di pemerintahan baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober lalu, bahkan saat masih berkampanye, SBY bertekad akan memberantas KKN. Untuk menunjukkan keseriusannya, SBY mengawali langkah dengan meminta anggota kabinetnya bersumpah tak terlibat KKN dalam bentuk apa pun. Ia juga sudah memberi perintah khusus pada Jaksa Agung untuk menyikat para koruptor tanpa ampun.
Indonesia memang negeri subur bagi para koruptor. Pada 2003, lembaga Transparency Internasional, lagi-lagi, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia—kali ini nomor enam dari 133 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada 1999-2004, sekitar Rp 167 triliun uang negara, uang rakyat, habis dikorupsi. ”Kejahatan korupsi ini sudah demikian menyakiti hati rakyat,” kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki. Menurut Ruki, korupsi makin merajalela karena polisi, jaksa, dan hakim tak bekerja semestinya.
Semangat memberantas korupsi inilah yang mulai dikobarkan. Kamis pekan ini, Presiden Yudhoyono akan mencanangkan tahun pemberantasan korupsi di Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memang menetapkan Kamis 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi. Tepat pada hari itu, SBY akan menandatangani Keputusan Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Lewat keppres ini, antara lain, para menteri diperintahkan menutup semua celah yang bisa menyebabkan penyelewengan duit di departemennya. KPK dan kejaksaan diperintahkan segera memeriksa pejabat dan siapa pun yang terbukti menyelewengkan uang departemennya.
Sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman tentu sadar instansinya akan menjadi sorotan utama gerakan ini. Sudah lama hamba hukum yang berkantor di Gedung Bundar itu dianggap cuma macan ompong dalam menangani kasus korupsi. Banyak para tersangka koruptor, yang mengemplang uang negara hingga triliunan rupiah, bebas lewat Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Abdul Rahman sendiri, di DPR, mengkritik gampangnya Jaksa Agung terdahulu mengumbar SP3. ”SP3 merupakan barang halal sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tapi juga bisa menjadi barang setengah haram. Karena itu, penyidik seharusnya tak sembarangan mengeluarkan SP3,” ujarnya.
Kasus-kasus besar yang mendapat SP3 itulah yang bakal dibidik. Sekitar 17 kasus kakap yang mendapat ”hadiah” SP3 oleh Jaksa Agung sebelumnya, Jaksa Agung M.A. Rachman, akan dibuka lagi. Kasus-kasus itu, antara lain, proyek pipanisasi BBM di Jawa dengan tersangka Siti Hardijanti Rukmana, kasus pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dengan tersangka Djoko Ramiadji, dan kasus proyek hutan tanaman industri di Sumatera Selatan dengan tersangka Prajogo Pangestu, yang membuat negara rugi sekitar Rp 300 miliar.
Untuk mendukung langkah itu, Jaksa Agung telah membentuk satu tim khusus kini yang akan memeriksa ulang kasus-kasus yang sudah ”dibungkus” SP3. Abdul Rahman juga tengah mengumpulkan novum, bukti baru, kasus Akbar Tanjung, tersandung kasus penyelewengan uang Bulog Rp 40 miliar yang permohonan PK-nya (peninjauan kembali) beberapa waktu lalu dikabulkan Mahkamah Agung.
Kejaksaan Agung pun bergerak cepat. Kini, mereka mulai bersiap memeriksa kasus dugaan korupsi oleh bekas Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita dan konglomerat Sjamsul Nursalim. Ginandjar terjerat kasus Technical Assistance Contract (TAC) Pertamina dengan PT Ustraidon Petro Gas yang membuat negara rugi US$ 24,8 juta. Sedangkan Sjamsul diduga telah mengkorupsi uang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 10, 1 triliun.
Jaksa Agung, menurut sumber Tempo, akan segera memanggil Ginandjar. Tapi R.J. Soehandoyo, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, membantah kabar itu. ”Belum ada. Kita harus hati-hati untuk melakukan ini semua,” katanya kepada Tempo di acara peluncuran buku biografi mantan Jaksa Agung Soeprapto, Kamis malam pekan lalu.
Di luar mengurus kasus kakap, Abdul Rahman juga melirik kasus-kasus korupsi di daerah. Dua pekan silam, ia mengirim surat edaran kepada semua Kepala Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi. Isinya, agar para jaksa segera menuntaskan kasus korupsi yang ada di daerah. Selain itu, ia juga mengingatkan para jaksa agar sama sekali tidak menerima suap.
Tentu, semua gebrakan itu masih harus ditunggu hasilnya. Apalagi, tekad saja, tanpa nyali, tidak akan cukup. Inilah yang diingatkan Joko Edi Sucipto, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional. ”Yang kami minta, nyalinya jangan surut. Memberantas koruptor itu soal nyali,” kata Joko. Ia menilai Rahman telah memiliki semuanya: dana, UU Kejaksaan yang baru, dan dukungan dari mana-mana. ”Jadi, sekarang tinggal soal nyali,” ujarnya.
Komentar senada datang dari Mas Achmad Santosa, Penanggung Jawab Program Pembaruan Hukum dan Peradilan dari Partnership for Governance Reform in Indonesia. ”Rahman harus menangkap dan memenjarakan koruptor, karena itu yang ditunggu masyarakat. Hanya, saya ingatkan, dia tak boleh memberikan kasus-kasus yang memperoleh SP3 itu kepada jaksa yang dulu menangani kasus tersebut,” kata Santosa.
Bisakah Rahman memenuhi tuntutan yang demikian tinggi? Di DPR, Jaksa Agung Abdul Rahman berjanji akan berusaha. ”Yang kita kerjakan sekarang pembangunan sistem hukum. Saya tidak pernah berjanji dalam 100 hari semua koruptor ditangkap,” kata dia.
Kepada temannya, seorang tokoh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Rahman menyatakan, ia sadar tuntutan masyarakat sangat tinggi. ”Saya akan bekerja all out, nothing to lose. Kelak, kelak, kau akan bisa lihat apakah aku akan bertambah kaya setelah jadi Jaksa Agung atau tidak,” ujar Rahman, seperti ditirukan rekannya kepada Tempo.
L.R. Baskoro
Tim Campuran Pembongkar SP3
Pekan-pekan ini, pengamat perbankan Prajoto akan sering muncul di Gedung Bundar, tempat para jaksa berkantor di Kejaksaan Agung. Sejak pekan lalu, Prajoto diminta membantu kejaksaan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan penyelewengan dana ban-tuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya sekitar Rp 62,6 triliun. ”Banyak keganjilan dan penyelewengan hukum di seputar kasus itu, termasuk pemberian release and discharge (pelepasan dari tuntutan hukum) yang seharusnya hanya haknya Jaksa Agung,” ujarnya.
Untuk mengkaji ulang pemberian SP3, kejaksaan telah membentuk tim yang terdiri dari orang dalam dan luar kejaksaan. Dari luar, selain Prajoto, Kwik Kian Gie dan Teten Masduki, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), juga bergabung. Teten diminta karena lembaganya, selain independen, dinilai paling aktif membongkar praktek korupsi di Tanah Air. Tim inilah yang akan menelaah dan mengkaji kasus-kasus yang telah mendapat SP3. Masukan tim akan dipakai Jaksa Agung untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap para tersangka.
Selain tim pengkaji SP3, Kejaksaan Agung juga sedang menggodok pembentukan Komisi Kejaksaan seperti diperintahkan UU Kejaksaan Nomor 16/2004. Tim ini terdiri dari tujuh orang, termasuk dari kalangan luar kejaksaan. Selain bertugas mengawasi kinerja para jaksa, komisi juga bertugas memberi rekomendasi terhadap seseorang jaksa yang akan memegang jabatan tertentu. ”Kami mendukung komisi ini. Saya harap komisi ini juga memperhatikan pendidikan jaksa, misalnya tentang persoalan HAM,” kata Yulius D. Teuf, jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Jayapura, Papua, kepada Cunding Levi dari Tempo.
Tapi, adanya tugas mengawasi jaksa itu kini menjadi pembicaraan seru di kejaksaan. Pangkalnya, selama ini tugas itu ada di tangan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan beserta jajarannya.
LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo