LEMAHNYA sektor administrasi sudah merupakan gejala umum di instansi-instansi pemerintah. Tapi apa jadinya jika kacau-balaunya soal administrasi itu juga terdapat di instansi penegak hukum? Ternyata, diam-diam selama ini banyak terpidana yang sudah divonis penjara lolos dari hukuman akibat tak sampainya putusan grasi kepada mereka. Keadaan buruk yang sudah menahun itu ditemukan para anggota Komisi III DPR RI dalam perjalanan mereka ke daerah-daerah pada masa reses, Lebaran lalu. Menurut juru bicara Komisi III, Adi Sanyoto, sewaktu menyampaikan hasil kunjungan kerja itu di sidang paripurna DPR, yang dipimpin H.J. Naro, Selasa pekan lalu, di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, saja terdapat sekitar 80 buah permohonan grasi yang sudah ditolak Presiden, tapi tidak sampai ke terpidana. Padahal, seharusnya begitu grasi seorang terpidana ditolak kepala negara, si terhukum harus segera menjalani hukumannya. Persoalan yang utama adalah alamat si terpidana. Begitu putusan grasi turun, ternyata aparat penegak hukum tak menemukan lagi si terhukum. Karena proses pidana bisa berlangsung sampai lima tahun biasanya, si terpidana sudah pindah -- atau sengaja pindah -- dari alamat semula. Dan mencari alamat baru mereka bukan suatu pekerjaan yang mudah. Tapi tak hanya itu masalahnya. Di Lamongan, Jawa Timur, lapor Adi Sanyoto, sebuah putusan grasi, tertanggal 4 Februari 1981, terhadap terpidana kasus korupsi di Sub-Pemasaran PT Pertani sampai kini tak bisa dilaksanakan. Padahal, alamat baru si terpidana -- yang seharusnya menjalani hukum 7 bulan penjara dan denda Rp 1 juta -- di Palembang, Sumatera Selatan, sudah diketahui. "Sebab, belum ada kejelasan, siapa yang wajib menyampaikan putusan itu: pengadilan ataukah kejaksaan," kata Adi Sanyoto, yang anggota Fraksi ABRI. Masalah penyampaian putusan grasi, kata Adi Sanyoto, memang belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Grasi, tahun 1950. Padahal, soal itu bagaimanapun menyangkut kepastian hukum dan kepentingan umum. Dan untuk memproses sebuah perkara pidana aparat penegak hukum sudah mengeluarkan tenaga, waktu, dan biaya yang tak sedikit. Sebab itu, Adi Sanyoto selain mengharapkan pengawasan dari pemerintah, juga berharap terbitnya semacam petunjuk dari Mahkamah Agung (MA) atau Kejaksaan Agung. Ternyata, Ketua Mahkamah Agung Ali Said tak melihat pentingnya sebuah petunjuk untuk persoalan semacam itu. Sebab, masalah itu, katanya, sudah diatur jelas oleh undang-undang. Setelah putusan grasi turun, katanya, perkara itu langsung diserahkan ke instansi kejaksaan. "Jadi, eksekutornya, ya, kejaksaan," ujar Ali Said, seusai melantik Soegiri menjadi Ketua Muda MA Bidang Pidana Militer, Sabtu pekan lalu. Timbulnya persoalan banyaknya putusan grasi yang terkatung-katung, kata Ali Said, bisa juga lantaran faktor human error. Maksudnya, banyak terpidana yang memanfaatkan proses grasi untuk menghindarkan diri dari vonis hakim. Dengan mengajukan permohonan grasi, eksekusi hukuman terhadap si terpidana, sesuai dengan undang-undang, bisa ditangguhkan. "Padahal, mereka mengerti hukum dan tahu permohonannya itu akan ditolak Presiden," katanya. Pernyataan itu agaknya tak berlebihan. Soalnya, ada kesan para terpidana itu memohon ampun kepada Presiden hanya sekadar untuk menunda-nunda eksekusi. Para terpidana di Jombang, yang putusannya terkatung-katung itu, misalnya, tetap memohon grasi ke Presiden kendati masa hukuman yang harus mereka jalani rata-rata hanya di bawah 5 bulan penjara. Bahkan seorang di antara mereka yang cuma dihukum 14 hari. Sementara itu, Ketua Muda MA Bidang Pidana, Adi Andojo Soetjipto, terus terang menyebut terkatung-katungnya putusan grasi itu lantaran faktor keteledoran. Memang, Undang-Undang Grasi tak mengatur soal itu. Tapi, "Praktek yang berlangsung sejak tahun 1950, berdasarkan beberapa edaran dari Kehakiman, sudah tegas menyebutkan kejaksaan yang harus menyampaikan putusan itu," kata Adi Andojo. Hal senada juga diutarakan sebuah sumber TEMPO di Departemen Kehakiman. "Kehakiman selalu tepat waktu dalam memproses administrasi putusan-putusan grasi yang turun dari Setneg," kata sumber TEMPO di Kehakiman. Proses administrasi ini, katanya, hanya memakan waktu antara seminggu dan tiga minggu. Setelah administrasi diproses, Kehakiman mengirim salinan putusan grasi itu, melalui pos, ke pengadilan negeri. "Pengadilan, selain meneruskan putusan itu kepada alamat terpidana, juga meminta kejaksaan melaksanakan putusan itu," kata sumber di atas. Benarkah pihak kejaksaan yang lalai sehingga putusan grasi itu bisa terkatung-katung? Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, ketika ditanya TEMPO, menyatakan akan menyelidiki lebih dahulu masalah tersebut. Tapi menurut Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum, R.B. Soekardi, dalam soal ini pihak kejaksaan tidak bisa disalahkan. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Si terpidana sudah dicari ke alamatnya, tapi tak ada juga," kata Soekardi. Kepala Kejaksaan Negeri Jombang, J.S. Pandia, juga menyatakan pihaknya sudah berupaya mencari terpidana. Tapi itulah, alamatnya sudah pindah, atau malah benar-benar raib. "Maklum saja kalau memang mereka kabur. Soalnya, kan mau dihukum, bukannya mau dapat warisan," kata Pandia.Hp. S., Rustam FM, Agung Firmansyah (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini