Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) meminta pemerintah menarik peredaran film Vina Sebelum 7 Hari bioskop. Mereka menuding penayangan film itu telah menyebabkan kegaduhan di masyarakat dan berpotensi menggiring opini yang memengaruhi proses penyidikan kasus pembunuhan Vina yang menjadi dasar pembuatan film tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami meminta kalau bisa peredaran film ini segera ditarik dari dunia perfilman di Indonesia,” ujar pengacara dari ALMI, Andra Bani Sagalane, saat ditemui di Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALMI mendasarkan tututan itu kepada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Pasal itu menyebutkan, pemerintah dapat menarik peredaran suatu film apabila dalam peredaran, pertunjukan, atau penayangannya menimbulkan ganggguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.
Dari kacamata perfilman, Andra menilai film Vina: Sebelum 7 Hari sebagai karta seni yang menarik dan indah. Tapi dari kacamata hukum, dia menyebut pembuatan film ini tidak diperkenankan. Sebab, kata dia, masih ada proses penyidikan yang berjalan. “Jangan sampai ada nanti pembuktian-pembuktian atau doktrin-doktrin dari luar yang belum sampai ke persidangan tiba-tiba diambil oleh penegak hukum,” kata dia.
Sekretaris Jenderal ALMI, Mualim Bahar, membandingkan film Vina Sebelum 7 Hari dengan film Ice Cold (2023) yang berkisah tentang kasus dugaan pembunuhan Mirna oleh Jessica Kumala Wongso. Berbeda dengan kasus pembunuhan Vina, menyebut kasus Mirna telah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap. Itu sebabnya, film itu pantas untuk ditayangkan. “Artinya kronologi cerita itu ada,” kata dia.
ALMI melaporkan produser film Vina: Sebelum 7 Hari (2024) ke Bareskrim hari ini, Selasa, 28 Mei 2024. Kendati begitu, Bareskrim tak lantas segera memproses pelaporan itu. Kepada ALMI, Bareskrim meminta mereka untuk mengadukan dulu film itu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi karena film belum beredar di televisi, organisasi advokat itu juga harus mengadukan film ke Lembaga Sensor Film (LSF) selaku lembaga yang meloloskan penayangan film di bioskop. ALMI menyatakan akan mengikuti arahan itu.