SEMAKIN banyak saja kasus menfitnah orang terlibat PKI menggulir ke meja hijau. Pada November 1989, misalnya, penulis buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Soegiarso Soerojo, dihukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membayar ganti rugi Rp 25 juta. Itu gara-gara Soegiarso dianggap sembarangan menuduh bekas Bupati Nganjuk, Soendoro, terlibat PKI. Empat bulan kemudian, pengadilan yang sama memvonis seorang eksponen '66, Chalid Umar Baras, 8 bulan penjara. Waktu itu, Chalid dinyatakan terbukti memfitnah bekas Kepala Kejaksaan Negeri Pasuruan, Edhi Siswoko. Sebelumnya, di pengadilan perdata untuk kasus yang sama, Chalid dihukum ganti rugi Rp 10 juta. Dua kasus di atas belum lagi rampung -- karena masih dalam proses banding -- pekan-pekan ini giliran dua orang guru dan lima petani di Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, disidangkan di Pengadilan Negeri Magelang. Jaksa Subiyanto mendakwa mereka telah memberikan pengaduan palsu terhadap penduduk desa itu juga, Wardono, ke Kodim Magelang. Dalam pengaduan tertanggal 20 Mei 1989 itu, menurut jaksa, mereka menyatakan bahwa Wardono, 60 tahun, terlibat PKI. Padahal, "Mereka belum pernah melihat atau memiliki bukti-bukti pengaduan itu," kata Jaksa Subiyanto. Menurut Wardono, kasus itu bermula dari persaingan calon Kepala Desa (kades) Candirejo. Ketika itu, calon kuat adalah anak Wardono, Sujatmiko, 31 tahun, dan Slamet Sugiyanto, 35 tahun. Tapi lima hari sebelum pemilihan kepala desa (pilkades) berlangsung pada 25 Mei 1989, tersebar isu bahwa Wardono terlibat PKI. Ternyata, kata Wardono, isu itu dilontarkan ketujuh terdakwa, yang pendukung Slamet Sugiyanto. Isu itulah yang dituangkan lewat pengaduan ke Kodim tadi -- dengan tembusan kepada Kapolres, Kakansospol, dan Camat Borobudur. Dalam pengaduan itu, ketujuh terdakwa persisnya menyatakan bahwa Wardono pada saat G30S-PKI meletus telah dibeku (dalam pengawasan). Pengaduan ini, kata jaksa, diketik terdakwa utama, Romidi T.S. -- yang sehari-hari guru SD Candirejo II. Kemudian ditandatangani keenam terdakwa lainnya. Gara-gara itulah, sambung Wardono, Sujatmiko kalah telak melawan Slamet Sugiyanto dalam pilkades. "Sebelumnya, anak saya mendapat dukungan sangat besar dari masyarakat. Tapi karena isu itu, orang-orang lantas takut untuk memilih anak saya," tutur Wardono. Padahal, masih kata Wardono, isu itu sama sekali tak benar. "Ketika G30S-PKI meletus, saya ini PNI tulen," tutur Wardono, yang mengaku sudah menguras dana sampai Rp 10 juta untuk pilkades itu. Sebab itu, ia pun mengadukan ketujuh penuding tadi ke polisi. Toh pengacara ketujuh terdakwa, Hamdani Abdulkadir, menyatakan bahwa kliennya sama sekali tak bermaksud memberikan pengaduan palsu. "Sebagai anggota Front Garuda Pancasila (FGP), mereka hanya memberikan informasi agar Kodim melakukan penyelidikan," kata Hamdani. FGP adalah satuan yang dibentuk pada saat G30S-PKI meletus untuk melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat G30S-PKI. Terdakwa Romidi T.S. malah mengatakan, tindakan itu dilakukan untuk memenuhi anjuran pemerintah. Yakni, jika ada informasi yang menyangkut pribadi dan keluarga calon kades, agar segera dilaporkan sebelum pilkades berlangsung. "Kami tak bermaksud memfitnah atau menjatuhkan calon kades. Sebagai salah seorang panitia pilkades, saya sendiri bersikap netral, tidak mendukung siapa pun," kata bapak tiga anak itu. Jadi, "Laporan itu sekadar informasi. Ada-tidaknya Wardono dalam daftar orang-orang yang terlibat G30S-PKI, itu bukan urusan kami," kata Romidi. Benar-tidaknya dalih itu agaknya akan terjawab lewat keputusan pengadilan, Kamis pekan depan. Happy S., Heddy Lugito (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini