MISDI dan istrinya, Musinam, melonjak gembira ketika majelis hakim menjatuhkan vonis bebas bagi pembunuh anaknya. Mengapa? Habis, si terdakwa yang dibebaskan tak lain, ya, mereka: Misdi, 42 tahun, dan Musinam, 38 tahun. Jadi, majelis hakim yang diketuai Yahya Harahap di Pengadilan Negeri Kisaran, Sumatera Utara, tiga pekan lalu itu tinggal menjatuhkan vonis bagi Suparman, 34 tahun. Hukuman bui yang harus dijalani selama 9 tahun. Terpidana, masih adik kandung Nyonya Musinam, yang ditahan sejak 28 Februari lalu, memang kaget dijatuhi hukuman selama itu. "Saya kira hanya empat tahun," katanya pendek. Sebaliknya, Jaksa Edward Saragih sama sekali tidak menduga bakal jatuh putusan berani itu. "Untuk vonis Suparman, saya keberatan pada kualifikasi tindak pidananya. Tapi untuk Misdi dan Musinam, saya sama sekali tidak terima," kata Saragih, yang langsung naik banding atas hukuman Suparman dan kasasi bagi vonis bebas ayah-ibu korban. Semula Saragih menuntut Suparman, Misdi, dan Musinam, masing-masing dengan hukuman 15, 12, dan 10 tahun penjara. Mereka bertiga, menurut jaksa, melakukan pembunuhan berencana. Ia yakin, karena ada pengakuan dalam BAP yang mereka teken di depan polisi. Misdi dan istri, kata jaksa, sejak semula memang menginginkan kematian Parnen. Kedua orangtua ini menganggap tingkah laku Parnen sudah kelewat batas. Parnen misalnya, selain suka mabuk-mabukan juga sering meneror ibunya. Bahkan pernah anak sulung dari enam orang anak laki-bini itu menguber ibunya, Musinam, dengan parang. "Lebih baik Parnen dibunuh saja. Toh kita masih punya anak lima," ujar Misdi kepada si istri. Lalu mereka minta bantuan Suparman, paman Parnen. Suparman menyelesaikan tugas itu pada dinihari, 24 Februari silam, di tengah kebun pala, 16 km sebelum mencapai Desa Rawang, Asahan. Dengan tiga kali tusukan belati ke ulu hati korban, sang paman menyudahi hidup Parnen (TEMPO, 26 Maret 1988). Tapi di persidangan, Misdi dan istri ternyata mencabut semua keterangannya dalam BAP. Pengakuan di polisi itu, kata mereka, diberikan atas anjuran Suparman agar terhindar dari tekanan dan penyiksaan beruntun yang mereka alami. Tapi, yang sebenarnya terjadi, "Kami menyuruh Suparman membawa Parnen untuk dididik, bukan dibunuh," ucap Misdi. Anehnya, saksi-saksi lain juga ikut-ikutan mencabut keterangan mereka di BAP. Atau tidak ada saksi yang tahu persis Misdi-Musinam punya peran dalam pembunuhan anak kandungnya itu. Akibatnya, Suparman terpojok, sehingga ia membenarkan keterangan Misdi dan istri di pengadilan itu. Ia terpaksa mengakui di depan polisi -- seperti dalam BAP itu, "Supaya hukuman nantinya tidak terlalu berat." Akhirnya Suparman mengaku membunuh Parnen karena kesal dengan ulah keponakannya itu, yang dianggapnya selalu merongrong. Parnen, misalnya, pernah diberinya modal sebuah sepeda motor Honda dan sejumlah uang untuk dagang. "Tapi modal itu dihabiskannya untuk mabukmabukan dan pacaran," ujar Suparman. Sebab itu pula majelis hakim yakin, hanya Suparman seorang yang melakukan pembunuhan. "Tak diperoleh bukti bahwa pembunuhan itu direncanakan bersama kedua orangtua korban," kata Yahya Harahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini